Di atas gedung yang ditinggalkan Bratasena, muncul dua bayangan sosok dari dalam emergency exit door. Dua orang itu berdiri berkacak pinggang memperhatikan dua mayat penuh darah yang tergeletak di lantai rooftop.
"Detektif, haruskah kita persiapkan anggota personil kepolisian untuk menangkap Bratasena dan gerombolan keluarganya malam ini juga?" ujar satu sosok dengan suaranya yang datar namun dalam dan penuh dengan semangat. Bahkan dalam sapuan cahaya lampu kota, senyum kemenangan tersirat dari wajahnya.
Yang dipanggil detektif sebaliknya memiliki keinginan yang sama sekali berbeda, bertentangan bahkan. Ia menggelengkan kepalanya keras-keras, "Seriously? Itu kah yang kau pikirkan? Sudah jelas ini semua adalah pertarungan antar geng, yaitu antara kelompok dan klan buta versus gandarwa. Kau lihat sendiri, seorang anggota buta ini dibunuh oleh seorang anggota gandarwa yang ada disana. Mereka saling menusuk hingga sama-sama mati. Mungkin sekali ada korban lainnya dari kaum gandarwa. Kita hanya perli menginterogasi tiga orang buta yang sekarang sudah ditahan dikantor polisi," ujar orang satunya dengan tak kalah bersemangat.
Yang diajak bicara kini malah tercengang. Bukannya tanpa alasan, tapi mereka berdua sudah mengintai dan memerhatikan secara utuh apa yang terjadi malam ini. Lalu, mengapa rekannya malah menyatakan hal yang bukan mereka perhatikan sedari tadi? "Tapi, bukanlah kita sama-sama melihat dan menjadi saksi bahwa Bratasena lah yang membunuh orang-orang buta dan gandarwa ini? Bratasena dari Pendawa lah yang sebenarnya bertarung dengan klan buta dan gandarwa? Harusnya ... "
Orang yag dipanggil sebagai detektif tadi meletakkan jari telunjuk di depan mulutnya, memotong kata-kata dan kalimat lawan bicaranya. "Tulis apa yang aku katakan tadi sebagai laporan. Sekali lagi, tulis apapun yang aku katakan. Hanya itu yang harus kau lakukan."
"Aku tidak paham maksudmu detektif Narada," sosok satunya yang diperintah masih tak menerima logika permasalahan ini.
Ternyata, detektif ini adalah Batara Narada. Ia berbicara tanpa memandang lawan bicaranya. "Cupu Linggamanik, sudah berapa lama kau menjadi tangan kananku dan senjata andalanku, bila berpikir seperti ini saja kau masih tidak tembus?"
Asisten detektif Narada yang ternyata bernama Cupu Linggamanik ini memiliki postur tubuh tinggi dan atletis. Tidak seperti tipikal detektif lainnya yang dilengkapi dengan fedora dan jas lengkap, ia malah mengenakan celana panjang denim ketat ala rockabilly dan jaket kulit. Ia juga mengenakan sepasang sepatu chukka boot berwarna pasir yang membungkus kedua kakinya erat serta kepalanya ditutupi topi gatsby yang lidah di bagian depannya diarahkan miring ke sebelah kanan. Pendek kata, Cupu Linggamanik adalah detektif yang memiliki gaya dan sifat yang berbeda, bahkan mungkin bertolak belakang dengan rekannya, detektif Narada.
Namun begitu, kata-kata Narada benar adanya mengandung makna. Selama bertahun-tahun, Cupu Linggamanik sudah menjadi tangan kanan sang detektif. Bukan hanya sebagai detektif junor atau bawahan dan rekan, namun juga sebagai seorang sidekick. Cupu Linggmanik adalah seorang pelari yang handal, penembak yang ulung dan petarung yang pilih tanding. Tak heran sedikit banyak ia melengkapi kecerdasan detektif Narada. Itu sebabnya pula, Narada menyebutnya sebagai ‘senjata’.
Cupu Linggamanik meraba dagunya, berpikir. "Tiga orang buta dilumpuhkan Bratasena, anak nomer dua keluarga Pendawa. Sekarang mungkin ketiga anggota buta itu ada di sel tahanan polisi. Satu orang buta dan satu orang gandarwa mati di rooftop bangunan dengan luka tembak dan tusuk. Apakah kau sebenarnya ingin membenturkan kelompok gandarwa jin dan buta agar keduanya hancur dengan sendirinya, detektif?" gumam Cupu Linggamanik.
Detektif Narada tersenyu tipis. "Yyo, teruskan," balas Narada.
"Baik ... Baik. Keluarga Pendawa secara legal adalah pemilik Wanamarta. Tujuh puluh persen bisnis di kota ini dikuasai mereka. Tapi, langkah mereka jelas akan terganjal oleh kelompok dan klan buta dan gandarwa jin yang selalu mengganggu bisnis mereka dengan penjualan narkotika dan bisnis peras-memeras. Kau ingin melapangkan jalan mereka, membiarkan keluarga Pendawa menguasai Wanamarta, mengalahkan dan menghancurkan jin gandarwa dan buta sekaligus?"
"Nah, nah ... sekarang sudah menjadi jelas, bukan? Biarkan darah tertumpah, asal darah itu milik para pemadat dan pemeras serta perampok dari klan jin gandarwa dan buta. Tugas kita adalah keharusan melindungi hak hidup warga Wanamarta. Aku yakin putra Master Pandu dari Astina Enterprise itu dapat menyelesaikan permasalahan Wanamarta dan membersihkannya dari kutu-kutu tukang gelek itu," ujar detektif Narada tersenyum semakin lebar.
"Berarti semua ini nanti akan mempermudah tugas kita, bukan begitu, detektif?" ujar Cupu Linggamanik merasa ada lampu menyinari kepalanya, membuatnya merasa mendapatkan enlighment mengenai kasus ini serta rencana senior serta rekannya, detektif Narada.
Mendengar jawaban dan kesimpulan Cupu Linggamanik, batara Narada sang detektif mengangguk mantap, namun tak menjawab dengan kata-kata. Sebaliknya ia memalingkan wajah dan menatap skyline Wanamarta yang bagai gambaran di atas kanvas itu. Sinar-sinar lampu gedung-gedungnya menyeruak dari dalam gelap. Kota ini akan menjadi masa depan kelak, pikirnya. Laksana sebuah bangunan, sebuah kota juga haruslah memiliki pondasi yang kuat agar ia dapat berdiri tegak dan tak gampang runtuh. Apa mungkin Wanamarta memerlukan darah sebagai landasannya? Bisa saja.
"Jenis belati apa yang dipakai Bratasena untuk menghabisi orang-orang ini? Tadi kalau tak salah kulihat, bilahnya melengkung ke depan, jauh lebih kecil dari sebuah kukri," ujar Cupu Linggamanik membuyarkan lamunan detektif Narada.
"Kudhi namanya. Dalam dunia bisnis dan mobster, kedua benda serupa kuku yang ia pakai itu dikenal dengan nama Pancanaka."
Cupu Linggamanik tergelak, "Mereka, orang-orang itu memang gila. Menamai senjata mereka seperti menamai anak saja. Bukankah Bratasena juga menamai pemukul baseballnya dengan Rujak Pala? Lalu, anak ketiga keluarga Pendawa, si Permadi, menamai sepasang pistol nya dengan Gandiwa dan Pasupati?"
"Mereka memutuskan berjalan di atas jalan senjata. Jadi, maklum saja mereka memperlakukan senjata-senjata mereka dengan istimewa," balas detektif Narada.
Cupu Linggamanik mengambil Colt Cobra .38 Special dengan bingkai alumunium miliknya dari sabuk. Sebagai seorang detektif dengan kondisi tubuh prima dan stamina di atas rata-rata, Cupu Linggamanik menyukai kepraktisan dan kesederhanaan, oleh sebab itu revolver berlaras pendek ini pas dengan kebutuhannya: tidak terlalu berat, tidak terlalu rumit.
"Aku rasa, aku pun perlu menamai pistol ini," gumam Cupu Linggamanik. Ia kemudian tergelak-gelak sendiri. Tubuh atletisnya bergoyang-goyang. “Kau ada ide, detektif?” ujarnya di sela tawanya. Pertanyaan ini pada dasarnya tak memerlukan jawaban, hanya sebuah canda dan ejekan kepada para gangster dan anggota mafia yang menurutnya luar biasa konyol dalam penamaan senjata tersebut.
Detektif Narada tersenyum tipis dan berguman rendah, begitu rendah gumamannya hanya ia sendiri yang dapat mendengarnya, "Aku sudah menamai senjataku. Namanya Cupu Linggamanik." Detektif Narada terkekeh.