Prior to Part Four

1129 Kata
Tidak ada yang menyangka bahwa figur yang datang kemudian ini adalah anggota klan mafia buta. Umurnya masih terbilang muda, tiga puluhan tahun. Tapi berbeda sekali dengan kebanyakan keluarga buta, Purocana bertubuh ramping. Wajahnya ditumbuhi kumis dan jenggot tipis nan rapi. Sepasang mata lebarnya menunjukkan semangat, intelegensi dan kecerdasan sekaligus kelicikan. Ia tidak mengenakan sepasang giwang lebarnya, mungkin sebagai bentuk etika dan estetika bertemu dengan para pejabat teras Astina Enterprise. Setengah jam setelah ditelepon oleh Harya Suman, Purocana langsung menggeber mobil Chevrolet alias Chevy Bel-Air hijau pupus dengan bumper chrome besarnya menuju ke gedung pusat Astine Enterprise. Jelas masalah ini sudah disepakati oleh dirinya dan Harya Suman sebelumnya. In fact, memang inilah rencana mereka. Sosok Purocana muncul dari balik pintu besar yang bergaya Victorian itu mengenakan single-breasted suit abu-abu, dengan dasi bergaris-garis panjang dan topi boater berwarna senada. Wajahnya sumringah dan ia terlihat cukup sopan dan bertatakrama. Harya Suman lebih lagi. Mulutnya tertarik sampai ke telinga saking lebarnya tersenyum. Laki-laki paruh baya ini menyambut kedatangan sang tamu yang ia undang dengan hangat. Harya Suman tidak hanya menyalami Purocana, ia bahkan merangkul pundak dan mengantarkannya mendekat ke arah Drestrarasta. Drestrarasta menajamkan indera pendengaran dan perasanya. Ia paham seperti apa orang yang datang ke depannya ini. Bau parfum Chanel Pour Monsieur tercium jelas dari balik jas Purocana. Langkah kakinya yang penuh percaya diri dan intelejgnsi itu membuat Drestrarasta mencoba menerima kehadirannya. “Nah, nah, ini dia yang kami tunggu-tunggu,” ujar Harya Suman. “Nama gentleman ini adalah Mr. Purocana. Ia adalah seorang arsitektur ternama dan yang terbaik di seantero negeri Jagad Wayang,” ujar Harya Suman memperkenalkan Purocana. Wajah keduanya tak henti terlihat sumringah. Suyudana yang bertubuh besar juga langsung mendekat ke arah tamu mereka itu. Ia melirik ke arah pamannya, Harya Suman, seakan menunjukkan sebuah pertanyaan. Harya Suman mengangguk ke arahnya sebagai respon tatapan kemenakannya tersebut. Suyudana kemudian menjabat tangan Purocana. “Aku Suyudana, Mr. Purocana,” ujarnya. “Semua orang tahu siapa anda, tuan Suyudana. Calon pemimpin besar perusahaan Astina Enterprise dan ketua klan besar para Kurawa, pemilik seratus perusahaan yang paling berkuasa di seluruh negara,” ujar Purocana. Suyudana tersenyum, namun tetap menjaga agar tak terlihat terlalu senang atas pujian tamu mereka tersebut. “Baiklah, tuan Purocana, dan kau, Kakang Suman. Apa yang hendak kalian utarakan sekarang?” suara Drestrarasta menggema di ruangan, membuyarkan acara ramah-tamah tersebut. “Baik, baik, Adi. Perlu aku jelaskan terlebih dahulu bahwa langkah yang akan kita ambil ini bukan tanpa pertimbangan yang matang. Rencana yang akan aku sampaikan ini bukan sekadar proposal, tapi sebuah langkah yang harus diambil. Semua demi Astina Enterprise. Demi kau, Adi, demi putramu, Suyudana. Juga demi Gendari adik dan istrimu, juga demi keluarga Kurawa secara keseluruhan,” ujar Harya Suman terdengar serius kali ini. Mendengar hal tersebut dari mulut pamannya, Suyudana perlahan menjadi semakin tertarik dan tak sabar mendengar gagasan yang akan disampaikan keduanya. Harya Suman memandang ke arah Purocana seakan memberikan ijin. Purocana sendiri tidak terlihat kikuk atau tegang. Kepercayaan dirinya memang seperti bagian yang tak lepas dari tabiat dan sifatnya sendiri. Purocana berdehem. “Bale Sigalagala adalah solusinya, tuan Drestrarasta dan tuan Suyudana,” ujarnya mendramatisir. Ketika tiada yang merespon, Purocana membenahi kerah jas nya, kemudian melanjutkan. “Aku sudah bekerja sebagai seorang arsitek selama belasan tahun. Aku merancang bangunan dengan vault untuk kelompok buta menyimpan uang-uang mereka. Aku membangun rumah bagai benteng untuk melindungi penghuninya dari serangan klan mafia lawan. Aku juga telah menciptakan beragam fasilitas persembunyian, jebakan atau tipis dalam gedung-gedung besar milik klan-klan saingan customer ku, tuan Drestrarasta dan tuan Suyudana. Maka, mudah sekali bagiku untuk membuat bangunan yang berfungsi sebaliknya, yaitu membuat siapa saja yang ada di dalamnya tak akan luput dari kematian, tak selamat dan tewas,” ujarnya puas. Sepasang mata Suyudana berbinar sejalan dengan sinar mata kanannya, Harya Suman. “Maksud Mr. Purocana, kita akan menggunakan gedung rancangan tuan untuk membunuh para Pendawa?” ujannya lugas terus terang. Drestrarasta menutup kedua matanya, mencoba mencerna semua hal yang ia dengar ini. “Bagaimana cara kerjanya, tuan?” lanjut Suyudana. “Aku hanya merancang, tuan muda Suyudana. Ide brilian ini berasal dari paman Harya Suman yang luar biasa cerdik ini. Ia menantang untuk merancang sedemikian rupa, sebuah bangunan yang menarik sekaligus bakal menjadi akhir dari karir dan kehidupan kaum Pendawa sehingga tak perlu merongrong kekuasaan klan Kurawa di Asrina Enterprise,” balas Purocana. Suyudana mengelus-elus dagunya, berpikir dan mempertimbangkan hal tersebut. “Mengapa sebuah bangunan, Mr. Purocana? Apa istimewanya, dan bukankah untuk kembali membangun atau merenovasi sebuah rumah membutuhkan dana dan waktu yang tak sedikit?” tanya Suyudana. Harya Suman mengangkat tangannya untuk menunjukkan bahwa ia yang akan menjawab pertanyaan ini. “Ingat sudah berapa banyak dana yang kau habiskan untuk mencoba menghabisi keluarga itu? Menyewa pembunuh bayaran agar jejak tak mengarah kepadamu. Meledakkan mobil bahkan langsung menyerang dengan pasukan. Belum lagi waktu yang kau buang untuk terus-menerus melakukan uji coba penjebakan dan pembunuhan. Semua tak berhasil sama sekali bahkan gagal total.” “Ya, paman. Aku sadar itu. Oleh sebab itu aku bertanya, apa keunggulan idemu kali ini, bila toh sama-sama menghabiskan uang, waktu dan usaha,” potong Suyudana. “Dengarkan aku dahulu, kemenakanku. Kali ini, kita akan melakukan semua hal yang pernah kita lakukan sebelumnya, tapi dengan usaha yang berbeda. Kita akan benar-benar membangun sebuah gedung, sebuah restoran. Kita akan akui sebagai sebuah lini usaha bagian dari Astina Enterprise. Kita akan undang siapa saja pada launching. Pers, batara, begawan, semuanya. Termasuk kelak, para Pendawa. Pada saat mereka hadir, kita bakar restoran itu dengan mereka berada di dalamnya,” ujar Harya Suman bersemangat. Suyudana tertawa kecil. “Mereka telah lolos dari pengeboman, peenembakan bahkan peracunan. Dari mana kau bisa yakin mereka tidak akan lolos kali ini, paman?” Harya Suman menyerahkan pertanyaan ini kepada Purocana yang juga tersenyum sumringah. “Itu sebabnya aku dibutuhkan, tuan Suyudana. Proyek besar ini harus menarik perhatian semua orang. Bale Sigalagala akan dibuat dari kayu, sembilan puluh persen. Sisanya adalah bahan-bahan yang mudah terbakar. Aku akan membuat restoran itu menarik dan unik secara estetika. Itu sebabnya, kita akan melayani semua customer sebaik mungkin sebelum tujuan kita mengundang para Pendawa belum berhasil. Bahan peledak akan tertanam di berbagai sudut bangunan sehingga bila Bale Sigalagala terbakar, atap akan runtuh, pilar kayu akan hancur, lantai akan amblas dan Bale Sigalagala akan rata dengan tanah.” “Menarik sekali idemu, Mr. Purocana. Secara umum aku bisa menggambarkan keberhasilan, namun tidak secara mendetail. Bagaimana dengan para batara ...,” “Itu juga sudah aku dan paman Harya Suman pikirkan. Kita akan menyogok para batara yang berhubungan dengan perijinan dan keamanan bangunan, sehingga pembangunan ini akan diperlancar. Begitu juga masalah kebersihan dan sanitasi agar tak terlalu diperhatikan. Memang, dana akan cukup banyak dibutuhkan, membuat bangunan unik dan semenarik itu jelas perlu uang, tuan Suyudana. Tapi hasilnya jelas sudah ada di depan mata.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN