The Story the History

1161 Kata
Mendengar ini, Anggaraparna melemparkan pistolnya ke tanah. Permadi pun akhirnya memasukkan Gandiwa dan Pasupati nya kembali ke holster. Yang lain juga kemudian merasakan suasana mulai berubah santai. Tapi Permadi adalah seorang petarung lihai nan piawai, ia tak bisa terlena dengan keadaan ini. Jadi, meski musuh sudah menunjukkan ketidakberdayaannya, Permadi masih tetap mempersiapkan diri dengan segala skenario yang mungkin terjadi. "Kalian berdua berjaga-jaga. Jangan sarungkan senjata kalian. Bagong, kau pimpin mereka," perintah Permadi kepada kedua bawahannya serta Bagong. Yang diperintah segera melaksanakannya. "Dan kau, segera jelaskan!" seru Permadi pada Anggaraparna. "Wah, darah Astina memang panas," ujar Anggaraparna namun lebih kepada Janggan Smarasanta. "Darimana harus memulainya ... ? Hmmm, baiklah. Nama asliku adalah Citrarata, jelas kalian sudah tahu dari orang itu," Anggaraparna menunjuk ke arah Janggan Smarasanta. "Aku sebenarnya adalah seorang anggota kepolisian yang berpangkat detektif I yang ditugaskan untuk menyelidiki bisnis ilegal yang dijalankan oleh kaum jin dan gandarwa. Chief of Police, pimpinan kepolisian saat itu, Indra. Batara Indra menugaskanku dengan pengawasan dari detektif III, batara Ismaya yang sudah kalian kenal ini, untuk menyamar menjadi bagian dari kelompok gandarwa. Sebelumnya aku dan rekan-rekanku bernafsu sekali menangkap Penyukilan dan Sukodadi yang selalu terlibat peperangan antar geng dan klan serta perebutan kekuasaan dan pengaruh. Namun aku lihat di sini, kalian bergandengan tangan erat sekali, dan ternyata detektif Ismaya menurut penjelasannya tadi sudah keluar dari keanggotaannya dalam kepolisian dan kedua orang penting dalam dunia mafia tersebut dikatakan telah diangkat anak oleh Ismaya. Untuk ini, aku yang memerlukan penjelasan yang lebih. Pasti merupakan sebuah cerita yang sangat menarik. Ah, tapi itu tidak penting sekarang, bukan?" Anggaraparna melambai-lambaikan tangannya seperti menepis nyamuk. Sedangkan Penyukilan dan Sukodadi saling balas tatapan. Mereka mengangguk pelan. "Nah, bertahun-tahun sudah aku berhasil masuk menjadi bagian dari kaum gandarwa, terikat perintah batara Indra. Aku mengatur agar gandarwa memainkan peran penting dalam dunia kejahatan, tidak keluar dari Wanamarta, tetap berada di bawah kelompok jin dan buta tentunya. Tapi kematian Master Pandu membuat peta kekuasaan berubah total. Astina kisruh, kepolisian sibuk menangani efek perubahan ini. Sedangkan aku sudah tak mungkin keluar dari lingkaran setan. Well, akupun menikmatinya juga sebenarnya. Tapi aku jadi kehilangan arah. Harusnya Astina yang memegang kekuasaan, sehingga bisnis putih lebih menonjol dibanding kegiatan ilegal mafia ala jin, gandarwa dan buta. Tapi ketimpangan Astina membuat buta makin kuat, jin dan gandarwa terinjak-injak. Kelompok gandarwa dan jin dari daerah lain tak terdengar suaranya dan kutahu bahwa Penyukilan ada di sini bersamamu, Ismaya. Sampai kemudian aku mendapatkan perintah untuk menghabisi kelompok Pendawa, pecahan Astina yang bermasalah dan lemah, ingin mengambil alih kekuasaan Wanamarta, Mretani dan Pringgandani yang memang dulu dikuasai oleh Master Pandu dan Astina nya. Lalu, aku baru sadar, bahwa kalian kaum Pendawa, bukan sekadar kelompok geng yang lemah," Anggaraparna menarik nafas dalam-dalam dan menghempaskannya keras-keras. "Lalu, bagaimana sekarang?" lanjutnya lagi. "Sudah kukatakan, tugasmu sudah usai. Kembalilah ke kepolisian. Laporkan pada Indra bahwa Pendawa akan menguasai Mretani, Wanamarta bahkan Pringgandani. Kami akan kembalikan keteraturan dan keamanan. Akan kami rebut dengan damai ataupun kekerasan. Dan kekerasan nampaknya adalah jalannya," balas Smarasanta. Anggaraparna menarik nafas lagi, tapi kelegaan nampaknya yang menyelimutinya. "Aku tahu kalian pantas menguasai daerah ini. Tapi jangan katakan aku tidak memperingatkan bahwa jin dan gandarwa sudah siap dengan rencana dan persiapan mereka untuk menghadapi kalian."  Anggaraparna yang bernama asli Citrarata tersebut tersenyum lebar. Tapi hanya dalam hitungan detik senyumnya menghilang sama sekali tanpa meninggalkan jejak si wajahnya, "Sial. Kalian dalam masalah yang besar," ujarnya tiba-tiba. Wajah Anggaraparna alias Citrarata mengeras, "Kalian harus bergegas ke Jala Sutra. Aku tahu bahwa saudara-saudara kalian di sana bukan?" "Kakang Bratasena bisa menjaga diri. Begitu pula adik-adikku Pinten dan Tangsen. Tidak ada yang perlu kami khawatirkan," jawab Permadi santai. Anggaraparna menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kau tidak paham. Para jin terutama Dandun Wacana dan Dananjaya menggunakan gadis-gadis muda sebagai umpan dan tameng. Mungkin kalian para Pendawa memang hebat, kompak, kuat. Tapi setitik jiwa kebaikan kalian seperti menjadi kelemahan bagi lawan-lawan kalian. Itu yang membuat kalian terusir dari Astina Enterprise, bukan?" Mau tidak mau Permadi sedikit setuju dengan ucapan Anggaraparna. "Dan yang lebih berbahaya adalah bahwa kaum buta memberikan senjata kepada para jin dan gandarwa. Granat bhanga ini adalah sebuah senjata berbasis asap dan gas yang formulanya merupakan pembalikan dari narkoba buta yang sedang trending sekarang. Dengan menghirup asap bhanga, seseorang akan segera lumpuh. Dalam kurang dari tiga puluh menit orang tersebut akan gila, secara literal. Kalian harus bergegas. Hindari asap kehijauan tersebut, dan bila sudah terkena sedikit melebihi waktu tiga puluh menit, berikan ini kepada orang yang terkena. Namanya Sela Timpuru," ujar Anggaraparna kepada Permadi sembari memberikan satu kantong berisi beberapa buah pil yang diambil dari sakunya.  "Ingat, gunakan ini hanya kepada korban granat bhanga. Pil-pil Sela Timpuru ini adalah jenis narkoba lain buatan pabrik medis ilegal kaum buta. Tapi efeknya menjadi baik ketika digunakan untuk elixir granat bhanga. Selain itu, bila korban terpapar asap dan gas bhanga terlalu lama, anggap lah sampai dua jam atau lebih, tak ada yang dapat kalian lakukan," jelas Anggaraparna. Permadi memandang Smarasanta dan anak-anaknya seakan meminta persetujuan. Smarasanta balik menatap Permadi dan menunjukkan persetujuan dengan cara yang mereka sendiri yang paham. Permadi menerima Sela Timpuru dan memasukkannya ke saku celananya.  "Kakang Smarasanta, aku rasa kita harus segera ke Jala Sutra. Bukit ini anggap saja sudah bersih, bukan begitu Citrarata?" ujar Permadi menatap Anggaraparna. "Ya, ya. Anggap saja seperti itu. Aku akan bereskan semua," ujar Anggaraparna melihat sekeliling, berkacak pinggang dan memijat kepalanya. "Setelah ini, segera pergilah, laporkan penyelidikanmu selama bertahun-tahun kepada deputy chief atau langsung kepada Indra sekalian. Sampaikan padanya bahwa keadaan aman terkendali. Kepolisian hanya perlu mengikuti jalannya takdir dan ambil hasil bersih," ujar Permadi. Anggaraparna kembali menatap mantan supervisornya itu, "Kapan kau akan ceritakan alasan kau berhenti dari kepolisian, melepaskan strata bataramu, Ismaya." "Ada saatnya Citrarata, ada saatnya," jawab Smarasanta. Sebelum para Pendawa bergegas menuruni bukit ke kendaraan mereka untuk pergi ke Jala Sutra, Anggaraparna memegang lengan Smarasanta dan membisikkan sesuatu, "Kepolisian menerjunkan dua detektif. Batara Narada detektif III dan Cupu Linggamanik detektif I. Mereka sangat berbahaya dan licik, namun juga cerdas. Aku tidak dapat membaca rencana mereka." "Aku akan ingat pesanmu, sobat," Smarasanta memungut pistol mewah Anggaraparna di tanah, melihat ukiran indahnya yang bergaya akar tumbuhan merambat dan membentuk tulisan Oyod Bayura. Smarasanta kemudian menyerahkankan pistol itu ke tangan Anggaraparna, "Sampai bertemu di lain keadaan." Anggaraparna menggenggam pistol tercintanya itu, kemudian memanggil Permadi. Yang dipanggil memalingkan mukanya ke arah Anggaraparna yang datang dan memberikan pistolnya itu kepadanya, “Aku beri nama pistol ini Oyod Bayura. Aku rasa kau lebih memerlukannya dibanding aku,” ujarnya. Sebagai seorang penembak ulung dan mencintai semua hal yang berhubungan dengan segala jenis senjata api, Permadi tak bisa tidak tergoda dengan Oyod Bayura. Ia ambil pistol itu dan mengangguk ke arah Anggaraparna sebelum berbalik menghilang di dalam kegelapan. Smarasanta tersenyum penuh arti kepada Anggaraparna. "Terima kasih detektif Ismaya," ujar Anggaraparna perlahan mengiringi kepergian para Smarasanta dan rombongan kelompok keluarga Pendawa nya yang perlahan menghilang ke kegelapan diiringi sinar temaram bulan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN