Aura ketegangan yang kental dengan hawa membunuh menyelip di sela-sela angin.
"Pergilah kalian, lindungi Kakang," perintah Pinten kepada para Punakawan demi melihat halangan di depan.
"Tuan juga harus berhati-hati. Mereka sudah bulat dengan keputusannya. Pada dasarnya, tuan-tuan sekalian harus membunuh mereka," ujar Penyukilan kepada Pinten dan Tangsen kembali meyakinkan.
Kedua tuan mereka hanya mengangguk.
Penyukilan sendiri sempat menyentuh topi boater nya, tanda hormat kepada pada jin di depan mereka, yang juga dibalas dengan sentuhan pada fedoranya. Keenam anggota jin tersebut kemudian membubarkan diri, menjauh dari ruangan utama tersebut bagai tersihir oleh anggukan kepala Penyukilan.
Di dasar anak tangga, pertarungan tak dapat dihindari lagi.
Dandun Wacana menyerang Bratasena seperti seekor banteng. Kukri nya menebas menyilang ke arah perut Bratasena seperti sepasang tanduk. Yang diserang hanya mundur sedikit dan membenamkan pancanaka kiri nya di bahu kanan musuh, kemudian mengunci lengan sang musuh dan membantingnya.
Mereka berguling-guling di lantai marmer di bawah anak tangga paling bawah dari bangunan utama Mretani itu. Darah dari luka di bahu Dandun Wacana bercucuran dan menempel di lantai. Kukri dan pancanaka terlepas, keduanya baku hantam dengan tangan kosong dalam cara yang paling primitif, gulat dan saling kunci. Pukulan dan tendangan hanya memiliki sedikit ruang.
Di atas, Pinten dan Tangsen juga sudah berhadapan dengan Nakula dan Sadewa yag juga telah sama-sama siap. Keempatnya memulai pertarungan pisau. Pinten dan Tangsen maju menusukkan pisau mereka ke arah Nakula dan Sadewa. Berempat mereka maju mundur dan melompat-lompat seperti kijang, berusaha menusukkan belati dan pisau mereka kepada musuh.
Pintu yang terdiri dari dua daun pintu raksasa layaknya gerbang dibuka oleh Permadi. Sebelum dua orang anggota jin penjaga berhasil mencabut revolver mereka, Permadi sudah terlebih dahulu membenamkan beberapa peluru di tengkorak kepala mereka, membuatnya hancur tak berbentuk lagi.
Permadi kemudian menodongkan Beretta nya pada sosok yang berdiri di depan kursi besar bagai singgasana sembari tersenyum lebar. Di hadapannya sebuah meja panjang dengan kursi-kursi - sebuah format ruang meeting atau pertemuan standar - tertata rapi.
Sosok itu melepaskan topi homburg coklatnya dan diletakkan di atas meja panjang tersebut. Rambut klimis yang disisir ke belakang sudah lebih dari separuh berwarna putih.
"Selamat datang Samiaji. Selamat datang di Mretani. Aku, Yudhistira, pemilik perusahaan Mretani sudah menunggu kehadiranmu," ujar Yudhistira dengan lantang.
Permadi masih menodongkan senjatanya, sedangkan para Punakawan menyisir ruangan itu dengan menggunakan shotgun Remington model 58 mereka, kecuali Janggan Smarasanta yang berdiri memperhatikan Samiaji dan Yudhistira. Setelah dirasa ruangan itu aman, para Punakawan berdiri di belakang Samiaji namun dengan tetap awas menghadap Yudhistira. Yudhistira sendiri kemudian berjalan mendekati Samiaji. Gerakan ini membuat Permadi menaikkan senjatanya, "Berhenti sampai disitu b*****t!"
"Permadi. Pemilik resmi Madukara Real estate & Property. Selamat! Sudah jelas kau terbukti mampu menjaga nama baik keluarga Pendawa dari Astina Enterprise dan perusahaannya di Wanamarta ini," ujar Yudhistira santai.
Permadi mengerutkan keningnya, namun dengan Beretta tetap menyasar batok kepala pemimpin Mretani tersebut.
Penyukilan melirik ke arah sang Rama, Janggan Smarasanta. Keduanya bertukar pandang dan saling mengirimkan sinyal pemahaman, "Tuan Permadi, ada baiknya kita turunkan senjata kita," ujar Penyukilan kemudian.
"Apa maksudmu Kakang Penyukilan?" balas Permadi setengah berbisik. Ia kemudian melihat wajah sang Kakang, Samiaji. Walau seperti biasa wajah itu tanpa ekspresi dan emosi sama sekali, namun balasan pandangan Samiaji memberikan perintah yang sejalan dengan apa yang diucapkan Penyukilan tadi. Mau tidak mau Permadi menurunkan Beretta nya. Sepasang matanya masih menunjukkan kebingungan, namun ia perlahan mundur ketika Yudhistira mendekat ke arah Samiaji.
"Sekarang kau sudah berhasil bertemu denganku kembali seperti yang kau inginkan, bukan?"
Samiaji mengangguk, "Bukti bahwa aku tidak menginginkan pertumpahan darah lebih banyak adalah dengan datang melalui jalan yang berbeda, menyelinap untuk dapat bertemu langsung denganmu sehingga tidak perlu melalui pertempuran lagi dan membunuh lebih banyak anggotaku, jin maupun gandarwa. Aku meminta maaf dan ikut berbeda sungkawa atas wafatnya saudaramu, Dananjaya, dan atas semua nyawa yang tertumpah dari kedua belah pihak diantara kita. Bisakah kita berhenti di sini, tuan Yudhistira?"
Yudhistira tertawa, tidak terbahak-bahak, namun terlihat cukup geli, "Samiaji, engkau benar-benar orang yang luar biasa. Ketiga saudaramu di luar sana masih bertarung nyawa, kau dengan santainya menawarkan perdamaian? Tidak salah aku percaya kepadamu dan seluruh keluarga Pendawa untuk mengambil alih Mretani dan semua anak perusahaannya."
"Apa sebenarnya maksudnya, Kakang?" Permadi kembali menyampaikan kegusaran dan rasa penasarannya.
Penyukilan maju mendekati Permadi dan membisikkan sesuatu, "Ketika pemimpin atau pemilik perusahaan mereka tewas, orang yang membunuhnya dianggap pantas menjadi penggantinya. Kau, tuan, membunuh Dananjaya. Jadi, kau pemilik sah Madukara, milik Dananjaya."
"Mereka gila!” Balas Permadi.
Yudhistira yang mendengar sayup-sayup pembicaraan itu melihat Penyukilan, "Saudaraku, Penyukilan. Tidak salah kau mengabdi pada mereka. Tak perlu malu menjadi bagian dari Pendawa, namun untuk menyelesaikan semua urusan, katakan pada tuanmu, Samiaji, untuk menuntaskannya."
"Aku tak bersedia, tuan Yudhistira," potong Samiaji. "Bukannya ingin menyepelekan falsafah hidup para jin dan gandarwa, tapi aku hanya menawarkan perdamaian tanpa korban nyawa dan darah yang lebih besar."
Yudhistira menggeleng-gelengkan kepalanya tidak sabar, "Sayang disayang, kita tidak mungkin menghindarinya. Selesaikan pekerjaanmu di sini Samiaji, setelah itu kedamaian akan kau dapat."
Kali ini Samiaji yang menggelengkan kepalanya, "Cukup. Sudah cukup. Anggap kami berhasil mengalahkan Mretani, kami hanya ingin membangun Wanamarta bersama kalian, bukan ingin menguasainya seperti yang kaum buta lakukan kepada kalian."
"Lalu, kaum buta akan menyerang Mretani dan kalian. Bukannya itu sama saja? Mretani harus menjadi milik kalian sepenuhnya agar serang kaum buta nantinya akan dapat kalian lawan. Jin dan gandarwa akan tahu arah perjalanan hidup mereka, pengabdian mereka kepada siapa."
Melihat Samiaji bergeming, Yudhistira menggelengkan kepalanya lagi, "Begini saja Samiaji. Bila kau lihat ketiga saudaramu masuk dari pintu itu, kau harus membunuhku, selesaikan ini semua. Tapi bila salah seorang saudaraku saja yang masuk, aku rela mengubah aturan dan hal yang kami percayai ratusan tahun untuk berdamai dengan Pendawa dan tetap hidup. Bagaimana hatimu berbicara, Samiaji?"
Semua yang ada di ruangan itu paham bahwasanya permintaan Yudhistira sangat masuk akal. Bila ketiga saudaranya tewas di luar sana, sudah tak ada artinya pula Yudhistira hidup. Sedangkan bila satu saja yang berhasil masuk dan selamat, itu berarti ketiga Pendawa tewas, dan keinginan untuk hidup Yudhistira masih bisa diperjuangkan.
Samiaji tak mengiyakan maupun menyangkal. Selama kurang dari lima menit semuanya berdiam diri, mengatur detak jantung sembari menunggu nasib keluarga mereka yang mengadu nyawa di luar sana.