Anggaparana yang merasa bahwa semua pidato dan khotbah hasil pemikiran mendalam Yudhistira itu kali ini lebih ditujukan kepada kaum gandarwa, mencoba untuk ikut menanyakan dan mempertanyakan keputusan si ketua. "Lalu bagaimana bila memang keluarga Pendawa dan orang-orangnya itu sehebat yang diceritakan, Yudhistira? Apa yang harus kita lakukan? Akankah kita mengakuinya?" tanya Anggaparana dibalik cerutu yang masih dijepit diantara bibirnya.
Sunggingan yang begitu tipis, hampir tak terlihat, terlukis di wajah Yudhistira. Ia menengadah dan hanya melirik sebentar ke arah Anggaraparana. Yudhistira menghela nafas panjang. "Berarti jin dan gandarwa akan memiliki pemimpin baru," ujar Yudhistira datar tanpa emosi.
Jawaban Yudhistira ini sontak mengagetkan semua orang yang ada di ruangan. Tidak ada yang benar-benar menyangka bahwa sang ketua akan berbicara seperti itu. Keriuhan tak dapat dicegah. Ruangan yang semula tenang menjadi ramai dan gaduh.
"Maksud Kakang kita akan menyerah pada para Pendawa begitu saja?" suara Dandun Wacana meninggi. Badannya pun menegang tegak. Ia tidak marah pada sang kakang, ini adalah sekadar refleks dan reaksi dari sebuah informasi yang begitu mengejutkan tersebut.
"Apa aku bilang begitu?" sosor Yudhistira. “Apa aku bilang bahwa kita akan menyerah begitu saja pada siapapun yang mencoba menantang kedaulatan dan harga diri kaum jin dan gandarwa?” lanjutnya memandang Dandun Wacana tajam, meski masih tanpa emosi dan ekspresi yang terbaca.
Dandun Wacana masih belum paham dengan apa yang dimaksud sang kakang. Meski jujur, tidak hanya Dandun Wacana yang masih bertanya-tanya. Sisanya juga memberikan mimik wajah yang menunjukkan ketidakpahaman.
Berusaha untuk tidak membuat semua kerabatnya bingung terlalu lama, Yudhistira akhirnya mulai menjelaskan. "Kita akan berlaku habis-habisan. Kita perang! Kita akan habisi semua anggota Pendawa. Semua anggota jin dan gandarwa harus dikerahkan,” ujar Yudhistira sedikit bersemangat kali ini. “Untuk itu, aku menunjuk Damdarat sebagai ujung tanduk orang-orang kita. Damdarat yang akan mengemban tugas ini, mengumpulkan semua orang, jin dan gandarwa, serta anggota-anggota lain di pihak kita untuk berperang," tunjuk Yudhistira.
Orang yang ditunjuk mengangkat topi fedora nya tinggi-tinggi tanda setuju dan siap melaksanakan tugasnya. Orang ini tidak memiliki penolakan apapun. Apalagi berhubung ia adalah jenderal perang yang mengurusi pasukan dari keluarga jin, gandarwa atau orang-orang sewaan dan suruhan lainnya, maka pekerjaan lapangan adalah memang keahliannya dan selalu ia tunggu-tunggu. Rambut panjang ikalnya bergoyang ketika ia membetulkan bow tie dan setelan hitamnya selagi memperbaiki posisi duduknya. Gelang emasnya bergemerincing ketika tangannya memegang cerutu.
Yudhistira melanjutkan detil perintahnya. "Dengar baik-baik. Jangan serang mereka langsung di tempat mereka sendiri dimana mereka berkuasa. Kita tahu bahwa sudah ada kelompok klan kita yang digunakan dan diperintah klan buta untuk mencari masalah serta mencoba mengusir Pendawa di Wanamarta Town. Lihat apa yang terjadi dengan mereka, bukan? Begitu juga kali ini, keluarga Pendawa pasti sudah jauh lebih siap. Sebaliknya, kita harus mempersiapkan orang-orang kita di area kekuasaan kita sendiri,” ujarnya. Membuat semua orang mulai mencerna kata-katanya. Filosofi menyerang habis-habisan tetapi tidak menyerang langsung, pastilah membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Paham akan kebutuhan informasi yang lebih dari dirinya, Yudhistira kemudian melanjutkan. “Kita jebak mereka di Jala Sutra. Di sana, barulah kita dapat menyerang mereka dengan total. Namun, serang mereka secara terpisah dan terstruktur. Buat anggota keluarga mereka terpencar, terutama yang penting dan utama. Lebih bagus bila pada akhirnya mereka pada akhirnya menyerah tanpa perlu kita bunuh, itu lebih membuat mereka terhina. Sebagai akibatnya, klan jin dan gandarwa akan kembali menunjukkan tajinya dan taringnya," sepasang mata Yudhistira berkilat-kilat penuh semangat.
Dandun Wacana menghela nafas lega akhirnya mengerti penjelasan rencana sang kakang. Ia saling mengasahkan kedua bilah kukri nya satu sama lain dengan pandangan mata bersinar bersemangat, sama dengan sang kakang. "Lalu, bagaimana bila akhirnya kita yang kalah dan tewas, Kakang?" ujarnya penuh selidik, meski mungkin sekali ia sudah tahu jawabannya.
"Berikan perusahaan keamananmu, Jodipati Arms kepada mereka, Dandun Wacana” jawab Yudhistira tegas. “Sedangkan kau, Kau, Dananjaya …," Yudhistira menunjuk ke arah Dananjaya. "Kalau kau sampai mati, pastikan kau urus surat-surat dan perintahkan orang-orangmu untuk memberikan Madukara, perusahaan perumahan dan furniturmu pada salah satu dari mereka.” Dananjaya tak menjawab, namun ia mengangguk mantap.
“Kau, Nakula, suruh anggota keluarga jin untuk menyerahkan pabrik dan perusahaan gula Sawojajar pada mereka setelah kau terbunuh. Serta kau Sadewa, serahkan Buweratalum, pabrik minuman kemasanmu pada mereka pula. Tentu saja setelah kau mati dibunuh mereka." perintah tegas Yudhistira. Kembar Nakula Sadewa mengangguk dan tersenyum hampir bersamaan. Seakan ada sebuah hukum pasti bagi sepasang saudara kembar untuk dapat saling berbagi pemahaman bersama dengan insting yang kuat.
Sampai disini terlihat sekali bahwa kematian bukanlah sebuah topik yang asing bagi mereka. Gampang saja sepertinya bagi mereka untuk membicarakan masalah tersebut, padahal bagi orang normal, isu tentang kematian bukanlah sesuatu yang dibicarakan dengan gampang apalagi dengan santai. Tapi, bagi klan jin dan gandarwa, kehidupan mafia, bisnis dan kekuasaan memang tak mungkin bisa menghindari hal-hal semacam ini. Masalah utama bukan lagi kematian, tapi makna dari kematian tersebut. Mereka tidak keberatan bila memang harus mati atau tewas mengenaskan, selama caranya harus sesuai dengan semangat mereka sendiri. Memang sebuah pemikiran yang aneh, namun tak dapat dihindari sehingga mencadi sebuah keniscayaan.
"Tapi semua hal itu tidak akan terjadi sampai kita mati bukan, Kakang? Aku yakin yang Kakang maksud sebagai pemberian kekuasaan tersebut haruslah melalui sebuah perjalanan berdarah yang panjang." ujar Dandun Wacana penuh arti. Bibirnya menyinggungkan senyum penuh makna.
"Tentu. Itu moral code kita. Kita hanya bisa dikuasai bila kita mati. Berarti hanya orang yang pantas yang boleh menguasai para jin dan gandarwa. Tidak ada lagi penghinaan oleh para buta yang mendapatkan keuntungan dari kehancuran kita sebelumnya. Aku perintahkan kalian persiapkan semua orang-orang dan keluarga kita, sampaikan apa yang akan terjadi. Jin dan gandarwa akan kembali berjaya, akan kembali ditakuti. Atau, kita akan mati terhormat. Masa depan jin gandarwa juga akan jatuh di tangan orang-orang pantas yang memimpin Mretani di atas genangan darah kita!" Yudhistira mengangkat tinggi-tinggi kepalannya.
Suara teriakan semangat meledak di dalam ruangan itu seperti para prajurit yang siap maju berperang dan menghadapi kematian mereka yang terhormat. Seakan menyongsong kematian di hadapan para Pendawa menjadi semacam kekuatan baru bagi kaum klan jin dan gandarwa dalam menghormati kehidupan mereka sendiri. Kematian yang terhormat adalah sebuah pencapaian. Mata mereka bersinar dengan pemandangan di depan, kenikmatan dan ekstasi yang sulit diterima oleh nalar orang-orang awam. Bisnis yang mereka perebutkan ternyata bukanlah sekadar urusan uang semata, namun kekuasaan dan harga diri serta sejarah panjang keluarga dan klan.