Setengah tahun sudah tak terasa bagi restoran dan hotel Bale Sigalagala beroperasi. Tak sejenak pun proyek lini bisnis garapan Astina Enterprise itu sepi dari pemberitaan dan keuntungan. Media terus saja mendengungkan ciri khas dan kehebatan tempat itu.
Harya Suman tersenyum puas setiap hari. Purocana tak kalah sumringah. Suyudana dan kesembilan adik-adiknya sudah mempersiapkan diri untuk hal-hal luar biasa yang akan terjadi untuk mereka di depan kelak. Namun mereka masih tidak bisa terlalu senang. Suyudana masih tidak tersenyum. Ia masih menunggu sampai hari dimana para Pendawa akhirnya harus tewas terpanggang di dalam Bale Sigalagala yang sudah dibangun dengan sungguh-sungguh serta dana yang tidak sedikit. Belum lagi waktu yang mereka butuhkan untuk menciptakan image profesionalisme lini bisnis ini.
Bagi Suyudana, kesuksesan Bale Sigalagala sama sekali tak berpengaruh padanya. Bale Sigalagala tak seujung kukupun adalah bagian dari kemenangannya. Dengan seratus perusahaan di bawah kekuasaannya dan adik-adiknya, jelas Bale Sigalagala bukan apa-apa. Lagipula, sebentar lagi, bangunan itu akan terbakar habis dengan para Pendawa di dalamnya. Itulah kesuksesan baginya.
Harya Suman juga berkali-kali meyakinkan Suyudana untuk sedikit sabar dalam hal ini. Rencana sudah sangat matang, sehingga eksekusi juga harus sempurna. Tidak boleh grusa-grusu dan tergesa-gesa.
“Tapi kapan kau akan lakukan rencana ini, Paman? Bukankah setengah tahun adalah waktu yang terlalu lama untuk membunuh para Pendawa?” tanya Suyudana gusar.
“Nah, nah, waktu bukanlah sebuah hal yang harus ditergesakan ketika berbicara mengenai sebuah kesempurnaan sebuah rencana, ngger. Menghabisi para Pendawa harus benar-benar terukur. Bila waktu yang kita gunakan untuk menampilkan Bale Sigalagala terlalu singkat, kita akan kurang mampu meyakinkan mereka, terutama Samiaji. Anak itu memerlukan gebyar dan gegap gempita kemewahan laksana pesta. Dia mungkin banyak diam dan berhati dingin, tapi dengan alkohol dan judi, siapa yang bisa mengalahkannya?” ujar Harya Suman licik.
“Baik, baik, Paman. Tapi, mengenai alasan undangan ini, apakah tidak berlebihan? Engkau mengatakan bahwa kita akan mengundang para Pendawa untuk kepentingan penyerahan kekuasaan Astine Enterprise kepada Samiaji dan adik-adiknya? Bahkan Rama Drestrarasta yang buta saja bisa mendelik mendengar kabar itu, paman,” ujar Suyudana ketus.
“Dinginkan kepalamu, ngger. Rencana ini satu arah saja. Seperti kukatakan sebelumnya, semuanya harus sempurna. Tidak ada Plan B, tidak ada cadangan. Mereka harus mati di Bale Sigalagala. Untuk itu, aturan pertama, tentu mereka harus mau datang dengan sukarela, tanpa curiga, tanpa terpaksa. Bagian pertama dalam rencana ini sudah terlaksana dengan baik, ngger Suyudana. Kepercayaan publik kepada Bale Sigalagala meningkat pesat. Restoran ini sudah meyakinkan. Nah, tinggal bagaimana meyakinkan para Pendawa kalau tidak dengan alasan penyerahan kekuasaan?” ujar Harya Suman meyakinkan kemenakannya.
Benar saja, tak membutuhkan waktu terlalu lama setelah pembicaraan terakhir Harya Suman dan para Kurawa, undangan datang di depan pintu kediaman Samiaji dan para anggota Pendawa lainnya di Pagombakan City. Tidak ada pemberitahuan kepada media kali ini, sama sekali tertutup.
“Kau sungguh-sungguh ingin menerima undangan kaum licik itu, Kakang?” ujar Permadi tak percaya ketika menanggapi invitation itu. Ia heran sang Kakang terlihat ceria, meski wajahnya selalu dingin, namun aura kebahagiaan itu terpancar jelas dari gerak tubuhnya.
“Mereka sudah mengundang kita, lalu apa salahnya kita datang dan sedikit menikmati hidangan yang ada di sana,” ujar Samiaji santai. Perlu diingat, Samiaji meski adalah orang yang sama, tentu memiliki perbedaan dan perkembangan karakter dibanding Samiaji beberapa tahun kedepan, dimana mereka kelak bertahta di Wanamarta.
“Baj*ingan Suyudana itu tak mungkin sungguh-sungguh ingin menyerahkan Astine Enterprise kepadamu, Kakang,” kali ini Bratasena dengan suara dalam dan menggelegarnya yang merespon.
“Ayolah, Adi Bratasena. Mereka jelas memiliki anggur, alkohol dan makanan yang luar biasa, bukan?” balas Samiaji.
Bratasena terlihat sedikit naik pitam. “Apa hanya minuman dan makanan yang kau pikirkan?” serunya.
Samiaji memandang Bratasena dingin. Ia paham tindak tanduk adiknya tersebut. “Ucapanku membuktikan bahwa aku paham bahwasanya ada sesuatu di balik undangan mereka ini. Tapi kita tak mungkin menolaknya, Adi Bratasena. Itu menunjukkan bahwa kita sengaja mencari masalah. Mereka juga dapat mempermainkan statement kita bahwa kita menolak dan mungkin mempublikasikannya kepada publik lewat media massa. Lagipula, ada kau, Adi Bratasena, yang mampu melindungiku, bukan?”
Tak ada lagi yang dapat berbicara merespon ucapan sang Kakang ini. Mereka paham bahwasanya ada rencana busuk dibalik undangan bersahabat yang mereka dapatkan dari sepupu mereka tersebut. Namun mereka tak dapat menjelaskan apapun. Tentu saja, para Pendawa juga tak dapat menjelaskan rencana apa itu yang dipersiapkan oleh rival mereka tersebut.
Anggap saja para Kurawa memutuskan untuk kembali secara radikal melakukan sebuah usaha pembunuhan terhadap mereka. Bukankah hal itu akan merusak segalanya? Bale Sigalagala dibangun dengan kehebohan selama berbulan-bulan. Keuntungan terasa sekali mereka dapatkan. Tidak hanya itu, pujian, penghargaan atas makanan, pelayanan dan seni estetika bangunan itu rasa-rasanya menjadi sesuatu yang tidak mungkin untuk dihancurkan begitu saja. Begitu lah pikir Permadi, Pinten dan Tangsen. Bratasena sendiri masih tidak nyaman dengan undangan ini, sedangkan Samiaji, sama sekali tak bisa ditebak apa yang ia sedang pikirkan.
Mungkin saja para Kurawa sekadar ingin menyombongkan proyek baru mereka ini kepada para Pendawa. Lalu untuk apa mereka melakukan hal ini bila hanya ingin sekadar membanggakan Bale Sigalaga sedangkan kepemilikan mereka atas Astina Enterprise sudah menunjukkan kekuasaan itu. Di lain sisi, bukankah invitasi yang mereka terima jelas menjelaskan bahwa acara yang akan mereka hadiri adalah sebuah acara penyerahan kepemimpinan Astina Enterprise?
Dugaan demi dugaan terus bertebaran dengan liar. “Itulah sebabnya kita harus hadir, adik-adikku. Kita harus tahu apa yang mereka inginkan. Tantu saja aku tidak semerta-merta percaya bahwa Astina Enterprise akan kambali diserahkan kepada kita. Apakah mugkin kita akan melakukan sebuah negosiasi lagi dengan para Kurawa dalam pembagian kekuasaan, atau hal lain lagi yang sama sekali tidak kita ketahui bila kita menutup mata untuk tidak menyambut baik undangan mereka tersebut,” jelas Samiaji.
Tak ada yang bisa dilakukan para Pendawa selain mengiyakan pemikiran sang Kakang. Tapi, masalah keamanan sudah tentu akan menjadi pertimbangan untuk persiapan kehadiran mereka ini. Membawa pengikut bukanlah sebuah keputusan yang baik. Ini malah menunjukkan bahwa para Pendawa curiga dengan undangan para Kurawa. Perang akan terjadi sebelum masalah muncul. Satu-satunya cara tentu adalah berangkat ke undangan di Bale Sigaalagala lima hari kedepan bersama keluarga inti mereka saja setelah mengirimkan balasan kesanggupan mereka untuk hadir. Entah apa yang akan terjadi di depan kelak, Bratasena secara pribadi sudah mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin.