Prior to Part Nine - Bale Sigalagala Pt III

1122 Kata
Hari yang bersejarah telah tiba. Tidak ada kusak-kusuk pemberitaan oleh media ataupun sekadar desas desus. Terlihat sekali bahwa Harya Suman menjaga rapat-rapat informasi ini dari khalayak. Hebatnya lagi, ia sudah memprediksi bahwa Samiaji juga sudah masuk dalam perangkapnya dimana anak tertua Pendawa itu juga tidak ingin agar kedatangan mereka diketahui publik. Harya Suman telah meramalkan bahwa Samiaji akan sengaja memakan umpannya mentah-mentah, bukan karena bodoh, namun anak sulung keluarga Pendawa itu memang tidak mau menantang dan menentang etika dan moralitas yang ia jaga. Ia tidak pernah mau menolak undangan, apalagi bila invitasi itu diberikan dengan sungguh-sungguh. Bukan Harya Suman tidak mengetahui bahwa para Pendawa telah lama curiga dengan rencananya ini. Tapi sekali lagi, pemahamannya tentang sifat dan tabiat para Pendawa itu memberikannya keuntungan yang besar. Para Pendawa memiliki kelemahan dalam kepercayaan yang mereka anut dan nilai-nilai yang mereka percayai. Segala hal yang telah Harya Suman lakukan hampir setahun ini telah membuahkan hasil, yaitu membangun image dan kepercayaan publik. Sebagai akibatnya, Samiaji tidak mungkin menolak undangannya atas dasar kecurigaan yang bias. Maka hari yang besar ini harus dipersiapkan dengan baik dan dieksekusi secara sempurna, tanpa boleh ada kesalahan sedikitpun. “Paman yakin mereka akan datang malam ini?” tanya Suyudana. Sang paman mengerling ke arah kemenakannya tersebut kemudian menjawab dengan sinis, meski bibirnya menyunggingkan senyum. “Bukankah Samiaji sudah membalas undangan kita sama resminya, ngger Suyudana?” “Benar, paman. Tapi itu hanya sekadar balasan persetujuan tak bermakna apa-apa. Apakah itu merupakan sebuah jaminan, paman?” “Ah, kau ini ternyata masih tidak paham dengan sifat-sifat sepupumu sendiri, ngger. Bagaimana mungkin menjadi seorang perencana ulung bila pengetahuan dasar semacam ini tidak kau pahami. Mungkin balasan itu hanya kata-kata, tapi untuk seorang Samiaji, janji dan sumpah adalah hal yang harus ditepati. Itu sudah final, tak bisa diganggu gugat. Samiaji tak pernah ingkar janji, tak peduli seberapa konyol janjinya itu,” balas sang paman. Suyudana meringis dan memandang pamannya dnegan tajam. “Baiklah paman, sudah jelas bahwasanya hanya engkau yang patut menjadi seorang perencana strategi yang ulung,” ujarnya. Persiapan yang dilakukan oleh para Kurawa ini juga diseimbangi oleh pihak Don Yamawidura. Ia yang telah mendapatkan informasi dan juga sudah memerintahkan sang putra, Sanjaya, untuk menyabotase pembangunan Bale Sigalagala demi keselamantan para Pendawa juga tidak berhenti di situ. Ia telah meminta bantuan seorang Don lain yang berkuasa di state Negara Bawah Bumi. Sang Don yang merupakan seorang mantan militer, seorang begawan, juga sekarang memiliki jabatan di pemerintahan, yang membuat ia juga masuk dalam golongan batara ini, bernama Don Sang Hyang Antaboga. Ia adalah orang penting di dalam pemerintahan. Bahkan bisa dikatakan bahwa sang Don adalah penguasa state Negara Bawah Bumi. Statusnya sebagai mantan militer, seorang begawan, membuatnya ditakuti. Ia memiliki segala sumber kekuatan seperti pasukan dan persenjataan. Ia memiliki akses militer di Suralaya, termasuk segala bisnis yang berhubungan dengan persenjataan dan militer itu sendiri. Sebagai seorang Don, ia juga memiliki kekuatan di balik kegelapan. Mafia bekerja di bawah kekuasaannya, termasuk black market senjata yang menjadi spesialisasinya. Sebagai seorang batara, pejabat daerah negara bagian, Don Sang Hyang Antaboga menguasai sepenuhnya politik dan enonomi negara. Don Yamawidura memutuskan bernegosiasi dengan sang Don dari Negeri Bawah Bumi itu. Ia meminta Don Sang Hyang Antaboga untuk menolong para Pendawa. Ia menginginkan pihak ketiga untuk ikut campur dalam permasalah internal Astina Enterprise ini karena posisinya yang cukup sulit bisa ia ketahuan terlibat di dalam tindakan ini. “Don Yamawidura, Don Yamawidura. Aku tidak menyangka bahwa seorang Don dari Pagombakan City datang sendiri secara langsung repot-repot menemuiku jauh-jauh ke Negeri Bawah Bumi,” ujar Don Sang Hyang Antaboga. Laki-laki paruh baya ini masih menunjukkan segala aura yang membuat ia sangat disegani. Suit hitam bergaris-garis putih dipadankan dengan fedora hitam memperkuat aksen kumis dan jambang tebal nan rapih di wajahnya. Tubuhnya masih terlihat sekal dan berisi namun juga padat. Ia menenggak espresso sembari menimpakan satu kaki di kaki lainnya. Kedua Don duduk berhadap-hadapan di depan sebuah meja bulat di tengah taman. Belasan penjaga tersebar di sekeliling taman dengan besenjatakan lupara dan rifle. “Permintaanku ini bukan untuk diriku sendiri, Don Sang Hyang Antaboga. Ini untuk kelangsungan negeri Jagad Wayang sendiri,” ujar Dong Yamawidura. Don Sang Hyang Antaboga tertawa pendeka. “Benarkah itu, Don Yamawidura? Sepenting itu kah para Pendawa ini?” “Kau mau kita terus berpura-pura, Don? Kita sudah tak muda. Kau tahu bahwa keberlangsungan kehidupan mafia dengan segala cara hidup kita yang kompleks ini masih akan terus terjadi, bukan? Orang-orang di Suralaya, para pejabat itu, memikirkan diri mereka sendiri. Engkau yang merupakan bagian dari mereka juga ternyata tak diacuhkan, bukan? Kau dibiarkan memiliki kerajaanmu sendiri asal tidak mengganggu kepentingan mereka. Tidak ada kesejahteraan bersama. Kita, Para Don, dan pangeran-pangeran mafia yang harus bertahan hidup dengan cara dan sistem kita sendiri. Para Pendawa adalah calon-calon kuat penerus kekuatan mafia di negeri Jagad Wayang. Mereka merupakan rival paling berbahaya keluarga Kurawa dengan Astina Enterprise dan seratus lebih perusahaan lainnya. Para batara juga sudah bermain taruhan dan sedikit banyak ambil bagian dari permainan ini. Dimana posisi mu, Don Sang Hyang Antaboga?” ujar Don Yamawidura panjang lebar. Sang Don terdiam. Kemudian memandang sekelilingnya. Ia berbicara tanpa memandang ke arah lawan bicaranya. “Kau tahu, Don Yamawidura, bahwa tindakanku kelak bila memang aku setuju, akan membawa perubahan besar dalam peta persaingan bisnis dan kerajaan mafia di negeri ini? Aku yakin pertikaian para Pendawa dan Kurawa akan mengguncang negara ini. Di satu sisi, mungkin aku bangga karena terlibat di dalamnya, di sisi lain, aku juga cukup khawatir bahwa kejadian buruk akan terus menghantui hidup kita, Don.” Kali ini giliran Don Yawidura yang tersenyum. Ia bahkan tertawa kecil. “Sejak kapan kehidupan orang-orang semacam kita ini pernah tidak dihantui hal-hal buruk, Don Sang Hyang Antaboga? Sejak kapan?” Don Yamawidura ikut menenggak espresso yang pahitnya melebihi kehidupan itu. Lampu-lampu temaram namun hangat dan nyawan memantul di dinding kayu Bale Sigalagala di keempat lantainya. Para tamu sibuk menikmati musik di ballroom mini di area tengah hotel. Akan ada hiburan pertunjukan kembang api tepat pukul dua belas tengah malam ini di area taman di depan Bale Sigalagala. Setiap tamu diundang untuk menikmatinya. Namun, pukul tujuh malam ini, semua masih begitu menikmati makanan dan minuman yang dihidangkan. Para tamu diberitahu bahwa acara spesial ini memang khusus diberikan kepada mereka sebagai bentuk kejutan. Bukan perayaan Tahun Baru, bukan pula ulang tahun Bale Sigalagala, namun hanya perayaan kesuksesan atas kepercayaan para guest terhadap mereka. Suyudana awalnya bingung namun sadar apa sebenarnya tujuan perayaan ini ketika rombongan mobil para Pendawa sampai di depan pelataran Bale Sigalagala. Para tamu akan diminta keluar untuk meminimalisit korban kebakaran. Sedangkan kembang api dijadikan sebuah alibi alasan kecelakaan tersebut. Suyudana tersenyum lebar. Bukan pada para Pendawa yang baru sampai, namun pada rencana cerdas yang dibuat oleh sang paman, Harya Suman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN