3| Mereka Sama

1095 Kata
PERJALANAN dari arah kampus menuju rumahnya, berhasil membuat Nasya menggila saat dirinya diwajibkan untuk mengemudikan mobilnya seorang diri. Tanpa teman, hanya alunan musik dan bunyi klakson saja yang menghibur waktu tiga jamnya. Berhasil memarkirkan mobilnya ke dalam garasi rumah yang hanya dirinya kunjungi sekali dalam sepekan. Perjalanan yang menempuh waktu lama membuat Nasya menyerah harus setiap hari pulang ke rumah saat dirinya selesai dengan aktivitasnya dikampus. Meski nyatanya, bukan hanya itu alasan satu-satunya bagi Nasya untuk tak sering-sering datang mengunjungi rumah mewah yang berada di dalam perumahan elite ini. Karna saat dirinya selesai mengunci pintu mobilnya, matanya segera disambut oleh sesosok manusia yang Nasya jadikan alasan utamanya untuk tak sering menginjakkan kakinya lagi ke dalam rumah terkutuk ini. Dengan menahan amarah yang mulai memuncak, gadis bertubuh tinggi bak model Victoria Secret itu terlihat melangkahkan sepatu boots hitamnya. Berjalan dengan tatapan lurus ke arah seorang wanita berparas manis yang baru saja terlihat keluar dari dalam pintu utama rumahnya. Mendekat ke arah sosok yang sangat dirinya benci dengan bibir bawah yang terpaksa harus ia gigit kuat-kuat, hingga langkahnya terhenti saat dirinya sudah berada tak jauh dari posisi wanita berwajah sok polos itu. Berniat untuk menahan napas agar indra penciumannya tidak menghirup aroma parfum yang memuakkan dari tubuh wanita dihadapannya itu. "Ternyata lo bukan cuman gak punya malu ya, tapi juga gak punya kuping," Nasya memulai makiannya dengan diakhiri seringaian penuh kebencian. Menatap sinis ke arah lawan bicaranya yang saat ini malah nampak melemparkan senyuman manis pada gadis cantik dihadapannya. "Udah berapa kali gue bilang, jangan pernah nginjekin kaki dirumah gue lagi." kata demi kata yang Nasya keluarkan sebisa mungkin ia tekankan, bertujuan agar makhluk luar angkasa ini dapat mengerti apa yang dirinya ucapkan. Namun apa daya, tidak adanya hati nurani dan otak membuat wanita itu malah semakin bersikap manis dihadapan Nasya meskipun gadis itu sudah mengatakan hal-hal pedas. Menganggap semua ujaran kebencian yang gadis itu berikan adalah sebuah sambutan selamat datang untuknya. "Nasya sayang, saya juga gak akan kesini kalo daddy kamu gak maksa." Sungguh, harus butuh tenaga ekstra agar Nasya tak segera menghajar wajah wanita yang sudah sekurang ajar itu merusak hubungan kedua orang tuanya. Menjadi perebut suami orang demi mendapatkan harta dan tahta, tidak memperdulikan nasib dari keluarga yang dihancurkannya. Dan yang lebih menyakitkannya lagi, wanita berumur 28 tahun yang Nasya ketahui memiliki nama Gladys ini bersikap terang-terangan sebagai 'selingkuhan Papanya' di hadapan Nasya dan juga Nindya- Mamanya. "Kamu gak masuk? Mama kamu ada dikamar tadi sama daddy kamu." Hampir saja merobek bibir berliptick merah merona itu kalau saja Nando-Ayahnya, tak segera datang menuju perkumpulan itu. Nampak berjalan mendekati 'wanita keduanya' dan berakhir merangkul pundak wanita itu secara terang-terangan dihadapan kedua bola matanya. Dari tempatnya, Nasya terlihat menyeringai pernuh rasa sakit hati, Sudah bukanlah suatu hal baru bagi Nasya saat kemesraan itu terlihat jelas di kedua matanya. "Papa ngapain kesini bawa wanita itu?" berjuang untuk tak meneteskan air matanya, Nasya memilih menundukan kepalanya dalam-dalam, rasa sakit hati yang memuncak berhasil melemaskan seluruh syaraf di tubuhnya. "Namanya Gladys, berapa kali Papa harus kasih tau kamu." dengan santainya, Nando merespon pertanyaan putri tunggalnya. Menghadirkan kepala terangkat dari arah Nasya sebelum gadis itu terlihat menyunggingkan senyuman penuh arti. "Dimata aku, dia cuman w************n yang ngerebut suami orang." Selesai mengatakan isi hatinya, sebuah tamparan telak berhasil mendarat di wajah Nasya. Tamparan yang secepat itu mendatangkan rasa panas yang menjalar