Daun pintu mendadak terbuka lebar, membuat semua pasang mata memerhatikan dengan awas. Permadi dan para Punakawan bersiap dengan senjata mereka.
Tangsen masuk, diikuti Bratasena dan Pinten. Setelan mereka bermandikan merah darah.
Yudhistira memandang kehadiran ketiga anggota keluarga Pendawa, musuhnya itu dengan binar-binar mata yang misterius. Mungkin hanya Dewi Ratri, putrinya, yang mampu mengenali kesedihan yang begitu mendalam dalam sorot mata itu yang bergumul dengan kebanggaan dan kelegaan yang luar biasa pula. Perasaan aneh yang terus berkecamuk di dalam dadanya malah justru membuat Yudhistira tertawa puas. Ia menarik nafas panjang dan menyeka genangan air mata di kelopak mata bagian bawahnya.
"Sudahlah tuan Yudhistira, aku tak mau membunuhmu," ujar Samiaji terang-terangan kali ini.
Yudhistira kembali tertawa, bahkan lebih keras kali ini. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau masih tak paham dengan yang terjadi, Samiaji? Atau kau sengaja berpura-pura? Kalian telah berhasil menghindari pertumpahan darah. Itu aku acungkan jempol memuji. Tapi dengan tidak menyelesaikan apa yang sudah kita mulai, bukankah itu menunjukkan kepengecutan kalian?”
"Kakang, selesaikan saja!" suara lantang Bratasena menyebrangi ruangan.
Semua keluarga Pendawa bergeming. Menunggu apa yang akan dilakukan pemimpin mereka ketika tiba-tiba Permadi mengangkat kembali Beretta nya dan mengarahkan kepada sebuah sosok yang menyeruak masuk ruangan entah dari mana. Ia adalah seorang perempuan cantik dengan mengenakan flannel sheath coat dress berwarna abu-abu dengan mimik wajah was-was melihat sekeliling, kemudian mendekati Yudhistira.
Para Punakawan saling pandang, bingung, karena mereka merasa sudah menyisir ruangan itu dan tak mendapati orang lain selain Yudhistira dan dua pengawal yang terbunuh tadi. Mungkin sosok itu masuk melalui sebuah pintu lain yang tak sempat mereka perhatikan tadinya. Yang unik adalah bahwa ketika sepasang mata indah perempuan yang ternyata tak lain dan tak bukan adalah Dewi Ratri ini berserobok dengan pandangan Permadi, putra ketiga keluarga Pendawa itu mendadak menjadi kaku dan sedikit menurunkan Beretta nya.
Si playboy ini tak mungkin salah menilai kecantikan seorang perempuan.
"Sudah kusuruh kau untuk tidak kembali lagi kesini, Ratri!" sang Rama berseru setengah membentak kepada sang anak yang kini tidak dapat membendung air matanya lagi, seberapa kuat pun ia menahannya.
Sembari menahan derasnya air mata, Ratri memperhatikan para Pendawa lamat-lamat, terutama pada Permadi yang masih menodongkan senjatanya namun dengan pandangan kosong, serta Samiaji yang tanpa mimik sama sekali, "Aku ingin lihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang akan mereka lakukan, Rama," ujarnya lebih kepada para Pendawa meski jelas ia menyebutkan sang ayah.
Permadi menurunkan Beretta nya, "Kakang, benar katamu, sudah cukup. Tak perlu ada pembunuhan lagi di sini," ujar Permadi. Bratasena di belakang sana memainkan lidah di dalam mulutnya, menutup mata dan mengurut keningnya. Ia paham sekali watak sang adik di hadapi seorang perempuan, apalagi yang cantik seperti Ratri ini.
Namun, sebelum ada keputusan terucap dari mulut Samiaji, dua sosok lagi menyeruak masuk. Permadi kesal luar biasa karena ia harus mengangkat Beretta nya lagi karena berulang-ulang mendapatkan kejutan.
Dua sosok ini cukup dikenal oleh para Pendawa; Detektif Narada dan asisten detektif Cupu Linggamanik. Narada yang berusia lima puluhan tahun itu mengenakan double-vested suit dan fedora hitam. Tubuhnya yang kecil, terutama bila dibandingkan dengan Cupu Linggamanik dan praktis semua orang di dalam ruangan itu tidak terlihat inferior, selain karena statusnya sebagai seorang detektif, juga karena aura wajahnya yang menengadah percaya diri. Cupu Linggamanik yang memiliki postur tubuh tinggi dan atletis mengenakan celana panjang denim ketat ala rockabily dan membalut kakinya dengan sepasang chukka boot berwarna pasir. Kepalanya ditutupi gatsby yang lidah di bagian depannya diarahkan miring ke sebelah kanan. Ia juga mengenakan mantel lebar menutupi separuh tubuhnya.
Permadi menurunkan kembali Beretta nya dengan kesal.
"Ratri, menjauh dariku," bisik Yudhistira pada anaknya.
Yang diminta bingung, namun menuruti permintaan sang ayah.
"Ada apa detektif? Kami tidak menyangka anda berdua repot-repot ke tempat ini. Kami hanya mengadakan pertemuan biasa," ujar Permadi kepada baik Narada maupun Cupu Linggamanik.
"Pertemuan biasa kalian sering menggunakan pistol, shotgun dan mayat terbaring di mana-mana?" ujar Cupu Linggamanik sinis. "Sudah cepat lakukan saja, selesaikan. Kami bosan menunggu," lanjutnya kemudian lebih kepada Samiaji.
"Aku tidak akan melakukan apa yang kalian inginkan," jawab Samiaji dingin.
Baru saja Samiaji hendak berbalik dan memerintahkan Pendawa dan Punakawan untuk meninggalkan tempat itu, Cupu Linggamanik berpaling ke arah Narada seakan meminta persetujuan untuk sebuah tindakan penting. Narada mengangguk.
Cupu Linggamanik mencabut pistol Colt Cobra .38 Special dengan bingkai alumunium miliknya dari sabuk, berjalan cepat dan mengarahkan tepat ke kepala Yudhistira.
Ia menarik pelatuknya.
Sebelum kepalanya hancur, Yudhistira sempat tersenyum dan memandang Samiaji.
Teriakan keras Ratri memecah. Ia menyongsong sang Rama yang terpental jatuh tanpa nyawa. Permadi berlari menahan Ratri dengan punggungnya agar tak mendekat sembari melepaskan sampai tiga kali tembakan ke d**a Cupu Linggamanik dan membuatnya tersentak serta jatuh terlentang.
Hampir semua orang mengeluarkan senjata mereka, begitu juga Narada dengan revolver Colt 2" .38 Special nya.
"b*****t, apa yang kalian lakukan?" ujar suara Bratasena menggelegar.
Narada tidak mengacuhkannya. Ia malah berbicara pada Samiaji, "Ia harus mati. Ia juga sudah paham itu. Kau tahu itu sendiri, Samiaji."
Semua anggota Pendawa memandang Samiaji yang masih diam.
"Kalian sadar benar bahwa kalian sudah menghabisi semua saudara Yudhistira yang menguasai anak-anak perusahaan Mretani bukan? Kalian pikir ia mau hidup seperti ini? Akan sangat memalukan bila ia hidup menanggung malu selamanya. Ia bisa saja bunuh diri, berusaha membalas dendam kepada kalian - berarti akan banyak lagi darah tertumpah - dan yang parah adalah bila kaum buta berhasil membunuhnya. Mretani dan anggota jin gandarwa jelas akan berada di bawah kaum buta karena itu sudah aturannya. Maka, jalan kalian akan semakin panjang dan berdarah."
"Detektif Narada benar," ujar Samiaji pendek pada anggota keluarganya. Ini membuat semua orang menarik nafas panjang.
Cupu Linggamanik bangun dan melepaskan coat panjangnya. Dadanya terlilit M-1951 vest anti peluru, "Sial, sakit sekali ternyata."
Narada tertawa pelan.
"Kakang Permadi, ijinkan aku melihat ayahku sekali lagi. Jangan khawatir, aku tidak akan melakukan tindakan bodoh. Tolong urus Madukara Real estate & Property bersamaku. Aku butuh bantuan untuk melaksanakan titah terakhir paman Dananjaya serta Rama Yudhistira," ujar Ratri tiba-tiba sembari memegang bahu Permadi lembut. Mata sembabnya sudah tak mengalirkan air mata. Wajah ayunya menunjukkan kekuatan seorang perempuan yang memesonakan Permadi.
Samiaji menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, "Kita lanjutkan kepemimpinan Mretani. Kita bersihkan semua kekacauan ini."
Samiaji berbalik dan berjalan ke pintu perlahan tanpa bicara lagi.