The Smoke

1066 Kata
Arimbi muncul entah dari mana menyerang Danajaya dengan memukulkan senapan BAR nya. Memang Dananjaya tetap berhasil menghindar dengan mundur menjauh. Insting pertempurannya tajam. Tapi sebagai akibatnya serangan Arimbi yang tiba-tiba ini berhasil membuyarkan hampir semuanya. Asap kehijauan sudah terlanjur membumbung tinggi dan semakin pekat. Dananjaya, Dandun Wacana, Nakula dan Sadewa undur diri, melarikan diri tepatnya. Diikuti oleh sisa-sisa pasukan jin dan gandarwa nya. Rencana mereka mungkin tidak seratus persen berhasil, tapi mereka pasti sudah memikirkan langkah selanjutnya. Untuk sekarang, mundur adalah pilihan terbaik bagi mereka. Melihat anggota jin dan gandarwa pergi dari medan pertempuran, tiada lain yang Arimbi pikirkan. Ia langsung menarik lengan para gadis, “Jauhi asap hijau itu! Turun ke bawah sejauh mungkin,” seru perintah Arimbi kepada mereka. Gadis-gadis muda itu meski dalam keadaan ketakutan dan kepanikan yang akut, tetap melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka. Perasaan mereka jauh lebih menyedihkan dibanding ketiga perempuan muda yang sudah terlebih dahulu diselamatkan oleh Arimbi dari banguan strip club di dekat restoran dan hotel Agni. Ketika para gadis sedang berlarian menghindari asap hijau granat Bhanga, saat itu pula dari sisi lain, Arimbi melihat Bratasena terbujur kaku memegang tenggorokannya. Arimbi menggunakan topi cap nya untuk menutupi hidungnya. Dengan menahan nafas, ia nekat merengsek masuk ke dalam kepulan asap hijau. Satu tangannya yang bebas memegang pundak Bratasena, “Ayo, kita harus segera menjauh dari asap ini,” ujarnya kepada Bratasena sembari tetap menjaga sebisa mungkin agar asap tidak dapat masuk ke dalam pernafasannya. Bratasena tak bereaksi. Maka, Arimbi mencoba menarik tubuh raksasa tersebut. Sialnya, Bratasena justru meronta. Kedua matanya melotot ke arah Arimbi. Arimbi tidak paham yang terjadi. Sebenarnya yang Bratasena lihat sangat berbeda dengan kenyataan. Bratasena melihat ada seorang raksesi, alias raksasa perempuan, yang berdiri di depannya. Raksesi itu bertubuh sangat besar. Rambut gimbalnya bergulung di atas kepalanya yang sebesar bongkahan batu gunung, kedua matanya lebar dan merah membara, sedangkan sepasang taring mencuat dari mulut raksesi tersebut, sedang mengunyah sebuah jantung berdegup yang berdarah-darah yang digenggam oleh tangan berbulu dan bercakarnya. Bratasena tidak dapat berteriak, namun seluruh ototnya seperti lemas, bukan kaku lagi. Arimbi sadar bahwa laki-laki ini sedang terkena efek granat bhanga. Tidak peduli apa yang terjadi, ia harus menyelamatkannya agar efek tersebut tidak sampai merasuk dan mengancurkan otak laki-laki itu secara permanen. Ia menarik laki-laki raksasa itu sekuat dan sejauh mungkin dari sumber asap. Tiba-tiba dari arah yang berlawanan muncul dua orang laki-laki yang nampak sangat identik, jelas mereka adalah saudara kembar. Melihat sang Kakang ditarik seseorang bertubuh jangkung yang menutupi mulutnya serta bergiwang lebar, Pinten dan Tangsen langsung menyerbu Arimbi. Mereka sepertinya menduga bahwa ada suatu hal yang terjadi pada Kakang mereka karena intervensi seorang anggota klan buta. Arimbi sudah membuka cap dari mulut dan hidungnya karena sudah berada cukup jauh dari pusat asap bhanga yang masih berputar-putar walau sudah menipis. Bratasena mencoba berdiri namun jatuh terduduk lagi melihat raksesi itu masih ada di depannya. Arimbi berteriak kepada pasangan kembar Pinten Tangsen, “Jangan kesini, menjauh.” Namun terlambat, keduanya sekarang yang menggelosor di tanah memegang tenggorokan mereka. Bagi sepasang saudara kembar itu, dunia mendadak menjadi neraka, api di mana-mana. Kejadian yang terlihat di mata keduanya ini serupa dengan yang pernah terjadi dan mereka alami beberapa tahun yang lalu sebelum mereka terusir dari Astina Enterprise. Saat itu mereka dijebak oleh keluarga Pendawa, berpesta dan di jamu di sebuah resort indah bernama Bale Sigala-Gala, sebelum atas kelicikan paman mereka yang berpihak pada Kurawa bernama Harya Suman, membakar habis resort dan membuatnya seakan seperti sebuah kecelakaan semata. Meski mereka selamat, tidak pelak racun bhanga membuat kenangan mengerikan itu berlipat ganda. Sepasang Smith & Wesson menempel di kepala jangkung Arimbi. “Kau akan menghabiskan waktumu sebelum mereka menjadi seratus persen gila. Kita hanya punya waktu kurang dari tiga puluh menit sebelum kegilaan menjadi permanen. Tapi hanya dalam beberapa detik saja kau dapat lihat efeknya pada orang ini,” tunjuk Arimbi pada Bratasena. Sang penodong yang adalah Permadi langsung memasukkan kedua pistolnya ke gun holster di kedua paha bagian luarnya. Ia teringat pada Sela Timpuru yang diberikan Citrarata beberapa saat tadi. Ia langsung menyobek lengan kemejanya dan menggunakannya untuk menutupi hidungnya. “Sialan! Kau harus tinggal di sini untuk menjelaskan semuanya, atau kulobangi kepalamu,” ancam Permadi. Pinten dan Tangsen berhasil ditarik menjauh dari asap. Keduanya lemas dengan mata menerawang ketakutan. Permadi mengambil sekantong Sela Timpuru dari sakunya. Ia ingat bahwa Citrarata mengatakan bahwa ia harus memberikan pil-pil ini kepada korban bila mereka terpapar racun tersebut lebih dari tiga puluh menit, tapi melihat kondisi kedua adik dan Kakangnya yang ekstrim tersebut, ia tidak bisa menunggu. Ia jejalkan pil-pil Sela Timpuru ke mulut Pinten dan Tangsen. Ia kemudian bergegas ke arah Bratasena, memasukkan pilnya dengan paksa ke mulut sang Kakang dan menunggu. Ketiga korban menunjukkan tanda-tanda membaik. Mata mereka mulai normal, ketakutan mulai hilang berganti kesadaran. Tapi mereka masih terlalu lemah untuk sadar apa yang terjadi. “Kita harus turun,” ujar Permadi. Arimbi mengangguk, kemudian melingkarkan lengan kekar Bratasena di bahunya dan membantunya menuruni pecahan bangunan ke lantai bawah sedangkan Permadi membantu Pinten dan Tangsen berjalan. Di bawah mereka melihat para gadis muda sudah berada cukup jauh dari area pertempuran bersama para Punakawan dan orang-orang Pendawa yang tersisa. “Orang yang kau selamatkan itu namanya Bratasena. Dia Kakangku. Namaku Permadi. Si kembar berdua ini adalah Pinten dan Tangsen,” ujar Permadi masih tidak begitu sadar bahwa orang yang ia ajak bicara adalah seorang perempuan. Permadi sebenarnya ingin menunjukkan rasa terima kasihnya, namun dengan cara yang berbeda, berhubung orang misterius ini jelas adalah anggota buta dan ia belum benar-benar paham kejadiannya sampai orang tersebut mau repot-repot membantu mereka. Arimbi membatin di dalam hati, bahwa orang yang ia selamatkan barusan adalah orang penting dari keluarga Pendawa yang menjadi kunci masa depan Wanamarta dan Pringgandani Corp. seperti yang dijelaskan oleh sang detektif, batara Narada, beberapa waktu yang lalu. “Aku yang berterima kasih karena Kakangmu yang menyelamatkan para gadis tersebut. Padahal bisa saja tadi ia tidak peduli dan tetap menyerang para jin tersebut,” balas Arimbi. Mereka berdua tak bercakap selama beberapa detik. Penyukilan dan Sukodadi datang berlari, membantu tuan-tuan mereka yang baru mulai siuman dari efek granat bhanga. Tak berapa lama Penyukilan dan Sukodadi membawa Bratasena, Pinten dan Tangsen. Tak disangka, episode pertempuran ini masih berlanjut. Dari atas, sosok Dananjaya muncul dan langsung menembakkan Rocket Launcher M20A1 Bazooka ke arah Permadi dan Arimbi. Ledakan besar menggelegar, menghancurkan puing-puing menjadi debu-debu halus.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN