Bratasena tak bisa berkata-kata lagi, apalagi menjawab pertanyaan Arimbi.
Sang gadis buta itu terlihat bingung dan gundah. Ia berkali-kali menyangkal jati dirinya sebagai seorang buta. Ada rasa malu, rendah diri dan benci sekaligus pada identitas buta yang menempel di tubuhnya tersebut. Tapi tak bisa disangkal bahwa jiwanya juga tak bisa lepas dari jati diri buta itu sendiri. Rasa bangga dan kekeraskepalaan kaum buta tak mungkin hilang seluruhnya.
Malam ini, bahkan beberapa malam Arimbi berada di Wanamarta bersama para Pendawa, terutama dengan Bratasena, membuat dirinya menjadi ‘lemah’. Ia menjadi manja terhadap Pendawa dan Bratasena. Ia menjadi ‘perempuan’ yang sejati, dalam artian bahwa ia selalu mendapatkan perhatian dan perlindungan yang biasa didapatkan para istri dan kekasih. Ia bingung sekaligus menikmatinya. Sekarang, mungkin ia sedang terbangun dan medapati bahwa kehidupan semacam ini mungkin tak mudah didapat.
“Apakah aku pantas mendapatkan kehidupan semacam ini, Kakang? Jujur, aku mencintaimu, aku sangat egois, menginginkan semua perhatianmu dan keluarga ini. Aku mau kedamaian. Entahlah, atau mungkin yang kuinginkan malahan sebuah kontrol sempurna dari klan buta, hanya dengan cara yang kupaksa berbeda. Jangan-jangan sebenarnya aku hanya menginginkan kekuasaan atas semua orang namun seakan-akan menginginkan perdamaian. Tanganku juga penuh darah, Kakang.”
Mendengar ini, hati Bratasena terenyuh dan mencelos. Ia langsung memeluk Arimbi untuk mengirimkan rasa ketenangan dan perlindungan. Laki-laki bertubuh raksasa itu kemudian membimbing Arimbi pergi dari bar itu.
Jalanan di luar bar terasa lengang. Angin dingin menerpa, membuat Bratasena melepaskan jaket kulitnya dan menutupkannya ke tubuh Arimbi. Rangkulan Bratasena menguat sembari mereka berdua berjalan menuju ke sebuah hotel.
“Tangan kita selalu penuh darah. Bisnis bukan sekadar memperkaya diri, mencari kesejahteraan. Tapi memang kekuasaan adalah yang utama. Dengan kekuasaan, kita bermimpi menciptakan dunia utopis yang damai dan teratur. Atau kita hanya ingin kekuasaan karena kita secara alami adalah megalomania yang mencintai kekuasaan itu sendiri.”
Arimbi tercengang. Ia tidak menyangka Bratasena berbicara panjang lebar mengenai pikiran terdalamnya. Selama berada di Wanamarta, jarang sekali ia mendengar Bratasena repot-repot menghabiskan kata. Setiap kalimatnya pendek-pendek namun pilihan katanya jelas dan padat. Bahkan, berkali-kali mereka berjalan berdua seperti inipun Bratasena masih mempersingkat kata-kata nya dengan suara berat dan dalamnya tersebut. Tapi, ditik ini, tidak hanya kalimatnya lebih panjang, tapi juga bermakna dan dalam.
“Kakang Bratasena, bukannya Samiaji adalah seorang karakter yang tenang dan menghindari permasalahan? Aku melihat dengan kepalaku sendiri betapa tenang Kakang kalian tersebut. Bukankah kita akan memiliki harapan untuk tetap menghindari permasalahan di masa mendatang?” lanjut Arimbi masih menciptakan harapan bagi dirinya sendiri.
Bratasena menghembuskan nafasnya pelan, “Kakang Samiaji selalu berusaha membuat tangannya bersih. Tapi kadang aku merasa bahwa aku, Permadi, Pinten dan Tangsen adalah orang-orang yang membereskan semua masalahnya.”
Sepasang mata Arimbi yang setengah mabuk itu memicing. “Benarkah kau merasa seperti itu Kakang?
Bratasena menghela nafas berat. “Aku tahu bukan begini seharusnya pikiranku. Aku juga pasti tidak keberatan sama sekali untuk mengikuti apapun perintahanya. Aku bahkan rela mati untuknya. Hanya saja ... “
“Hanya saja kau kadang-kadang ragu dengan tindakan dan keinginannya?” potong Arimbi ketika melihat Bratasena sepertinya kebingungan mencari kata.
Bratasena tidak mengiyakan, juga tidak menolaknya.
Perasaan yang penuh dengan kompleksitas ini selalu ada pada insan manusia siapa dan diamanapun mereka berada. Keraguan, kebingungan dan kekhawatiran selalu saja membayangi kehidupan mereka. Kerap kali keadaan lah yang membuat mereka harus melakukan hal-hal yang tidak mereka sukai. Namun, bukankah itu inti dari sebuah kehidupan? Mencoba menghadapi hari dan menyelesaikan masalah serta berusaha tetap bertahan hidup?
Bratasena yang begitu loyal terhadap keluarganya juga tetap memiliki perasaan terdalam dengan segala kerumitannya. Ia kerapa mempertanyakan permintaan bahkan perintah dari orang-orang yang ia hormati dan tuakan. Acapkali tanpa pertanyaan sedikitpun. Tidak jarang pula ia merasa menjadi seorang manusia yang sangat naif sehingga gampang ditipu, seperti apa yang terjadi pada keluarganya sehingga terusir dari hak atas Astina Enterprise yang harusnya milik mereka seutuhnya. Kelicikan sepupu-sepupu mereka, keluarga Kurawa, harus ia terima bersama adik-beradiknya dengan perasaan dan emosi yang campur aduk.
Sebuah mobil Ford Customline Sedan milik batara, polisi, melaju perlahan dengan kaca jendela pintu mobil terbuka. Seorang anggota batara yang memegang setir melihat pasangan ini dengan wajah yang mendekati definisi licik. Bratasena balas memandang dengan sorot mata yang lima kali lebih galak dan garang. Sang batara mau tidak mau menciut nyalinya. Ia menutup jendela dan melanjutkan perjalanan patrolinya.
Bratasena dan Arimbi paham bahwa di lingkungan batara, hubungan seorang anggota keluarga Pendawa dan buta adalah sebuah intrik politik permainan catur dan perjudian yang seru. Para batara menginginkan pertunjukan yang menarik untuk disimak dan ditonton. Mereka kemudian akan ambil bagian dalam drama ini dan mengambil untung. Mereka tidak peduli dengan aturan yang ada. Bukan tujuan batara untuk menjalankan aturan yang ada, tapi menjaga agar kepentingan batara seperti kaum politisi dan pemerintahan tidak terganggu. Mereka harus dapat memainkan peran yang tepat agar semuanya berjalan sesuai kehendak mereka. Tidak masalah mengorbankan banyak orang, asal perekonomian dan pasokan pajak tetap berjalan. Mafia kemudian menjadi sumber daya ekonomi terbesar bagi para batara. Meski repot juga kadangkala dalam menghadapi persaingan mereka yang kotor tersebut, tapi para batara kerap bermain dengan cantik.
“Apa yang akan kau lakukan bila Arimba memintamu untuk memilih Pendawa atau Pringgandani?” tanya Bratasena tiba-tiba.
“Maksud Kakang, Bratasena atau Arimba?”
Bratasena terdiam.
“Aku akan memilih Bratasena. Itu sudah pasti. Tapi aku jelas akan mencoba setengah mati untuk membuatnya mengerti. Pasti akan ada komunikasi yang lebih dalam dan serius antara Pendawa dan Pringgandani. Itu semua karena kita, Kakang. Sudah ada jembatan diantara kedua perusahaan dan dendam lama buta terhadap Astina Enterprise.”
Bratasena menggeleng, “Aku bukan tipe orang yang bisa berlama-lama. Buta mau berkerja sama dengan Wanamarta atau tidak. Cuma itu.”
“Kalau Kakang Arimba menolak, Kakang? Kau pasti membunuhnya?”
“Itu pertanyaanku awal tadi, Arimbi,” pandangan sepasang mata Bratasena menusuk tajam ke dalam relung-relung hati Arimbi.
Tak lama mereka sampai di sebuh hotel. Keduanya masuk didahului oleh Bratasena. Petugas front desk yang melihat kedatangan Bratasena langsung tahu siapa orang itu. Gadis itu merapikan navy dress nya, “Apakah tuan Bratasena dapat menunggu sekitar tiga menit untuk petugas kami merapikan kamar VIP?” ujarnya berusaha mengatur suaranya agar tak bergetar. Ia juga menjaga pandangannya agar tak terlalu sering menatap Arimbi, seorang gadis buta yang didapati mengencani tuannya ini. Hotel ini adalah salah satu bidang usaha yang dimiliki oleh keluarga Pendawa. Tentu saja demi melihat salah satu orang penting datang, mereka harus memberikan yang terbaik.
Bratasena mengibaskan tangan besarnya tanda tidak setuju, “Tidak perlu. Berikan saja kamar yang kosong.”
Butuh waktu sepersekian detik bagi sang pegawai untuk memahami ini. Ia seperti tidak yakin bahwa Bratasena tidak merasa perlu untuk tinggal di kamar VIP, meski kemudian ia mengangguk dan mengambil sebuah kunci dan memberikannya kepada Bratasena.
Bratasena merangkul Arimbi, membawanya perlahan menaiki tangga melingkar ke lantai atas, membuat sang pegawai kembali bingung. Bratasena memang memutuskan untuk tidak menggunakan lift. Ia ingin berjalan santai dengan Arimbi sembari menghabiskan waktu.