Sekitar dua puluh orang anggota jin, sepuluh orang anggota gandarwa yang mengenakan pakaian baggy dan cap dan lima orang dari pihak Pendawa dibantu dan diawasi para Punakawan sibuk hilir mudik di square pusat kota Mretani. Samiaji dari bangunan rumah utama memperhatikan pergerakan mereka di bawah sana.
Ajaib memang bagaimana takdir mengatur kehidupan. Kedua kelompok yang belum lama ini berusaha untuk saling bunuh dan menghancurkan, kini berdiri berdampingan di sisi yang sama, di bawah kepemimpinan yang sama.
Keluarga Pendawa yang beberapa waktu yang lalu datang ke Wanamarta dengan para pengikutnya yang membuat mereka berjumlah 30 orang – yang kini telah banyak berkurang – kembali mendapatkan kekuatan beratus kali lipat. Tidak hanya mereka berhasil menguasai Wanamarta Town, para Pendawa sekarang telah menguasai lini bisnis lain dari keluarga Mretani. Mereka juga bahkan mendapatkan loyalitas dari kelompok tersebut. Bila dihitung dengan angka, jumlah mereka kini menjadi berkali lipat. Hal ini jelas sangat menguntungkan para Pendawa untuk memiliki pasukan dalam menghadapi masalah yang akan terus datang di masa depan. Terutama yang berhubungan dengan kaum buta di Pringgandani.
Samiaji jelas pantas diandalkan. Ia mempercepat semua pembangunan infrastruktur demi pergerakan ekonomi dan bisnis yang efektif dan cepat tentunya. Para anggota jin, gandarwa dan Pendawa selama beberapa hari ini sudah memulai perencanaan, pengukuran dan pembangunan tram dalam kota dan jalur kereta api yang menghubungkan Mretani dan Wanamarta town. Proyek besar ini akan diselesaikan dalam jangka waktu tiga sampai lima tahun ke depan.
Samiaji tidak mau membuang-buang waktu lagi. Ia harus menunjukkan pada kaum jin dan gandarwa yang sudah mereka taklukkan bahwa kesejahteraan mereka akan terjamin. Lapangan pekerjaan akan terbuka lebar dan para batara korup yang kerap mencoba mengambil keuntungan dari setiap usaha mereka, akan ‘diurus’ oleh Pendawa, termasuk jaminan keamanan dari tekanan dari kaum buta.
Untuk ini, melalui Permadi, Samiaji sudah meminta bantuan dari Pringcendani Arms milik mertuanya untuk membantu mendanai proyek ini. Sebagai imbalannya, Samiaji berjanji untuk memberikan klien atas pembelian senjata berupa revolver dan shotgun di arena sekitar Wanamarta, secara ilegal. Samiaji mengatakan bahwa revolver dan shotgun sangat diperlukan bagi para jin dan gandarwa yang masih kerap berurusan dengan para buta. Para batara sudah semakin menjaga batas antara kedua area, untuk itu pasokan senjata tentu harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Senjata kecil seperti revolver akan mudah untuk disembunyikan atau dibuang setelah digunakan.
Jodipati Arms yang sekarang menjadi milik Bratasena, hanya diperbolehkan mengekspor senjata ke area luar Wanamarta. Bila terlampau nekad, jelas para batara akan mengetahui bahwa Jodipati yang memasok senjata untuk para Pendawa, jin dan gandarwa, sedangkan anggota-anggota polisi tidak mau mengambil resiko lagi setelah penaklukan berdarah Mretani tempo hari.
Seorang pelayan mengetuk pintu besar ruangan dimana Samiaji dan Drupadi memandang Mretani square di bawah sana melalui jendela kaca raksasa. Pelayan tersebut menyampaikan bahwa makan siang sudah disiapkan di taman belakang rumah utama Mretani ini. Samiaji mempersilahkan sang pelayan untuk pergi. Ia sendiri bersama sang istri kemudian menyusul, menuruni tangga berputar menuju ke bagian belakang bangunan besar tersebut.
Di sebuah taman yang dikelilingi tembok tinggi, dihiasi pohon lemon dan zaitun, bertaburan paling tidak sepuluh orang pengawal gabungan jin, gandarwa dan anggota Pendawa dengan menenteng Remington Model 870 shotgun. Beberapa menggunakan lupara, shotgun buatan tangan dengan barrel yang pendek. Di tengah-tengah taman terdapat sebuah meja panjang gelas dan piring-piring kristal yang dilap bersih serta kain linen putih bersih. Cuaca terang namun tidak panas menyengat ini membuat Samiaji memutuskan untuk makan siang bersama para kerabatnya di taman tersebut. Semua anggota keluarga Pendawa, minus sang ibu, Madame Kunthi dan para Punakawan, sudah duduk mengelilingi meja tersebut.
Arimbi ada di sana, duduk di samping Bratasena. Ia pulalah yang repot-repot menyediakan espresso yang sebelumnya ia minta kirimkan dari Kalabendana secara diam-diam sebagai ganti minuman beralkohol siang ini, ”Tidak ada alkohol siang ini. Aku ingin kita tetap sober untuk bisa berbicara masuk akal dan menikmati hidangan,” ujarnya sedikit memaksa pada Bratasena.
Bratasena diam, tidak protes. Ia mungkin mengikuti kemauan Arimbi, tapi tetap saja berbotol-botol wine dingin disiapkan dan dihidangkan bersama dengan roasted chicken and potato serta grated cheese.
Bukan tanpa alasan wine menjadi andalan mereka siang ini. Samiaji mengatakan bahwa wine itu adalah produksi lokal klan gandarwa yang selama sekian tahun tidak terlalu diperhatikan dan cenderung dilupakan akibat arah bisnis yang berubah oleh pengaruh buta. Ia ingin mencoba menggalakkan industri lokal ini melalui Buweratalum Liquors. Perihal ini adalah sebuah langkah lain yang cerdas yang dilakukan oleh Samiaji dalam usaha mendukung bisnis lokal, mendapatkan untung darinya dan tentu saja semakin mendapatkan kepercayaan dari para penduduk Mretani.
Tangsen menjelaskan bahwa perusahaan ini awalnya memang mengambil produk-produk lokal masyarakat, namun dengan pengaruh kuat buta, Buweratalum Liquors lebih banyak mengimpor produk dari Negara Bawah Bumi dan Negara Samudra. Para petani dan pekerja anggur diarahkan untuk menjadi pekerja kemanan buta, melindungi aset-aset mereka.
“Aku akan memberi nama Indraprasta bagi pusat industri kita yang baru ini. Bagaimanapun Mretani adalah bagian dari area Wanamarta. Sudah lama sepertinya kedua bagian ini tidak terkoneksi. Indraprasta akan menjadi ibukota Wanamarta dan perekat Wanamarta town dan Mretani. Untuk itu, aku serahkan permasalahan buta dan Pringgandani Corp. kepadamu, adi Bratasena,” ujar Samiaji tiba-tiba membuka pembicaraan.
Bratasena mengangkat kepalanya dan menatap tajam sepasang mata Kakangnya yang menempel di wajah yang tanpa ekspresi tersebut, “Apakah benar, Kakang, bahwa kau tidak mau mengotori tanganmu dengan darah dan menggunakan orang lain untuk menyelesaikan pekerjaanmu?”
Pertanyaan tanpa basa-basi Bratasena ini membuat suasana meja makan tersebut mendadak senyap. Pinten dan Tangsen bergerak tidak nyaman sedangkan Permadi menatap Arimbi seakan berkata, “What’s wrong with this guy?” Arimbi sendiri memberikan gestur menujukkan kebingungan yang sama.
Samiaji menenggak secangkir espresso yang tadi dipersiapkan oleh Lady Drupadi, “Bagaimana menurutmu, adi Bratasena? Apakah memang kau keberatan untuk melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepadamu ini? Apakah kau juga sudah lelah membereskan masalah untukku?”
Bratasena tiba-tiba berdiri, “Aku tidak pernah mengatakan itu, Kakang! Aku rela mati untukmu, untuk Pendawa dan kejayaan keluarga kita,” jawab Bratasena tegas. Jelas nampak ia merasa terhina dengan kata-kata sang Kakang yang sepertinya merendahkannya tersebut.
“Aku berusaha memahami ucapanmu, adi,” ujar Samiaji dingin.
Permadi kali ini yang berdiri, “Kakang, tolong jangan salah sangka. Mungkin maksud Kakang Bratasena lebih kepada rencana besarmu, the grand plan. Kita selalu dihadapkan dengan pertentangan dengan banyak klan, tapi kadang kau seperti membiarkan semuanya berjalan seperti apa adanya. Namun di sisi lain, kau tidak benar-benar mengambil peran. Pada akhirnya, kau membiarkan kami yang memutuskan, Kakang.”
Pinten dan Tangsen saling memandang, namun tidak mencoba mengatakan sesuatu. Ada perubahan suasana yang drastis siang ini. Padahal mereka semua sedang berkumpul untuk merayakan kebersamaan dan keberhasilan mereka. Mungkin itu sebabnya pula Bratasena tak protes ketika Arimbi melarangnya untuk minum alkohol. Rupa-rupanya, ada hal yang mengganggu pikiriannya.