Dananjaya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Sepasang bibir tebalnya menyunggingkan senyum lebar. Ia merasa tak pernah senyum selebar ini. Ada rasa membuncah di dalam dadanya yang membuat ia merasa plong. Ia kemudian membenarkan posisi derby di kepalanya. Ia memutar tubuhnya keluar dari balik pilar dan mengarahkan bazooka yang telah terisi dengan roket ke arah Permadi.
Di bawah sana, Permadi berlutut dengan satu kaki dengan posisi menyerang sempurna. Kedua lengannya memegang senapan Lenga Jayengkaton dengan matap, sedangkan sepasang matanya telah mengunci target. Sebelum Dananjaya menekan pelatuk, Permadi telah menembakkan pelurunya yang berurutan menghajar kaki, perut, d**a dan bazooka yang Dananjaya arahkan.
Akibatnya peluru bazooka meledak. Ledakan besar menghancurkan bangunan di depan Permadi. Pecahan tubuh Dananjaya dan mayat anggota jin di sekitarnya terlempar ke segala arah. Mereka tewas seketika itu juga.
Beberapa meter di belakang gedung dimana Dananjaya meledak, Dandun Wacana, Nakula, Sadewa dan sisa anggota jin dan gandarwa terperangah.
Tapi tak lama Dandun Wacana justru tersenyum, "Madukara sudah beralih pihak, perusahaan itu sudah punya pengganti. Kita lihat apa mereka masih bisa merebut Mretani dari kita," ujar Dandun Wacana sembari masih tetap tersenyum tipis. Ia pun yakin Dananjaya juga tersenyum beberapa saat sebelum tewas.
Dandun Wacana kemudian melihat ke arah si kembar Nakula Sadewa, "Kalian sudah pastikan bahwa gadis-gadis itu selamat?"
"Sudah, Kakang, mereka sudah berada di tangan yang benar. Sosok misterius yang menyerang kita tadi sudah mengamankan para gadis yang kita jadikan sandera dan menyerahkan mereka pada perlindungan para Pendawa," jawab Nakula.
Dandun Wacana tersenyum semakin lebar. Ia terlihat begitu lega. Sebuah keadaan yang begitu ganjil bila dilihat dari sudut pandang orang lain. Namun memang klan jin dan gandarwa bukan orang biasa.
Terbukalah sudah bahwa sebenarnya sulit untuk menilai setiap kelompok dalam permainan bisnis, politik dan kekuasaan di penjuru Wanamarta ini. Didapati bahwa sebenarnya seperti permintaan Yudhistira, para jin dan gandarwa sengaja membeli para gadis muda dari buta sebagai sarana pembebasan gadis-gadis itu sendiri. Jin dan gandarwa tidak benar-benar menggunakan para gadis sebagai tameng. Mereka sebaliknya ingin membuktikan bahwa kelemahan Pendawa yang tidak ingin melibatkan keselamatan para gadis muda adalah mungkin benar adanya. Ternyata memang Bratasena bukanlah laki-laki sadis dan tanpa hati.
Ada dua kemenangan bagi kaum jin dan gandarwa. Pertama, mereka ternyata dapat membebaskan para gadis dengan dalih membeli dari klan buta. Para gadis itu sekarang sudah berada di tangan yang benar, yaitu para Pendawa. Para jin dan gandarwa berhasil menunjukkan kepada diri mereka sendiri bahwa mereka masih memiliki moral dan tidak memelihara kebejatan yang jauh dari sifat asli klan mereka. Kemenangan kedua, kelemahan para Pendawa terutama Bratasena, dapat digunakan sebagai sebuah perlawanan yang berarti bagi para jin dan gandarwa. Apakah kelak Bratasena selamat atau tidak dari asap bhanga, itu bukan menajdi soal. Pertempuran pasti memiliki korban. Kematian Dananjaya adalah contoh nyatanya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang?" lanjut Sadewa.
"Kita mundur dulu ke Mretani. Kita hadapi mereka di sana. Aku masih ingin melihat kehebatan Pendawa sampai habis," jawab Dandun Wacana tegas.
Dengan segera Nakula dan Sadewa serta rombongan jin yang tersisa menuruni bukit dimana puing-puing perumahan Jala Sutra berdiri untuk masuk ke kendaraan mereka yang terparkir di jalan dan segera kembali ke Mretani.
Sukodadi, Penyukilan, Bagong dan orang -orang dari pihak Pendawa menyisir Jala Sutra dan mendapatkan para jin gandarwa memacu mobil mereka meninggalkan area pertempuran.
"Nampaknya mereka semua kembali ke Mretani, tuan Permadi," ujar Sukodadi.
Yang diberi laporan mengangguk. Ia kemudian memberikan perintah kepada para Punakawan dan sisa orang dari pihak Pendawa untuk berjaga di Jala Sutra, "Kalian berjaga di sini melihat kondisi. Aku harus kembali ke Wanamarta untuk membawa Kakang Bratasena dan kedua adikku. Sesampainya di Wanamarta, akan kukirimkan orang lagi untuk mendapingi kalian."
"Jangan khawatir tuan. Aku dan Sukodadi pasti bisa mengatasi ini," ujar Penyukilan.
"Lho, terus aku? Kalian tidak menghitung aku ya? Aku juga kan bisa mengatasi hal ini," protes Bagong sang bungsu tiba-tiba.
Permadi tersenyum, "Ya. Aku tahu kau juga mampu, Bagong."
Bagong tertawa riang, tidak memedulikan pandangan sebal kedua Kakangnya.
Permadi kemudian mendekati Arimbi, memperhatikan kedua anting-anting lebarnya, "Kau terpaksa harus ikut aku ke Wanamarta. Kau yang membebaskan para gadis ini, jadi kau pula yang harus bertanggung jawab dan mengurus mereka."
"Aku tak punya pilihan, bukan?" jawab Arimbi singkat.
Janggan Smarasanta diminta Permadi membawa salah satu pick-up truck membawa gadis-gadis kecil yang terselamatkan. Sedangkan Permadi dibantu Arimbi, membawa Bratasena. Di sisi lain Pinten dan Tangsen yang masih sedikit linglung karena racun granat bhanga juga dibantu perlahan berjalan menuju ke dalam mobil Permadi. Mereka meninggalkan Jala Sutra ketika mentari perlahan bangun dari peraduannya.
Arimbi menghela nafas. Di sampingnya, di dalam mobil Permadi, Bratasena kembali terlelap. Terlihat sekali bahwa laki-laki itu luar biasa kelelahan setelah ia sempat linglung tadi. Semenjak Arimbi melihat bahwa pria dari keluarga Pendawa ini berani mengorbankan nyawanya demi para gadis yang disandera oleh para jin dan gandarwa, ada penilaian yang berbeda terhadap keluarga Pendawa. Apalagi orang yang menodongnya dengan pistol tadi, bersama anggota Pendawa yang lain memang benar-benar menyelamatkan para gadis muda.
Laki-laki macam apa orang ini sebenarnya? Apa benar yang diisukan dan didesas-desuskan bahwa para Pendawa adalah kelompok orang-orang pilihan dengan perilaku dan moral mereka yang terpuji, bahkan di kalangan kaum industri, bisnis dan segala kegelapan yang menempel? Padahal, bukanlah perkara mudah bergelimang di dalam lumpur bisnis dan yang penuh dengan segala intrik, manipulasi bahkan nyawa manusia, untuk tetap memiliki hati nurani dan empati. Arimbi tidak bisa semudah itu percaya pada apa yang dilihatnya. Ia masih belum benar-benar paham siapa dan bagaimana gerangan keluarga Pendawa ini. Meski, di lubuk hatinya, perilaku baik tidak dapat dibuat-buat. Para Pendawa tidak perlu berpura-pura untuk membantu menyelamatkan para gadis. Laki-laki yang ia selamatkan barusan ini juga rela mengorbankan nyawanya untuk dieksekusi oleh para anggota jin demi nyawa gadis-gadis muda tersebut.
Semakin memikirkan, Arimbi tanpa sadar memperhatikan Bratasena dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ada getaran aneh di dalam dadanya selagi ia memperhatikan sang laki-laki. Saat itu Arimbi belum sadar bahwa lelaki yang ia perhatikan adalah Bratasena, orang yang disebut batara Narada beberapa waktu lalu. Para Pendawa pun belum sadar bahwa anggota buta yang ada bersama mereka adalah seorang raksesi, anggota buta perempuan yang memiliki kekuatan politik besar di Pringgandani, lawan dan saingan terbesar mereka.