Lovers don’t finally meet somewhere. They’re in each other all along, Pasangan yang saling cinta tidak bertemu di suatu tempat ada akhirnya. Sebenarnya mereka sudah berada di diri masing-masing selama ini.
Entah dimulai sejak kapan. Namun sekarang bibir Arimbi menempel erat di bibir Bratasena. Malam ini sang gadis buta itu benar-benar kehilangan akal. Ia tak mampu lagi menahan gejolak asmara yang meledak-ledak di dadanya selama beberapa hari telah berada di Wanamarta, di tempat tinggal dan area kekuasaan keluarga Pendawa. Entah karena alkohol yang menjadi pemicunya, entah karena ia mabuk kepayang, atau mungkin keduanya.
Bratasena terlihat terlalu memesona bagi Arimbi. Bila dipikir-pikir, laki-laki kasar tanpa basa-basi itu sebenarnya tak ubahnya para anggota buta dalam beberapa sisi. Bratasena lugas. Ia selalu mengatakan apa yang mau ia katakan, ia bahkan tak bisa berkata-kata yang sopan dan menghaluskan bahasa. Hanya saja perilakunya tak sejalan dengan jiwa lembut yang tersimpan di dalam, di relung-relung jiwanya.
Arimbi baru benar-benar sadar bahwa Bratasena begitu menghormati perempuan. Caranya berbicara dan bersikap dengan ibu dan kakak iparnya selalu menunjukkan rasa hormat, walau tanpa harus dibuat-buat. Kelugasannya malah terlihat manis bagi Arimbi.
Sekali pernah ia membentak Arimbi karena sedang mengecek granat bhanga dan pil Sela Timpuru. Arimbi bereksperimen dengan dua benda itu dengan ditemani Pinten dan Tangsen yang melipat kedua tangannya di depan d**a mereka ketika tiba-tiba satu granat modifikasi yang sedang dibongkar berdesis. Bratasena yang baru saja masuk ke ruangan itu segera menarik Arimbi menjauh, sedangkan granat tersebut tidak jadi meledak. Pinten, Tangsen dan Arimbi tertawa terbahak-bahak, tidak begitu dengan Bratasena.
"Perbuatan bodoh apa yang kalian lakukan?"
"Kami hanya bereksperimen dengan benda itu, Kakang," ujar Pinten.
"Tapi kalian dapat mencelakai diri kalian sendiri dan perempuan ini," balas Bratasena.
"Ayolah, Kakang. Aku adalah orang yang mengetahui sedikit banyak tentang bhanga. Apakah Kakang lupa bahwa aku lah yang memberi peringatan kepada kalian mengenai bahayanya granat bhanga?" sela Arimbi.
"Tapi kau adalah perempuan," ujar Bratasena pendek.
Arimbi membelalakkan kedua matanya lebar, jelas tersinggung, "Lalu kenapa memangnya kalau aku adalah seorang perempuan? Kau pikir hanya laki-laki yang berhak berurusan dengan hal-hal semacam ini? Lagipula aku berasal dari keluarga buta. Mungkin yang ini kau lupa, Kakang.”
Bratasena memalingkan mukanya, "Terserah bagaimana buta memperlakukan perempuan, tapi di Wanamarta ini perempuan dilindungi, bukan diperlakukan semena-mena. Lagipula, aku tak mau kau terkena granat bhanga dan berhalusinasi melihatku seperti seorang raksasa seperti yang terjadi padaku dulu," Bratasena kemudian pergi meninggalkan mereka bertiga.
Pinten dan Tangsen terdiam, sedikit malu, dan melihat wajah Arimbi yang merona.
Baru kali ini Arimbi merasa bahwa Bratasena repot-repot berbicara panjang-panjang untuk menunjukkan perhatiannya. Dan ini adalah hal paling romantis yang pernah ia alami.
"Aku telah beristri," ujar Bratasena di sela-sela ciuman mereka. Ia sebenarnya tak ingin merusak suasana keintiman mereka ini. Tapi Bratasena adalah orang paling jujur dan lugas yang pernah ada. Ia bukan tipe penipu dan berbasa-basi.
"Aku tahu. Nama perempuan itu adalah Nagagini. Ia memberikanmu anak laki-laki bernama Antareja. Kau pikir aku hidup dimana, Kakang Bratasena? Aku adalah keturunan langsung mob royalty buta yang telah berdiri ratusan tahun yang lalu. Aku orang kedua di kerajaan perusahaan Pringgandani Corp. Kami memaksa orang untuk berbisnis dengan kami dengan segala cara. Penipuan, intimidasi, perampokan, pembunuhan ... Sebut saja. Bagaimana aku bisa tak paham mengenai kalian, keluarga Pendawa."
"Tapi aku memang benar menyukaimu."
"Oiya? Bukannya aku yang lebih dahulu menyukaimu Kakang?"
"Bukannya ini akan merendahkan derajatmu sebagai seorang perempuan?"
"Sebagai istri kedua? Sebagai korban patriarkal maksudmu?” Arimbi menarik nafas panjang. “Aku juga tak paham, Kakang. Tapi jelas, aku tak mungkin menghindari perasaan ini kepadamu. Kau tahu bagaimana aku diperlakukan di keluarga buta yang semua adalah laki-laki? Kakang Arimba dan mayoritas adik laki-lakiku dibentuk untuk menjadi anggota klan, geng, keluarga mafia buta atau apapun namanya yang disematkan tersebut kepada kami. Mereka diperintah menghormatiku oleh Kakang Arimba, sebagai anak nomer dua. Aku pikir itu adalah bentuk dari penghormatan kepada seorang perempuan yang ternyata kebetulan ada di dalam keluarga mereka, tapi nyatanya tidak sama sekali.” Arimbi memandang langsung ke mata Bratasena, “Tahu kah Kakang, aku tidak mau menjalankan tanggung jawabku sebagai seorang buta. Bagaimana kalau sebenarnya aku memang tidak menginginkan untuk mengurusi Pringgandani Corp.? Bagaimana bila aku ingin menjadi seorang perempuan biasa yang memang lemah dan berada di bawah perlindungan seorang laki-laki sepertimu, Kakang?” Arimbi kembali mencium sepasang bibir Bratasena.
Tak lama Arimbi menyerah pada kedua kakinya yang mengajaknya untuk duduk di depan bar. Keduanya menyesap cocktailnya, Sidecar, yang terdiri atas campuran Cognac, lemon juice dan Triple sec dalam shaker selama dua puluh sampai tiga puluh detik dan disajikan dingin, mendekati beku. Rasa tenang dan suasana romantis menyerang keduanya kembali. Bratasena menghabiskan Sidecar nya, meminta bir Ballantine IPA dan langsung menenggaknya dengan kasar. Tak butuh waktu lama untuk Bratasena memintanya lagi.
Bratasena melirik Arimbi di sampingnya, “Apa yang akan terjadi dengan Arimba dan Pringgandani nantinya?”
“Pendawa pasti akan mengalahkan Pringgandani. Tapi bukankah Kakang kalian, Samiaji, pasti akan menggunakan cara-cara komunikasi tanpa korban lagi bukan? Melihat kejadian dengan para jin dan gandarwa Mretani.”
Bratasena hampir tersedak bir nya kemudian menggeleng keras, “Maka dari kejadian dengan Mretani itulah kami belajar, kekerasan mungkin adalah satu-satunya cara.”
Arimbi memprotes keras pernyataan Bratasena, “Tapi ada aku, Kakang. Aku bisa mewakili kalian, menjelaskan bahwa sudah saatnya kaum buta untuk berhenti berbisnis dengan cara-cara mereka sekarang. Harus ada renovasi dan revolusi industri di Pringgandani Corp. Aku dapat menggunakan pengaruhku sebagai orang nomer dua di perusahaan dan mencoba meyakinkan Kakang Arimba.”
“Cukup, Arimbi. Kau sendiri yang mengatakan bahwa kau merasa bukan benar-benar bagian dari keluarga buta. Mereka jelas tak akan mendengarkanmu. Dan Samiaji?” Bratasena memicingkan kedua matanya, “Dia ... dia terlalu rumit untuk kau pahami.”
“Apa sebenarnya maksudmu Kakang? Kalian akan membunuh Kakang Arimba? Menggunakan siapa? Kakang Samiaji sepertinya tak akan mengotori tangannya dengan darah. Orang lain yang melakukan semuanya untuknya, bukan begitu?” sepasang mata Arimbi membelalak. Suaranya bergetar penuh emosi. Luapan perasaan antara kesal dan marah, mabuk alkohol sekaligus mabuk cinta. Ia merasa pusing.
Bratasena diam dan menenggak bir nya lagi. Ia meminta tambahan bir.
“Kakang, aku harus bicara dengan Kakang Arimba dan adik-adikku,” kata Arimbi sembari memegang kepalanya. Ia ternyata merasa pusing. Ia hampir terjatuh dari kursinya ketika Bratasena memeluknya.
“Kau mabuk,” ujar Bratasena pendek.
“Kau bertanya atau menghina, Kakang Bratasena? Aku adalah bagian dari kaum buta, aku tidak mudah mabuk,” protes Arimbi.