Seperti diketahui bersama, tak ada yang terjadi pada muka dan mimik wajah Samiaji dalam menanggapi pertanyaan Bratasena ini. “Ada lagi yang ingin kalian sampaikan?” Samiaji memandang ke sekeliling meja. Semuanya diam.
Ia menghela nafas, meski juga tanpa terlihat emosi serta pikiran apa yang ada di dalam otaknya terssebut. “Bratasena ... Permadi ... Pinten dan Tangsen. Jangan pikir bahwa dengan tidak membunuh dengan tanganku sendiri berarti aku tak memanggul dosa. Semua yang kalian lakukan adalah atas ijin dan restuku. Aku mengakui bahwa aku membunuh memang melalui tangan kalian, karena aku berusaha untuk mengurangi korban. Selain itu, tanpa kalian sanggah pun kalian sadar bahwasanya kalian lebih cakap dariku dalam hal-hal lapangan semacam ini. Mungkin tindakanku salah. Mungkin aku terkesan tidak teguh dengan pendirianku. Aku mungkin melaksanakan semuanya dengan menyandarkan pada apa yang akan terjadi, bukannya menyiapkan grand plan seperti yang dikatakan adi Permadi tadi. Inilah kelemahan sekaligus keunggulan yang secara jemawa aku banggakan dalam hati, bahwa dengan tak langsung turun tangan, aku dapat lebih berpikir dengan baik, memimpin kalian dan mengambil keputusan.”
Sebuah kalimat dan penjelasan panjang yang disampaikan Samiaji membuat semua orang terhenyak. Setiap katanya mewakili makna. Memang Samiaji tak memiliki emosi yang bisa ditunjukkan oleh wajahnya yang dingin tersebut, namun, itu sama sekali bukan berarti ia tak memiliki perasaan dan tak mampu merespon keinginan dan pendapat saudara-saudaranya. Bahkan, kalimat-kalimat kali ini yang meluncur dari mulutnya dapat dirasakan sekali oleh yang lain.
Akibatnya, Bratasena tiba-tiba merasa konyol. Entah apa yang ada dalam pikirannya sehingga meragukan Kakangnya sendiri. Samiaji sendiri ternyata jelas sudah paham apa yang ada dalam pikiran adik-adiknya, terutama Bratasena. Sehingga kesempatan ini digunakan untuk menjelaskan semuanya.
“Maaf, Kakang,” katanya pendek sebelum kemudian duduk dan melahap roasted chicken tanpa basa-basi. Semua orang paham bahwa kata maaf Bratasena tulus dari hatinya. Namun tabiatnya memang tidak bisa diubah dan semua anggota keluarga paham itu semua. Yang penting sekarang Bratasena sudah paham dengan apa yang terjadi dan menerima penjelasan dari Kakangnya.
Permadi, Pinten dan Tangsen saling bertukar pandang dan tersenyum. Samiaji sendiri mungkin juga tersenyum, tapi wajahnya tidak berhasil menunjukkan emosi kecil tersebut.
“Sebagai bentuk permintamaafanku, aku akan membangun Mretani ini sesuai dengan grand plan seperti yang diutarakan Permadi dan yang bercokol di kepala kalian. Hari ini akan aku jabarkan segala rencanaku, termasuk hal-hal mendetail,” ujar Samiaji kemudian.
“Akan kunamakan Mretani dengan gedung di tempat kita berada ini sebagai pusat Wanamarta dengan Indraprasta. Tram akan dibangun di dalam kota sedangkan kereta api dari Indraprasta ke Wanamarta town direncanakan selama tiga sampai lima tahun. Untuk keamanan pembangunan, aku ingin Madukara di bawah Permadi dan Jodipati di bawah Bratasena untuk melobi para batara. Berikan mereka uang suap yang diperlukan untuk perijinan, berikan pelicin sebaik mungkin sehingga proyek kita bisa lancar. Aku akan memerlukan Pinten dan Tangsen untuk memimpin para jin dan gandarwa,” Samiaji melirik para kembar.
Pinten menggaruk keningnya yang tidak gatal, “Untuk ... mengintimidasi seseorang?”
“Bukan seseorang, Kakang. Tapi sesuai keperluan,” jawab Tangsen. “Aku rasa karena para jin dan gandarwa sudah terbiasa dalam dunia debt collecting dan sejenisnya selama ini, akan mudah bagi mereka untuk memaksa orang-orang kaya yang tinggal di area tertentu di seluruh Wanamarta ini untuk menjual atau melepas tanah mereka demi kepentingan kita.”
“Aku setuju kalau begitu,” jawab Pinten singkat.
“Kalau mereka menolak, apa kami yang harus turun tangan, Kakang?” Permadi bertanya hati-hati pada Samiaji.
Samiaji menggeleng-gelengkan kepalanya keras-keras, “Kalian tidak mungkin tidak langsung turun tangan. Tapi tidak saat ini. Kita harus menghindari bentrok fisik secara langsung. Kaum buta pun sepertinya sudah mempersiapkan level selanjutnya dalam pertarungan ini dengan menakar semua kekuatan dan kelemahan kita. Namun karena kita harus tetap jalan, kita akan menggunakan taktik lain. Oleh sebab itu, berikan ekstra pada batara berpangkat rendah untuk menghabisi penghalang kita, terutama dari kaum batara juga. Katakan, Pendawa dengan bantuan jin dan gandarwa yang sudah bersatu ini akan melindunginya. Kita akan melindungi para jin dan gandarwa dari bisnis narkoba para buta pula.”
Permadi mengangguk dan menenggak espressonya. Otot-otot di wajahnya terlihat santai. Puas dengan respon Permadi, Samiaji kembali memandang Pinten dan Tangsen, “Kalian ingat anggota batara yang dulu pernah memukuliku?” tanyanya pada pasangan kembar tersebut.
“Ya Kakang. Kau ingin ia disingkirkan?” tanya Pinten seperti sudah menebak makna dan ke arah mana percakapan ini menuju.
“Lakukan,” perintah Samiaji. “Aku mendengar dari Ratri melalui Permadi,” Samiaji memandang adiknya, “ ... bahwa batara satu itu terlalu mencampuri urusan kita. Aku mau ia kita lenyapkan. Aku tak bisa membiarkan orang-orang semacam itu yang paham bahwa dirinya sudah jelas tidak dapat melakukan banyak hal kepada kita, tapi masih mencoba menyelipkan hidungnya. Di masa depan jelas ia akan menjadi batu sandungan. Jadi, bukan hanya hidung yang harus dipotong, tetapi kepala yang harus dipenggal sekalian.”
Keputusan sudah bulat, Indraprasta akan menjadi sebuah kerajaan bisnis besar baru di Wanamarta. Mungkin Wanamarta masih menyisakan Pringgandani Corp., tapi itu hanya untuk sementara. Kejayaan Astina Enterprise dimana mereka berasal akan disaingi oleh kekuasaan bisnis Indraprasta. Dari sini terlihat juga bahwa Samiaji tidak main-main dengan cita-citanya. Meski ia terlihat kerap lebih lembek dibanding saudara-saudaranya, Samiaji jelas merupakan seorang pemimpin yang tidak berniat mengecewakan pengikutnya. Bila sudah seperti ini, tidak mungkin tidak bagi para pengikutnya untuk melaksanakan titah Samiaji dengan patuh.
Bau lemon dan zaitun merebak di taman itu. Semua anggota Pendawa bersaudara itu makan dengan lahap dan berisik. Bratasena sudah melupakan larangan Arimbi untuk minum alkohol siang ini. Udara yang cerah namun tidak terik membuat wine adalah minuman yang pas untuk dinikmati. Begitu pula dengan anggota keluarga yang lain. Mereka makan dan minum sampai acara makan siang ini seperti sebuah pesta kecil.
Di luar tembok bangunan rumah Mretani ini, beberapa orang bawahan dan orang-orang kepercayaan Bratasena menunggu tuan mereka untuk mendengarkan perintah, sedangkan Bandung Bandawasa yang ikut hadir di sana tampak tidak bisa menahan kesabarannya. Ia meninggalkan kumpulan tempat itu menuju ke mobilnya.
Ada apa dengan kekecewaan Bandung Bandawasa ini? Apa yang ada di dalam pikirannya? Yang jelas, laki-laki yang setia terhadap Bratasena itu merasakan bahwa masa lalu mereka yang berat dan kelam sama sekali tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan sekarang. Benar, bahwasanya, hari ini adalah hari kemenangan. Kemenangan atas loyalitas dan bisnis serta kekuasaan terntunya. Tapi ada banyak hal yang sangat memerlukan pertimbangan dan kebijakan yang ekstrim agar kaum Pendawa dapat kembali mengambil alih Astine Enterprise yang merupakan hak mereka.
Bandung Bandawasa merasa bahwa Samiaji dan adik-adiknya seperti tak awas dan sekadar menerima keadaan. Mereka terlalu berlama-lama hanyut di dalam permainan politik mafia dan kekuasaan di Wanamarta, sedangkan saudara-saudara mereka para Kurawa dan seratus perusahaan raksasanya saat ini sedang menginjak-injak mereka.
Ini mengingatkannya akan masa lalu. Tiga tahun lalu, sebuah kejadian besar di area kekuasaan Astina Enterprise, para Pendawa dijebak dan hendak dibunuh di dalam sebuah bangunan bernama Bale Sigagala. Kejadian inilah yang menjadi awal mula hijrahnya Pendawa dan ketigapuluh pengikutnya terasing ke Wanamara Town.