The Ambassador

1040 Kata
Mendengar teguran keras dari sang mertua, Lady Drupadi langsung menutup mulutnya. Ia menghela nafas dan menghisap rokoknya lagi. Walau Lady Drupadi kerap tak bisa mengerem lidahnya, sebenarnya ia orang yang jujur dan patuh. Ia juga seratus persen menaruh hormat pada mertuanya itu. Selain itu Drupadi juga gampang merasa bersalah atas tindakan atau ucapan yang dilakukan hanya beberapa detik yang lalu. Itu sebabnya, sekarang ia sudah menyesal atas ucapannya yang jelas tanpa dasar dan pengetahuan yang cukup. "Aku minta maaf nona Arimbi. Situasi yang terlalu rumit mungkin memang bukan keunggulanku. Aku sebenarnya juga tidak benar-benar paham apa yang terjadi di masa lalu antara Pringgandani Corporation dan Astina Enterprise," ujar Drupadi kepada Arimbi. Berhubung ucapan ini tulus adanya, Arimbi dengan gamblang dapat menangkap hal itu di kedua mata Drupadi. "Aku paham atas segala yang terjadi, ehm ...," "Aku Drupadi, istri Samiaji, anak tertua keluarga Pendawa. Dan beliau bernama Madame Kunthi," potong Drupadi menjelaskan sembari menunjuk ke arah Madame Kunthi dengan matanya. "Ya, Lady Drupadi dan Madame Kunthi. Aku terlahir dari keluarga buta yang selama ratusan tahun telah membentuk identitas sendiri, bentuk pemberontakan terhadap imigran agrikultur dan penambang dari Arcapada kuno. Kami merasa bahwa kami sebagai native alias pribumi masih berhak atas kekuasaan di bumi Arcapada baru yang dahulu adalah Madyapada ini. Aku dan banyak anggota buta sudah terjepit dan terikat dalam keruwetan intrik politik dan ekonomi perusahaan bahkan negara yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Aku harap kalian, para Pendawa memahami bahwa tidak semua anggota buta terutama di Pringgandani Corp. memiliki keinginan kontrol dan kekuasaan yang sama, baik secara konsep maupun cara," jelas Arimbi panjang lebar. "Aku paham anakku, aku paham. Malahan aku merasa kau memiliki sesuatu di dalam sana, sesuatu yang istimewa dari seorang raksesi. Kau cantik, pemberani dan memiliki jiwa yang peka terhadap keadaan sosial. Apakah kau datang ke sini, terlibat dalam permasalahan Wanamarta Mretani sebagai seorang duta?" ujar sang Madame penuh pengertian. "Aku tak paham posisiku, Madame. Tapi aku hanya ingin yang terbaik buat Wanamarta, Mretani dan Pringgandani. Aku ingin menyudahi permasalahan yang terjadi saat ini. Bisnis kotor berjalan buruk, masalah datang dan pergi terlalu cepat," Arimbi membenahi posisi rambut panjangnya sembari menghela nafas. Tak lama ia memandang ke arah Madame Kunthi. "Bisakah aku berbicara dengan ... Kakang Bratasena, ibu?" Arimbi kembali merasakan getaran aneh itu ketika ia menyebutkan nama Bratasena. Apalagi secara tak sadar ia menyebut sang Madame dengan 'ibu', bukan Madame. Kenyataannya memang di depan keluarga Pendawa ini, ia merasakan bahwa dirinya yang keras, kasar dan terlalu terbuka menjadi lembek dan penuh kepatuhan. Entah karena kharisma luar biasa yang terpancar dari wajah dan ucapan mereka, atau karena perasaan aneh Arimbi terhadap Bratasena. "Kau tahu bahwa Bratasena anakku memiliki perangai khusus, terutama berhubungan dengan orang-orang yang bermasalah dengannya, buta salah satunya?" ujar Madame Kunthi sembari menatap tajam kedua mata Arimbi. Tubuh jangkung Arimbi mendekat ke arah Madame Kunthi, "Maukah engkau membantuku, ibu? Mungkinkah kita dapat menyelesaikan permasalahan yang membelit ini. Aku harap Kakang Bratasena tidak membenciku." "Kau tahu bahwa itu sedikit tidak mungkin, bukan begitu, Arimbi? Kami mengalami banyak hal dengan kaum buta, jin dan gandarwa. Aku tahu maksudmu terhadap Bratasena, karena ia adalah orang yang berdiri paling depan ketika menghadapi mereka. Bisnis narkoba dan prostitusi buta kerap diganggu olehnya. Apakah berbicara dengan Bratasena adalah keputusan yang tepat? Lagipula, apa yang akan dilakukan kaum buta bila mengetahui kau ada di sini, berusaha bernegoisasi dengan kaum Pendawa?" walau masih sedikit terdengar tajam, tapi nada-nada yang diucapkan Drupadi lebih menunjukkan kelugasan dan keakraban disbanding permusuhan atau offense. "Samiaji, anakku, menginginkan para Pendawa untuk kembali berbicara dengan Arimba. Itu juga yang sedang ia lakukan terhadap penguasa Mretani," lanjut Madame Kunthi. "Dalam hal itu, aku yang khawatir bahwa itu tak akan dapat terlaksana. Pada dasarnya, seorang Pendawa harus benar-benar mengalahkan seorang buta untuk dapat menyelesaikan persengkataan ini." "Maksudmu, Permadi atau Bratasena yang berdiri paling depan dalam permasalan ini harus membunuh Arimba?" potong Drupadi. "Itu yang aku takutkan, Lady," jawab Arimbi pendek. Nada getir jelas terdengar dari suaranya. Pintu utama mendadak terbuka, sosok Bandung Bandawasa ngeloyor masuk diikuti tubuh raksasa Bratasena. Bandung Bandawasa tersentak melihat seorang gadis jangkung dengan sepasang giwang lebar ada di ruangan itu. Bratasena juga tak kalah heran. Samar-samar setahunya sebelum ia tak sadarkan diri sejenak tadi, memang ada seorang anggota buta yang selalu di sampingnya, terutama di dalam mobil, perjalanan pulang dari Jala Sutra. Sebelumnya, jelas ia mengalami halusinasi mengenai sesosok mahluk raksasa yang merupakan bentuk ektrim dari buta alias raksasa. Tapi sekarang ia sadar bahwa asap granat bhanga lah yang menyebabkan hal tersebut. Tapi ia sama sekali tidak mengetahui bahwa anggota buta yang ikut bersama mereka ke Wanamarta itu adalah seorang perempuan. Sebelumnya Permadi dan para punakawan sudah sempat menjelaskan panjang lebar mengenai kejadian tadi, tentang apa yang terjadi ketika ia menyerahkan diri kepada para jin dan gandarwa untuk menyelamatkan gadis-gadis itu. Ternyata, sang buta yang tiba-tiba datang malah sebenarnya membantu para Pendawa untuk menyelamatkan tidak hanya anak-anak gadis kecil itu saja, namun termasuk dirinya. "Tuan, nampaknya ia adalah salah satu dari anak-anak Arimbaka," ujar Bandung Bandawasa kepada Bratasena. "Dari awal aku dapat melihat kemiripannya dengan Arimbaka, dan Arimba, anak tertua keluarga Pringgandani," tambah Bandung Bandawasa. "Dan dia seorang perempuan," balas Bratasena pelan. Kalimat sederhana ini seakan menunjukkan dilema besar dalam diri Bratasena. Ia tidak memerangi perempuan, sebaliknya ia begitu menghormati mereka. Itu sebabnya, gampang bagi dirinya untuk berani mengorbankan dirinya untuk anak-anak perempuan kecil yang tidak bersalah itu tanpa syarat. Dengan adanya tokoh buta perempuan yang tiba-tiba masuk dalam arena pertarungan yang semakin memanas ini jelas membuat Bratasena harus hati-hati memutuskan langkah berikutnya. Arimbi berjalan mendekat. Bandung Bandawasa, sebagai pengawal Bratasena secara otomatis berdiri di depannya. Namun kemudian ia sendiri merasa konyol. Ia minggir perlahan. Sekarang Arimbi berdiri menjulang di depan Bratasena. Lebih tinggi dari awamnya laki-laki, namun belum menyamai tinggi sang Bratasena. "Kakang, aku perlu bicara," ujar Arimbi lirih. Bratasena tak dapat melepaskan pandangannya dari gadis jangkung di depannya ini. Perasaannya campur aduk, antara bingung, kesal dan marah karena bagaimanapun yang dihadapinya sekarang adalah anggota keluarga buta utama Pringgandani, dan juga terpesona. Ya, ia terpesona dengan seorang perempuan raksesi yang rambut bergelombangnya menutupi kepala indahnya tersebut. Sepasang matanya juga seperti berbicara, menuntut perdamaian, lemah sekaligus kuat. Seakan ia memerlukan perlindungan tapi juga memiliki beban tanggung jawab yang besar. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN