Begawan Wilawuk terkesiap melihat sang putri berada di tempat itu. Jimambang juga dengan nekat memeluk Permadi yang bila terlambang sepersekian detik sudah pasti tewas.
"Jimambang, sejak kapan kau di sini. Sana segera pulang. Kau tahu bahwa kau sedang hamil, bukan?" seru sang ayah.
"Ya, Rama. Aku sedang hamil, dan Rama tahu bahwa di dalam perutku ini adalah anaknya, anak kami. Ia adalah ayah dari anakku yang hendak Rama bunuh. Apakah Rama ingin memisahkan anak dari ayahnya?" balas Jimambang masih tersedu-sedan.
Begawan Wilawuk memandang tubuh tergeletak tak sadarkan diri Permadi dengan jijik. "Ayah macam apa orang ini? Ia adalah penipu kelas berat, lelaki yang tak bisa bertanggung jawab dengan nafsunya sendiri. Kau tahu dengan jelas bahwa ia sudah memiliki entah berapa perempuan sebelum kau dan entah berapa anak yang sudah ia buat."
Jimambang mengangguk, "Aku sadar, Rama. Kakang Permadi memang aku akui tidak seperti laki-laki lain. Ia istimewa, Rama. Lagipula bagaimanapun anak di dalam rahimku adalah cucumu juga, Rama."
Begawan Wilawuk meludah ke tanah, "Kau lihat, apa pantas ia jadi ayah dari cucuku? Aku tidak melihat ada darah ksatria dari seorang playboy murahan seperti dia. Hampir saja aku lobangi kepalanya dengan ...,"
Begawan Wilawuk belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika moncong pistol Ruger milik Permadi menempel di kepalanya. Permadi bergerak begitu cepat dari posisinya yang telungkup tak sadarkan diri tadi. Bahkan salah satu dari dua personil khusus Pringcendani Arms yang tersisa tidak sempat melakukan apa-apa.
"Kalau begini bagaimana, orang tua?" ujar Permadi dingin.
Kedua mata Begawan Wilawuk terbuka lebar karena terkejut. Namun, tak berapa lama ia malah tertawa terbahak-bahak, membuat personil anggota khusus yang melihat kejadian ini bingung. Apalagi sang begawan kemudian membarengi tawanya dengan tepuk tangan.
"Nah, bila seperti ini, laki-laki ini baru ayah dari cucuku," ujar Begawan Wilawuk keras-keras.
Jimambang tersenyum sumringah.
Singkat cerita, Jimambang tak perlu lagi merengek-rengek pada ayahnya untuk dapat menerima Permadi sebagai ayah dari calon cucunya yang ada dalam kandungannya. Anak semata wayangnya itu bagaimanapun adalah pusat kehidupannya. Tak mungkin hati sang Wilawuk tak lumer melihatnya bermuram durja. Lagipula, cuma Permadi yang mampu sekurang ajar itu pada seorang begawan yang memiliki sumber daya uang dan kekuasaan yang besar. Anak nomer tiga keluarga Pendawa ini dengan cerdas sekaligus licik berhasil membalas serangan Wilawuk dengan menodongkan pistol ke batok kepalanya, tepat ketika ia lengah.
Sebagai hasilnya, Begawan Wilawuk pun mau tidak mau harus mengakui bahwa anak ketiga keluarga Pendawa satu itu cukup tangguh. Ia dapat bertahan dari gempuran terus-menerus Wilawuk dan dua agennya dengan segudang persenjataan, justru bahkan dapat melukai salah seorang agennya dan yang jelas, menodongkan pistol kepadanya.
Ia jelas pantas mendapatkan putriku, pikir Begawan Wilawuk.
Permadi terbangun!
Sentuhan lembut Jimambang sang istri menghilang dari otaknya. Sesegera itulah ia merangkak secepat mungkin menghindari tembakan tambahan yang dilakukan beberapa orang anggota jin. Ketika tersadar inilah ia langsung memperhatikan sekitar, mengumpulkan informasi yang melayang-layang di otaknya karena pingsan tadi.
Perempuan yang menolong para gadis dan Kakang Bratasena nya tadi juga terlempar, namun juga sudah sadar dan setengah merangkak berlindung di balik reruntuhan. Tapi ini tak akan lama sampai rentetan peluru menghancurkan perlindungan dan akhirnya membunuhnya.
Ia lihat para jin masih berada di posisi menyerang dari bagian atas bangunan. Ada sekitar lima sampai enam orang anggota jin. Tak ada habisnya mereka ini, pikir Permadi. Namun ia tak gentar, tak pernah sama sekali. Kedua matanya bagai radar yang mencari keberadaan orang yang bertanggung jawab atas serangan bazooka tadi. Dananjaya berdiri di belakang para jin dengan bazooka di tangan kanannya.
Permadi meraih senapan Lenga Jayengkaton rancangan Princendani Arms di punggungnya. Menyetel gagang dan popor yang terlipat, menghitung peluru dan praktis mempersiapkan senjata dengan bentuk tidak konvensional tersebut, frame dengan bentuk tabung. Senjata yang memiliki jarak tembak efektif 137 meter dan kecepatan 549 meter per detik tersebut sudah siap di genggaman Permadi. sekali lagi wajah cantik Jimambang lewat di otaknya. Permadi tersenyum, "Terimakasih sudah membangunkanku, cantik," ujarnya lebih kepada diri sendiri.
Permadi dengan gesit dan elegan menembakkan senjatanya, memapras langsung dua orang anggota jin yang seketika tewas. Tubuh mereka terbakar oleh peluru Lenga Jayengkaton, membuat anggota jin lainnya hilang fokus dan konsentrasi. Permadi menyasar dinding dan pilar tempat para anggota jin bersembunyi. Berondongan peluru juga membakar dinding dam tentu saja ikut melukai para anggota jin yang tersisa. Semuanya kemudian bermunculan seperti semut tersiram air dari lobang persembunyian mereka, bedanya api lah yang membuat mereka panik. Saat itulah Permadi menyelesaikan pekerjaannya dengan membantai habis jin yang terlihat. Semuanya berjatuhan dengan terbakar, seperti dedaunan di tengah kebakaran hutan.
Dananjaya terbelalak, tercengang mengetahui bahwa orang yang tadi ia serang dengan bazooka ternyata masih hidup bahkan sehat walafiat dan malah sekarang memanen nyawa anak buahnya dengan serangan senjata anehnya. Ia teringat ucapan sang Kakang, Yudhistira, bahwa bila ia tewas di tangan salah satu anggota Pendawa, ia harus rela menyerahkan Madukara, perusahaan real estate dan firnitur mewah nya yang telah ia kuasai belasan bahkan puluhan tahun di Mretani. Dadanya bergemuruh, antara tidak mau dengan mudahnya menyerahkan praktis kehidupannya di Madukara dengan semangat menggebu-gebu menghadapi lawan yang ternyata memang ampuh. Code of conduct para jin gandarwa bahwa kekuasaan bisa diambil alih dengan kekerasan masih ia pegang erat. Permadi sang musuh yang terlihat masih jauh lebih muda darinya, jelas tampak memiliki kompetensi yang meyakinkan sebagai seorang pemimpin. Tapi, tidak akan semudah itu ia bisa ditaklukkan.
Terlalu lama di bawah kaki para buta, membuat Dananjaya merasa ia sedang mengambil jalan kematian yang suci, ksatria paripurna nan sempurna. Menggunakan para perempuan muda sebagai umpan ternyata menunjukkan secara penuh kehebatan para Pendawa. Ide Dandun Wacana untuk 'membeli' gadis-gadis muda dari industri prostitusi Pringgandani sebenarnya adalah cara lain keluarga jin Mretani untuk membebaskan para gadis tersebut. Yudhistira dan adik-adiknya merasa sudah cukup umur untuk hidup dalam kegelapan di balik tekanan dan bayangan para buta. Bila memang para Pendawa ditakdirkan sebagai penguasa Wanamarta, Mretani dan Pringgandani juga harus bertekuk lutut di bawah mereka. Namun, Mretani harus memastikannya. Para jin dan gandarwa harus melihat sendiri seberapa hebat para Pendawa. Nyawa mereka sendiri hanyalah harga murah yang harus dibayarkan demi masa depan kepemimpinan Mretani. Melepaskan gadis-gadis muda dari ambang kehancuran masa depan mereka adalah hal kecil terakhir yang dapat mereka lakukan.