Tanpa menunggu lagi, sesegera ketika melihat bantuan datang, Bratasena meraung menerobos puing, melompatinya hingga mencapai bagian atas sebuah bangunan tempat para jin dan gandarwa menyerang mereka. Ia langsung mengamuk membabat dan menusukkan kudhi nya pada siapapun yang menghadang di depannya. Tapi serangan yang membabi-buta Bratasena ini tidak bertahan lama ketika tubuhnya terhempas oleh sebuah tubrukan keras. Bratasena jatuh bergulung ke belakang.
Namun ia langsung berdiri dan mendapati sesosok anggota jin dengan menggenggam sepasang senjata belati berupa kukri di kedua tangannya berdiri menantang.
"Bratasena ... !" geram sosok yang ternyata adalah Dandun Wacana tersebut pendek sebelum ia menyerang Bratasena dengan membabatkan kukrinya ke arah perut dan leher.
Bratasena berguling kembali ke belakang hanya setengah inchi dari ujung kedua kukri tersebut. Namun satu hentakan tendangan yang cepat berhasil mendorongnya mundur.
Bukan Bratasena namanya bila tak menguasai pertempuran. Dengan tubuh yang terluka di banyak bagian, rasa sakit tak berhasil mengalahkannya. Bratasena menyerang balik bak sebuah rudal, membuat Dandun Wacana terkejut setengah mati tidak menduga akan hal ini. Bratasena melukai lengan Dandun Wacana tanpa ia sadari. Saling balas tusukan dan bacokan pun terjadi, tapi terlihat jelas bahwa Dandun Wacana bukan tandingan Bratasena. Oleh sebab itu tak lama Nakula dan Sadewa, kedua adiknya muncul membantu Kakangnya membabatkan brass-knuckle dan knuckle-duster ke arah Bratasena.
Pengeroyokan terjadi.
Ketiganya adik-beradik jin itu saling bahu membahu melawan Bratasena. Permainan pisau dan belati terjadi dengan sangat seru. Nakula dan Sadewa yang lincah dan saling mengisi silang-menyilang dari kiri dan kanan Bratasena, menusuk dan memukul laki-laki bertubuh raksasa tersebut. Di bagian tengah, Dandun Wacana memberikan serangan pula.
Tapi serangan bertiga pun ternyata percuma karena Bratasena memang terlalu kuat bahkan buat mereka bertiga. Dalam sekali sentak Nakula dan Sadewa terlempar akibat tendangan dan pukulan Bratasena. Dandun Wacana yang berada di tengah menyerang lurus ke arah Bratasena. Kukri nya menyambar udara kosong dua kali. Bahkan bertiga melawan Bratasena saja masih kewalahan, apalagi hanya Dandun Wacana seorang. Maka balasan Bratasena membuat salah satu kudhi nya menancap di d**a kanan Dandun Wacana. Teriakan kesakitan menyeruak ketika Bratasena mencabut senjatanya tersebut.
Melihat saudara tua mereka terkena serangan yang membuatnya terluka, Nakula dan Sadewa spontan memaksa Bratasena untuk menjauh dari Kakang mereka tersebut. Mereka berdua menyerang sejadi-jadinya, hantam kromo, membabi buta sembari berteriak bagai orang gila. Yang penting Bratasena menjauh sejenak dari Kakang mereka.
"Kakang, sudah saatnya kita gunakan mereka," ujar Nakula segera setelah tercipta ruang yang cukup antara mereka dan Bratasena.
Bagaimanapun bahkan Nakula dan Sadewa paham bahwa hal ini hanya akan bertahan sebentar. Bratasena yang memang sulit untuk diberhentikan apalagi dilawan kembali maju menyerang. Tapi kedua kakinya berhenti dengan tiba-tiba ketika di bagian lain bangunan itu ia melihat rombongan gadis muda yang umurnya tak lebih dari awal belasan tahun berjajar rapi dengan wajah memelas. Seorang laki-laki di belakang mereka menggenggam M1 Carbine .30 yang ditodongkan kepada gadis-gadis muda itu. Bisa dibayangkan kengerian dalam sekali rentetan dengan kecepatan enam ratus meter per detik itu, tak mungkin bagi Bratasena untuk menggagalkan tembakan tersebut, apalagi dengan gadis-gadis muda itu adalah korbannya.
Bratasena sontak melepaskan kedua kudhi nya, tanda menyerah.
Hati adalah hal yang membedakan keluarga Pendawa dan klan atau kelompok mafia lainnya, itu pula yang bagi para kelompok jin gandarwa – dan buta – merupakan kelemahan mereka pula. Bratasena tak akan mengambil resiko untuk membiarkan nyawa anak-anak perempuan itu hilang. Pertempuran ini tak ada artinya bila ia berlaku b***t dan tak memiliki hati sama sekali.
Dari kejadian inilah, terlihat semua kelemahan pihak-pihak yang bersengketa. Kaum jin dan gandarwa terikat oleh code of conduct atau moral code mereka, sehingga mereka harus dipaksa tunduk pada pihak-pihak kekuasaan tertentu dan melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka. Di sisi lain, para Pendawa ditawan oleh hati nurani. Ada hal-hal yang tak bisa mereka lewati dan lampaui. Ada banyak hal yang tak mungkin mereka biarkan. Sama seperti kaum jin dan gandarwa, mengenai hal-hal yang melawan hati nurani mereka tersebut, para keluarga Pendawa siap mengorbankan nyawa demi tak melanggarnya.
Dengan senyum licik penuh kemenangan dan ejekan, Sadewa menjentikkan jarinya. Satu orang anggota jin muncul membawakan pistol jenis Colt 1908 Pocket Hammerless .380 ACP. Sadewa menerima pistol itu, berjalan pelan dan untuk kemudian memberikannya kepada Dandun Wacana sang Kakang.
Dandun Wacana mengambil pistol itu kemudian berseru kepada Bratasena, “Berlutut!”
Bratasena bergeming. Tubuh raksasanya menjulang bagai sebuah gunung berbatu yang kokoh. Dandun Wacana merasa percuma berteriak-teriak. Dadanya yang terluka memerih. Ia kemudian memerintahkan beberapa anggota jin dan gandarwa untuk memaksa Bratasena berlutut. Butuh empat orang dan dengan waktu dan usaha untuk menjatuhkan Bratasena. Mereka menghajar paha, lutut, dan perut anggota Pendawa itu.
Ketika akhirnya usaha mereka berhasil untuk membuat Bratasena berlutut, semua pasang mata memerhatikan kejadian ini dan tahu apa yang akan terjadi dalam kesenyapan itu. Dandun Wacana sudah pasti akan membolongi kepala Bratasena dengan handgun tersebut. Sebuah eksekusi nyata dari kaum pemenang. Memang dengan licik, ujar Bratasena dalam hati. Ia peduli setan bila nyawanya berada di ujung tanduk. Kemenangan dengan kepengecutan bukanlah sesuatu yang ia banggakan sama sekali. Ia tak bangga bila harus menang dengan mengorbankan nyawa gadis-gadis muda itu.
Sekali lagi Bratasena memandang ke arah para gadis muda yang mengerut ketakutan itu. Dadanya bergejolak dengan kemarahan. Ia sangat berharap bahwa kematiannya ini akan paling tidak menyelamatkan para gadis, sehingga kematiannya tidak akan sia-sia.
Dalam sepersekian detik keheningan itu, tanpa sepengetahuan mereka, ada sosok misterius mengendap-endap di belakang mereka. Sosok yang tak lain tak bukan adalah Arimbi tersebut sudah menata senjata api otomatis Browning Automatic Rifle (BAR) nya dari kegelapan dan membidikkannya ke arah para anggota jin Mretani tersebut. Dengan keadaan yang tak diduga semacam itu, tembakan Arimbi akan sangat menentukan jalannya nasib pertempuran ini.
Tepat sebelum pelatuk pistol Colt 1908 ditarik oleh Dandun Wacana, semburan peluru menerjang area tersebut memecahkan konsentrasi semua orang. Serangan Arimbi sudah dipertimbangkan sedemikian rupa tanpa menyecar para gadis yang menjadi sandera. Tentu saja Dandun Wacana tidak sempat membolongi kepala Bratasena apalagi sekarang badannya yang super besar itu terlempar menabrak dinding bangunan reruntuhan gedung. Nakula dan Sadewa menunduk, peluru BAR Arimbi memapras seorang jin yang tadi membawakan Colt 1908 nya, membunuhnya seketika.
Sayang, Arimbi harus menghentikan serangannya dan berlari maju tepat ketika sosok Dananjaya muncul dan melemparkan dua buah granat bhanga ke arah Bratasena. Keterkejutan ini membuat bingung Bratasena. Bagaimanapun, insting bertempurnya menciptakan kegesitan yang luar biasa sehingga ia berhasil menghindari ledakan granat tersebut. Hanya saja, hal yang tidak diketahui dengan baik oleh Bratasena, ledakan granat bukanlah hal utama yang perlu dihindari, karena asap hijau menyebur dengan cepat dan pekat memenuhi udara, mengisi sela-sela dan bagian yang kosong dimanapun asap tersebut bisa masuk.