The Path

1043 Kata
Keriuhrendahan peperangan ada pada detak jantung para pelaku yang memompa darah bagai bom waktu. Perasaan yang menyiksa adalah ketika menunggu benturan terjadi, membunuh atau terbunuh. Bagaimana bila terluka dan cidera parah yang membuat pelaku berada di ambang kedua keadaan? Bau air hujan yang menerpa pepohonan di perbukitan dan terpecah si jalanan beraspal hampir tak tersisa oleh matahari, tersapu oleh sinar panasnya. Walau mentari mulai rehat di sore ini, namun panas yang tersisa sedari siang tadi sudah terlanjur merasuk ke jiwa-jiwa manusia yang hidup di atas bumi keseluruhan Wanamarta ini. Para adik-beradik Pendawa meninggalkan belasan pengawal dan pendukungnya di dua pintu masuk Mretani - setelah Jala Sutra dan jalur selatan Wanamarta - yang tanpa pertahanan dan penjagaan dari para jin dan gandarwa. Khusus jalur Selatan, batara Citrarata memang benar-benar sudah membereskannya, dalam artian baik kelompok Mretani maupun batara - kepolisian - tidak menjagainya. Para batara lebih fokus bertebaran di titik-titik setelah Jala Sutra. Jalanan yang berkelok-kelok memotong perbukitan laksana ular melata di atas rerumputan. Para batara yang tersebar bagai titik-titik tutul yang menghiasi kulit ular yang bersisik tersebut. Sehari sebelumnya, Arimbi menjelaskan kepada Bratasena sebuah jalan tikus menuju pusat Mretani dari Jala Sutra, menembus jalur selatan dan menembus langsung ke kota Mretani tanpa harus berhadapan dengan para batara yang pasti sudah terserak di seantero area, serta kelompok jin dan gandarwa yang juga sudah siap di mulut dan gerbang jalur-jalur utama Mretani. "Untuk apa kami perlu shortcut itu? Kau pikir kami tidak mampu melawan mereka?" respon Bratasena pada ide Arimbi. Suara Bratasena yang rendah dan dalam itu, walau masih terdengar kasar, sebenarnya agak melunak. Di hadapannya kini berdiri seorang perempuan jangkung yang harus ia akui, begitu cantik. Ia tidak mengira bahwa anggota buta penting ini semenarik itu. Ada rasa sungkan dan entah apa lagi yang berkecamuk di dalam hatinya sehingga ia tidak mungkin berlaku lebih jauh dan tidak beradab, apalagi dari dahulu Bratasena memang memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap perempuan. Arimbi sendiri memang sedari awal sudah merasakan getaran rasa yang aneh dan tak dapat dijelaskan pada Bratasena sehingga sifat keras dan kasarnya seperti mendadak luntur, "Kau sadar kan bahwa Samiaji, anggota tertua sekaligus pemimpin kalian tidak ingin banyak memakan korban di kedua belah pihak? Ia ingin Berbicara sekali lagi dengan Yudistira, bukan? Mengapa tidak kalian hindari pertumpahan darah lebih banyak dan langsung saja menuju ke masalah utama?" Bratasena terlihat menimbang-nimbang perkataan Arimbi, namun ia berusaha menghindari tatapan Arimbi, "Mengapa aku harus percaya pada seorang buta? Bahkan kau adalah salah satu anggota Pringgandani utama? Saudara-saudaramu yang memerintahkan orang, termasuk jin dan gandarwa untuk menyerang, membunuh dan pada dasarnya mengusir kami dari Wanamarta, bukan?" Arimbi tersenyum, "Aku menyelamatkan gadis-gadis muda itu, yang ternyata kau lah yang menunjukkan aksi penyelamatan itu sebenarnya. Sebagai orang yang sama-sama peduli dengan perempuan, kau pasti tahu aku tak berbohong." Bratasena tidak menjawab, derak sepatu cap toe leather boots nya bergerak menjauh. Arimbi tahu pasti bahwa jawaban Bratasena adalah 'ya.' Memang jelas, lelaki raksasa itu tidak banyak omong, bahkan terkesan menggantungkan jawaban. Tapi setiap bahasa tubuhnya selalu memiliki arti. Arimbi ternyata mampu menginterpretasikan makna dalam setiap gerakan Bratasena. Arimbi tersenyum dan bergegas pula mengikuti langkah panjang-panjang Bratasena ke ruangan utama dimana kemudian ia dipersilahkan Bratasena untuk menjelaskan rencananya menembus pertahanan Mretani tanpa banyak korban yang jatuh lagi kepada Samiaji dan segenap keluarga Pendawa. Para Punakawan mengangguk-angguk hampir serempak menunjukkan persetujuan mereka, walau Bagong hanya sekadar meniru perilaku keluarga mereka yang lain tanpa sebenarnya tahu apa yang terjadi. Samiaji, seperti biasa tidak menunjukkan mimik maupun emosi, walau setiap ucapan dari mulutnya menyetujui ide ini. Lady Drupadi melirik wajah Madame Kunthi yang tersenyum lebar memandang 'presentasi' Arimbi. Maka berdasarkan penjelasan Arimbi tersebut, di sinilah mereka sekarang. Hanya bersembilan, lima orang Pendawa dan empat Punakawan, melewati jalur kecil melalui perbukitan dan hutan pinus menggendarai Harley Davidson FL Panhead, dua Vincent Black Prince, Indian Chief Black Hawk, dan Harley Davidson Sportster Karena jalur tersebut memang hanya bisa dilalui kendaraan beroda dua. Bahkan Bandung Bandawasa harus tinggal di Wanamarta, kembali menjaga keluarga Pendawa yang tersisa. Ia hanya dapat melihat punggung tuannya, Bratasena, pergi menjauh. Setiap detil penjelasan Arimbi ternyata benar adanya. Mereka mengambil jalan menikung dan menyembunyikan motor mereka jauh di belakang tumpukan petikemas di sebuah gudang tanpa penjaga. Benar memang bahwasanya pepohonan, perbukitan dan tembok-tembok tinggi perumahan mewah alias real estate rancangan dan prakarsa Madukara, membuat kota Mretani menjadi sebuah area misterius namun hidup, terlindungi benteng alam. Tanpa merunduk-runduk lagi, para Pendawa berjalan lurus ke gedung utama perusahaan dan kota Mretani. Bratasena menggenggam sepasang pancanaka nya, Permadi berdiri di samping agak di depan Samiaji dan meloloskan Beretta nya, sedangkan sang Kakang berjalan santai. Pinten dan Tangsen juga menggenggam pisau mereka di tangan kiri. "Akhirnya sampai juga. Jujur aku tidak paham bagaimana kalian sampai ke pusat Mretani tanpa terdeteksi," ujar Dandun Wacana sudah berdiri di depan rombongan tersebut dengan menggenggam sepasang kukri nya. Sebelumnya ia sempat membuat gerakan mencegah tiga orang anggota gandarwa yang menyerbu dengan bernafsu demi melihat rombongan musuh muncul di hadapan mereka dengan tiba-tiba. Dandun Wacana sendiri berdiri di dasar tangga marmer gedung utama Mretani. Bratasena maju, "Minggir! Kakangku Samiaji harus berbicara dengan Kakangmu, Yudhistira." "Loh, siapa yang melarang? Silahkan tuan Samiaji naik saja, masuk ke dalam. Kakang Yudhistira menunggu di aula ruangan pertemuan. Tapi kau, Bratasena, kedua mata kukri ku malu telanjang seperti ini tanpa digunakan. Lagipula, sudah kulihat sepasang kudhi mu juga telah terhunus. Mengapa tak kita jajal sekalian?" Dandun Wacana, dengan paras dan tubuh serupa Bratasena, dibedakan dengan baik dari perilaku dan nada berbicaranya. Bratasena selalu malas berbalas kata, sedangkan Dandun Wacana, hampir sebaliknya. Memahami hal ini sebagai sebuah tantangan pertarungan satu lawan satu, Bratasena berkata pada anggota Pendawa yang lain tanpa menoleh, "Pergi Kakang, aku bungkam b*****t ini dahulu." "Kau yakin, Kakang?" ujar Tangsen. Tanpa menunggu jawaban dari Bratasena, Pinten menepuk bahu saudara kembarnya. Tak lama, semua bergegas menaiki anak tangga. Janggan Smarasanta menoleh ke bawah, kedua raksasa saling berhadapan siap beradu nyawa. Di depan pintu gedung utama tersebut, ada sekitar enam atau tujuh anggota jin bersetelan hitam, menodongkan shotgun Remington mereka. Di depan anggota jin tersebut, keluarga jin yang lain, Nakula dan Sadewa memberikan aba-aba untuk anak buah mereka menurunkan todongan senjatanya. Mereka sendiri menjatuhkan revolver mereka dan menghunus brass-knuckle dan knuckle-duster serta mengencangkan derby di kepala mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN