Samiaji menyentuh bahu tinggi adiknya itu lembut, "Adi Bratasena, apa aku pernah minta kau untuk berbicara dengan satupun dari mereka? Berbicara adalah tugasku. Aku yang akan bicara dengan Yudhistira, tapi kalian tahu apa yang harus dilakukan, bukan? Apa aku harus jelaskan secara mendetail?" senyum aneh kembali tersungging di bibir Samiaji. Karena wajah tanpa ekspresi itu yang melakukannya, roman muka Samiaji menjadi misterius, menakutkan sekaligus penuh kepercayaan.
"Baik-baik. Aku paham," ujar Permadi ceria mendengar apa yang dijelaskan oleh Samiaji kepada Bratasena. Wajahnya yang tampan itu tiba-tiba berubah menjadi manis dan menyenangkan seperti seorang remaja saja. Kimia otaknya telah bekerja dengan baik sehingga terkoneksi dengan sempurna dalam pemahaman tersebut.
"Mari lakukan ini Kakang," ujar Permadi sembari menyentuh bahu kekar Bratasena. Ia mendekat ke arah Bratasena yang tadi berbicara dengan Samiaji. Masalah ‘lapangan’ seperti ini memang berada di ranah mereka. Maka yang disentuh mengangguk mantap. Sang raksasa sendiri kemudian balik menyentuh kedua bahu Samiaji, "Akan kulaksanakan apapun perintahmu, Kakang," ujarnya singkat penuh pengertian.
Terlihat jelas komunikasi misterius ketiga saudara ini berhasil secara efektif. Bratasena yang kasar bagaimanapun adalah seorang adik yang sempurna. Ia selalu percaya pada keputusan Samiaji, apapun itu. Termasuk beberapa waktu yang lain ketika ia dapati Kakangnya itu babak belur dihajar dua orang anggota batara. Ia hampir saja berangkat untuk mengobrak-abrik kantor kepolisian kau batara kalau tidak segera dicegah dan dijelaskan kejadian yang sebenarnya dan alasan sang Kakang tertua membiarkan dirinya dipukuli.
Selama ini, Samiaji memang terkenal dengan kebijaksanaan dan keputusan yang hampir selalu bertentangan dengannya dan Permadi. Samiaji selalu menghindari kekerasan, paling tidak secara langsung. Sebaliknya, Bratasena dan Permadi malah mencari dan mengejar masalah. Mereka berdua adalah petarung. Orang yang berusaha menyelesaikan masalah dengan machoisme, dengan cara jantan, kepalan atau peluru, cepat dan tanpa basa-basi. Kekerasan memang tidak selalu menjadi pilihan utama bagi mereka. Namun, mereka percaya, dengan menyelesaikan sebuah masalah pelik dengan kekerasan, maka efeknya juga akan singkat. Tidak perlu berlama-lama bernegosiasi atau bermain-main dengan dendam yang tersimpan di dalam pikiran dan jiwa kelompok lain yang bila didiamkan akan meledak pada akhirnya.
Tapi kepercayaan keduanya terhadap moral code dan cara kerja Samiaji berada di atas segalanya. Perintah dan titahnya adalah mutlak untuk dilaksanakan dan dituruti. Itulah kunci dari jalannya keluarga Pendawa. Mereka tidak mau menghabiskan waktu hanya untuk berdebat dan menyangsikan keputusan sang pemimpin. Tidak peduli apa resiko dan konsekwensi dari keputusan yang mereka laksanakan tersebut. Tanggung jawab yang diemban, harus selalu ditanggung dengan baik. Itulah perbedaan yang mencolok antara keluarga Pendawa dengan klan buta, jin dan gandarwa.
Klan buta jelas penuh dengan intrik politik di dalam tubuhnya. Adik beradik yang menjadi pimpinan kekuasaan enterprise atau perusahaan selalu memiliki kepentingan dan nafsu berkuasa mereka sendiri, sehingga tidak gampang untuk menyatukan gerakan dan tujuan mereka. Ketika sang ketua, Arimba bertitah, segala yang dilakukan adalah bentuk dari rasa takut dan terganggu, bukannya hormat dan rasa tanggung jawab.
Di sisi yang lain, keluarga jin dan gandarwa, melakukan perintah karena paham bahwa segala titah Yudhistira pasti selalu sesuai dengan keinginan mereka. Kebijakan Yudhistira seperti memfasilitiasi keinginan dan kepentingan mereka sendiri. Sampai saat ini, semuanya masih berjalan lancar karena sesuai dengan keinginan mereka pula. Bagaimana bila kelak, mereka harus dihadapkan dengan keputusan yang ekstrim atau berbeda? Lalu, apakah Yudhistira pun berani untuk mengambil keputusan yang bertentangan dengan keinginan dan kepentingan adik-adik dan bawahannya?
"Kalau begitu kita tidak perlu tunggu lama. Pinten dan Tangsen ada di luar menunggu keputusan kita," ujar Permadi masih dengan sunggingan senyum nya yang menebarkan keremajaan dan menawan itu. Berbalik seratus delapan puluh derajat dengan isi hatinya yang berkobar-kobar menuntut akan sbeuah pertempuran.
Bangunan dimana mereka berbicara tersebut adalah sebuah hotel bintang empat yang tidak terlalu prestis dan luxurious, tapi sangat rapi dan nyaman. Di hotel ini lah para Pendawa tinggal, walau kerap juga mereka berkumpul di bar, casino atau club yang mereka miliki di pusat kota Wanamarta. Di lobby hotel telah berkumpul beberapa pengikut keluarga Pendawa, termasuk di dalamnya Pinten, Tangsen, dan keempat Punakawan: Janggan Smarasanta sang Rama, Sukodadi, Penyukilan dan Bagong. Tanpa disangsikan lagi, mereka sebenarnya sedang menunggu perintah dari kakang-kakang serta pimpinan mereka: Samiaji, Bratasena dan Permadi, yang sedang di dalam ruangan menentukan tindakan berikutnya. Bukan tanpa alasan, ancaman kaum buta yang juga dimulai oleh kaum jin dan gandarwa, bukanlah masalah sepele. Bisnis mereka tidak akan berjalan dengan baik dengan ancaman-ancaman yang terus menerus berdatangan tersebut.
Kembar Pinten dan Tangsen duduk agak berjauhan. Keduanya sedang berbincang-bincang dengan para Punakawan dengan suara pelan, sedangkan beberapa orang tamu juga terlihat bercampur dengan para pengikut Pendawa. Mereka ngobrol atau membaca koran. Tidak seorang tamu pun paham dan saling kenal dengan tamu lain ataupun anggota Pendawa yang notabene adalah pemilik hotel tersebut. Semuanya berjalan normal.
Saat itu Pinten dan Tangsen mengenakan jaket dan celana panjang Levis denim biru. Pakaian yang pantas menyembunyikan pisau di balik pinggang mereka. Sepasang 7-hole leather sole boots cokelat mantap membungkus kaki mereka. Mereka benar-benar tak bisa dibedakan. Bahkan gaya rambut mereka yang disisir rapi ke belakang direkatkan oleh pomade Don Draper juga terlihat sama.
Bratasena berjalan ke arah luar melalui lobby, melirik Pinten dan Tangsen yang langsung berdiri dan mengikutinya keluar tanpa perlu dikomando. Tiga orang lain juga ikut keluar perlahan dan wajar tanpa mengganggu perhatian para tamu. Mereka membetulkan posisi pistol Smith & Wesson Model 29 .44 Magnum, revolver dengan enam peluru dan double-action, di balik jas hitam mereka. Ketiganya adalah bawahan keluarga Pendawa yang setia dari awal kedatangan keluarga itu ke Wanamarta Town. Namun, tugas belum selesai, bahkan bisa dikatakan baru dimulai.
Tak lama Permadi juga muncul ke lobby. Tiga orang wanita cantik berpakaian flat sheath coat dress dan beret atau 2-piece Crepe Blouson Dress melengkapi dengan capulet yang anggun, mewah dan rupawan tak bisa melepaskan pandangan pada pemuda tampan dan modis yang muncul tiba-tiba itu. Permadi sendiri sangat sadar dirinya diperhatikan. Ia balik memandang ke arah ketiga wanita cantik tersebut, tersenyum serta melepaskan topi homburg krem nya serta sedikit menganggukkan kepalanya memberi hormat. Sontak ketiga wanita tertawa genit, menutupi mulut mereka dan saling berbisik-bisik manja sebagai reaksi sapaan pemuda tampan itu. Di sisi lain Janggan Smarasanta, Penyukilan, Sukodadi dan Bagong perlahan juga keluar dari lobby mengikuti tuan mereka. Dua orang pengikut Pendawa lain keluar berbarengan menyusul.