Bagi para bawahan Pendawa, perintah yang diberikan Janggan Smarasanta tersebut jelas bukan sebuah pekerjaan yang gampang. Bagaimana mungkin menembaki musuh tanpa berusaha membunuhnya sedangkan di atas sana, di sisi yang berlawanan, sang target sendiri sangat bernafsu untuk menghabisi mereka. Namun, perintah Janggan Smarasanta tersebut bukan tanpa pertimbangan dan perkiraan serta alasan yang mendasar. Memang akibat rencana ini konsentrasi serangan musuh jadi terpecah. Sebagai hasilnya ini sangat menguntungkan Permadi.
Melihat keadaan yang sudah menguntungkan baginya, Permadi langsung menjatuhkan Beretta nya, kemudian meloloskan Gandiwa dan Pasupati, dua buah pistol Ruger Pistol 22 Automatic andalannya dari sarung senjata atau gun holster di bagian samping tubuhnya. Ia menggerakkan bahunya sedikit, tubuhnya berpindah dengan begitu cepat sembari menembakkan kedua pistolnya ke arah Damdarat.
Seperti yang sudah diketahui, setiap bidikan Permadi hampir pasti selalu membuahkan hasil. Benar saja, tembakan beruntun Permadi yang dilepaskan ke arah musuh mengenai target dan membuat sendi-sendi bahu kedua tangan Damdarat terbuncah berantakan. Tommy gun Damdarat terlepas dari tangannya. Tak hanya itu, berondongan tembakan Permadi tak lama mencincang tubuh si mobster tua Damdarat. d**a, leher, dan kepalanya tertembus peluru Ruger Permadi yang meluncur mulus mendesing di udara. Damdarat sang panglima perang keluarga jin tewas dengan mengenaskan.
Anggota jin lain yang melihat tuannya tewas berusaha untuk membalas serangan anak ketiga keluarga Pendawa tersebut, namun Permadi mendaratkan satu peluru tepat di kepala, sebuah headshot, anggota jin tersebut. Ia pun langsung tewas di tempat tanpa suara.
Demi melihat rekannya dari keluarga jin jatuh berdemum ke bumi dengan tubuh bersimbah darah, Anggaraparna berteriak marah, memerintahkan kedua orang sisa bawahannya, satu dari kelompok jin satunya lagi dari gandarwa, untuk menyerang Permadi. Nampaknya Anggaraparna sadar bahwasanya pihak lewan sedang menipunya dan sengaja membuatnya repot pada serangan-serangan lawan tanpa memperhatikan bahwa rekannya justru menjadi sasaran empuk tembakan.
Tapi tentu saja perintah yang Anggaraparna berikan itu nampak sia-sia. Bukan tanpa alasan lebih dari sepuluh anggota jin dan gandarwa terbantai oleh Permadi. Kedua orang terakhir itu juga segera tewas, tapi bukan oleh Permadi, melainkan oleh Sukodadi dan Penyukilan dengan pistol Smith & Wesson Model 29 .44 Magnum mereka. Peluru menembus tubuh mereka beberapa kali. Kedua tubuh mereka jatuh bagai dua batang kayu. Konsentrasi yang telah terpecah sedari awal membuat serangan balasan kelompok jin dan gandarwa itu tidak efektif dan sudah dapat ditebak.
Jadilah Anggaraparna berjuang sendirian.
Magasin Tommy gun nya sudah habis. Bahkan sebenarnya tembakannya sedari tadi sudah melenceng entah kemana. Perhiasan emas Anggaraparna tersinari sinar bulan yang menyeruak malam yang pekat. Ia melihat sosok-sosok musuhnya mendekat perlahan namun pasti. Inilah saat kematiannya, pikirnya. Ia lemparkan Tommy gun ke tanah kemudian ia meraba pinggang di bagian belakangnya untuk mengambil senjata favoritnya, gold plated Walther model PPK semi-automatic pistol, sebuah pistol yang berukir indah dan dilapisi emas. Senjata ini dimiliki Anggaraparna bukan karena kemampuan dan keistimewaannya, namun lebih ke nilai prestis dan lambang kebesaran dan keagungannya.
Pandangan Anggaraparna melayang jauh melewati ruang dan waktu. Tak disangka sampai di sinilah kehidupannya yang penuh dengan gelimang kekayaan dan kemewahan. Deretan memori masa lalu diputar di dalam otaknya dalam sebuah runutan kilat bagai scene sebuah film panjang.
Sebelum tubuhnya dirajam peluru dari keluarga Pendawa, ia sudah menempelkan moncong pistol mewah miliknya itu di bawah dagunya, menyibak jenggotnya yang sudah memutih. Satu tekanan jari telunjuk akan membantu pelatuk melepaskan peluru ke otaknya. Hanya perlu sekali usaha dan semua akan usai.
"Cukup Citrarata. Tugasmu sudah usai di sini. Sudah saatnya kau kembali," sebuah seruan suara yang entah bagaimana cukup dikenal Anggaraparna terdengar menyeruak dari kegelapan. Ini membuatnya mengendurkan jarinya di pelatuk.
"Siapa kau?!" teriak Anggaraparna dengan suara bergetar karena kelelahan, amarah, keterkejutan, kebingungan dan sedikit rasa gentar.
"Citrarata, atau bisakah kusebut panggilan lengkapmu, Batara Citrarata, Detektif I?" suara itu membalas dari kegelapan.
Jawaban ini tidak hanya mengejutkan Anggaraparna yang sudah hampir seratus persen mengendurkan pegangannya pada pistol bergaya mewah tersebut, tetapi juga Permadi dan rombongan Pendawa lainnya.
Perlahan sosok tambun setengah baya Janggan Smarasanta muncul dari gelapnya malam. Sosok itu terkekeh, memandang ke arah Anggaraparna dengan gaya yang akrab dan familiar kemudian memasukkan kedua tangannya ke saku overallnya dengan santai.
"Sudah berapa tahun, Detektif? Aku rasa kini sudah saatnya tulang-tulang tua mu untuk pension dan beristirahat. Tak disangka ternyata dibanding menjadi seorang batara kau lebih cocok berkubang di dunia gandarwa. Sifat perlente dan mahalmu itu terpelihara dengan baik di sini," ujar Smarasanta.
"Kau kah itu bandot tua? Batara Ismaya, Detektif III?" balas Anggaraparna dan dipanggil sebagai Batara Citrarata oleh Janggan Samrasanta tersebut sembari memicingkan kedua matanya untuk melihat lebih jelas ke dalam kegelapan.
Janggan Smarasanta mengibas-ngibaskan tangannya dan menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak setuju, "Jangan, jangan panggil aku batara. Aku tidak memiliki gelar itu lagi. Aku bukan supervisormu lagi. Detektif III sudah tidak tersemat di badanku ini lagi sobat."
"Jadi, kau sudah berhenti dari kepolisian?"
"Sudah lama sekali. Kita berjalan di dunia batara dengan cacat, penuh keganjilan. Walau sedikit ada perbedaan. Aku terlempar dari kepolisian, tapi bebas memilih dimana aku berpihak. Sedangkan kau, tidak jelas posisimu di kepolisian namun terpenjara bertahun-tahun di bukit ini," Smarasanta kembali terkekeh.
Anak-anak Smarasanta kembali dibuat bingung dengan perbincangan dua orang yang terlihat jelas keakrabannya tersebut.
"Jadi kau memutuskan berjalan di pihak orang-orang Astina?" tanya Anggaraparna yang telah benar-benar menjauhkan pistol dari dagunya tersebut.
"Tidak sesederhana itu Citrarata. Keluarga Pendawa memang harusnya memiliki hak terkuat atas Astina Enterprise, tapi mereka juga ternyata berjalan di dunia bisnis dengan cacat, penuh keganjilan seperti kita," ujar Smarasanta kembali terkekeh.
"Tunggu, aku kenal kalian," ujar Anggaraparna ketika melihat sosok jangkung Penyukilan dan Sukodadi yang mendadak muncul di belakang Janggan Smarasanta.
"I'll be damned! Penyukilan, anak emas gandarwa dan Sukodadi, pemimpin muda gangster yang sedang menanjak karirnya saat itu, bertahun-tahun lalu. Apa yang terjadi sebenarnya, apa rencanamu Ismaya?" ujar Anggaraparna yang ternyata bernama asli Citrarata itu takjub.
"Kau lah yang harus menjelaskan, termasuk kau, Kakang Smarasanta," kali ini suara tegas Permadi yang terdengar.
"Baik, baik. Aku akan jelaskan semua. Pertama, Penyukilan dan Sukodadi sekarang menjadi anak-anakku, aku mengangkat mereka ..."
"Tidak sebelum gandarwa itu menjatuhkan senjatanya," potong Permadi sambil menodongkan kedua pistolnya ke arah Anggaraparna. Dua bawahan Pendawa juga otomatis menodongkan senjata mereka juga.
"Bisakah kusimpan saja kembali pistol tercintaku ini?"
"Maaf Citrarata, kau harus menurutinya," jelas Janggan Smarasanta pelan namun tegas.