disekitar pipinya, bersamaan dengan air mata yang sudah pasti menetes. Ketiga kalinya Nasya mendapatkan perlakuan menyakitkan dari Papa kandungnya sendiri. Papa yang sedari dulu Nasya percayai untuk menjaga dan melindunginya, yang saat ini menjadi sosok yang paling membuat hatinya terluka. "Papa benar-benar tidak habis pikir dengan kamu dan Mama kamu, kalian berdua benar-benar memiliki mulut sampah." Nando berbicara dengan diikuti hembusan napas kasar, sibuk mengatur emosinya sendiri. Pembawaan tokoh yang baru saja Nando ucapkan, tanpa sadar kembali membangkitkan tenaga Nasya yang tadi sempat menghilang. Tidak perduli dengan kondisi wajahnya yang sudah terlihat memerah, gadis itu beralih menatap manik abu Nando curiga, "Papa apain Mama?" Memilih untuk tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh putri tunggalnya, Nando segera beranjak dengan rangkulan yang tak lepas pada pundak wanita itu. Berjalan meninggalkan Nasya dan berakhir menghilang ke dalam sebuah mobil lamborghini berwarna orange yang tadi berada tepat di samping mobil hitam miliknya. Tanpa berpikir lebih lama, gadis bermanik abu itu nampak melangkahkan kakinya untuk menaiki tangga kecil sebelum memasuki pintu utama rumahnya. Segera disambut oleh beberapa perabotan yang sudah jatuh berantakan diatas lantai berlapis karpet cokelat itu. Hal yang berhasil meningkatkan kepanikan Nasya ketika dirinya kembali memikirkan kondisi Nindya. Tanpa perduli dengan keadaan sekitar, Nasya kembali mengambil langkah besar untuk berlari menaiki tangga utama rumahnya. Berakhir dengan berdiri tepat pada depan pintu disebuah kamar yang terletak di pojok lorong, sempat menarik napasnya dalam-dalam sebelum membuka pintu berwarna putih itu dengan tangan gemetar. Dan lagi-lagi, suasana yang ia temui benar-benar layaknya seperti kapal pecah. Beberapa lampu tidur yang sudah tidak berada pada posisi semula, dengan tambahan cermin rias milik Nindya yang sudah terlihat pecah akibat lemparan vas bunga. "Mama!?" dengan menahan degupan kencang pada jantungnya, Nasya mulai mencari keberadaan Nindya diseluruh penjuru kamar tidur utama ini. Tidak berhasil menemukannya, membuat gadis berambut lumayan panjang itu berlari kecil menuju kamar mandi. Hampir saja kembali meneriaki nama sang Mama sebelum matanya segera dipertemukan oleh sosok berparas manis yang saat ini tengah menangis disamping sebuah kloset. "Mama!?" Nasya berucap manik sebelum berlari kecil menghampiri wanita berambut hitam pekat itu, berakhir dengan memeriksa lebam yang sudah menghiasi area permukaan wajah Nindya. "Kamu datang? Sudah makan?" Memilih untuk tidak merespon kepanikan yang tengah Nasya alami, Nindyapun terlihat bersikap biasa saja meskipun wajahnya masih dipenuhi oleh air mata. "Ma, kenapa gak ngasih tau aku kalo Papa dateng bawa selingkuhannya!?" merasa hal ini sudah tidak bisa lagi ditutupi, Nasya dengan tegas bertanya. Meminta jawaban atas kejadian mengerikan yang baru saja menimpa Nindya dan juga dirinya. Namun dengan tenangnya, wanita berumur empat puluh tahunan itupun terlihat menggelengkan kepalanya, "Mama gak apa-apa, kita makan aja yuk? Tadi Mama bikin makanan kesukaan kamu loh." "Ma--" "Kita semua sudah terbiasa dengan ini, Mama tidak apa-apa." potong Nindya yang seketika berhasil membungkam mulut anak gadisnya itu. Memilih untuk menghentikan rasa kesalnya demi permintaan sang Mama. Tidak ingin membuat kondisi buruk ini, semakin bertambah buruk. Hanya mampu mengumpat dalam hati atas perlakuan buruk sang Papa kepada dirinya dan juga Mamanya. Semakin meyakinkan dirinya, kalau semua laki-laki di dunia ini, memiliki sifat jahat dan menyeramkan seperti Papanya. Makhluk yang tidak pantas mendapatkan rasa cinta dan kasih sayang yang tulus. Jadi, jangan pernah salahkan dirinya, kalau ia mempermainkan semua makhluk berhati kejam itu. Karna mereka semua, memang pantas mendapatkannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN