2| Manik Abu

1549 Kata
"b******k!" Hantaman keras pada stir mobil disertai u*****n penuh kebencian itu, sudah beberapa kali ini terdengar merdu di telinga. Berhasil mengagetkan salah satu sahabat berambut keritingnya yang sedari tadi sibuk membantu sobat berkacamatanya untuk menemukan lahan kosong di area parkiran kampus ini. Kembali direbut untuk yang kesekian kalinya, membuat cowok tampan berambut hitam pekat itu semakin mempertajam penglihatannya. Mencari-cari tempat kosong agar dapat meletakkan mobil kepunyaanya. Dapat bernapas dengan lega ketika dirinya berhasil menemukan lahan kosong yang berada tepat dibawah pohon ceri yang cukup rindang. Tanpa aba dan perduli dengan banyaknya mahasiswa yang sibuk berlalu lalang disana, sang pengemudi mobil Jeep berwarna hitam itu segera menancapkan gasnya untuk menempati lahan tersebut. "Gila, masih lumayan pagi parkiran udah sepenuh ini." sobat lain yang sedari tadi berdiam diri disamping sang pengemudi ikut berucap ketika mobil yang mereka naiki berhasil terparkir sempurna diantara dua mobil berwarna putih disisi kanan dan kirinya. "Udah telat juga mau ikut acara perkenalan di kelas," dari arah kaca spion, cowok tampan berkacamata itu melirik sobat berambut keritingnya. Ikut memperhatikan jam yang saat ini sudah menunjukan pukul 10 lebih tiga puluh, sedangkan kelas pertama mereka dimulai pada pukul sembilan pagi. "Kantin aja gimana?" tawaran yang datang dari arah cowok berkulit putih itu secepat kilat disetujui oleh para pendengar. Karna kata terlambat, bukanlah suatu hal yang heboh dikamus mereka. Jadi membolos pada kelas pertama ditahun ajaran pertamapun, adalah hal yang sudah biasa. Nampak berniat untuk beranjak dari dalam mobil yang satu jam ini mereka tumpangi, sebelum getaran yang menyapa ponsel milik cowok berkacamata itu terasa. Memilih untuk mengurungkan niatnya dengan tangan yang sibuk mengeluarkan benda pipih bercase abu itu dari dalam kantong celana jeans miliknya. Beralih pandang menuju layar mungil ponselnya dengan kening bertaut saat nama 'Mama' muncul dalam notifikasinya.  Mama Hari ini tepat dua tahun kepergian Dilla. Mama akan kesana setelah selesai check up. Kamu datang?       Dalam hening, Cowok itu sibuk membaca kata perkata yang tertera di dalam sana. Sebuah pesan yang berhasil menghancurkan moodnya yang sudah cukup buruk pada pagi hari ini. Sebisa mungkin berusaha untuk mengkondisikan ekpsresinya dihadapan kedua sahabatnya, tidak ingin salah satu dari sobatnya itu mengetahui suasana hatinya saat ini.Meski nyatanya, Arkan, yang kebetulan berada tepat disamping sahabat berkacamatanya itu, sudah terlalu paham dengan perubahan aura sobatnya. "Kenapa?" memilih bertanya dengan raut yang dibuat tak perduli, Arkan mengeluarkan rasa penasarannya. Menghadirkan wajah terkejud dari arah lawan bicaranya meski hanya dalam waktu hitungan detik. Karna setelah menyadari kalau dirinya sudah tertangkap basah, cowok itu segera mengatur ekspresinya seperti biasa. Kembali fokus dengan layar ponselnya dengan jari jemari yang sibuk mengetikkan balasan.  Derren Nielsen Aku sibuk, mau ngurus jadwal dikampus. Titip salam untuk tante Amanda. "Ayuk, cabut." Al, yang masih belum mengerti dengan situasi dingin yang tengah terjadi pada deretan bangku depan, ikut bersuara. Mengajak kedua sahabatnya untuk turun dari dalam mobil. Dan saat sang supir mengangguk setuju, barulah ketiga orang itu mulai beranjak. Berniat untuk melangkahkan kakinya pergi menuju kantin kampus sebelum penghancur mood ketiga datang menyapa. Hadangan yang kali ini, bersumber dari kedua orang laki-laki bertubuh tegap yang saat ini terlihat menghalangi jalan mereka. Berdiri dengan kedua tangan yang menghilang ke dalam kantung celana sembari memandangi ketiga lawannya tanpa tersenyum. "Bisa pindahin mobilnya? Itu parkiran khusus buat mobil gue." salah seorang laki-laki dengan rambut lumayan panjangnya bersuara. Berhasil menghadirkan lirikan penuh tak suka dari arah lawan bicaranya. Meski hanya dalam waktu hitungan detik, karna saat cowok berkacamata itu memilih untuk melangkahkan kakinya tak perduli, kedua sobatnya terlihat mengekor. "Anak baru? Gak tau siapa kita?" teguran kedua datang, membuat ketiga lawannya itu refleks menghentikan langkah. Mulai ikut terpancing dengan ucapan yang baru saja mereka dengar. "Lo yang pake kacamata, siapa nama lo dan jurusan apa." Merasa terpanggil oleh lawan berambut gondrongnya itu, cowok tampan berkacamata itupun memutar kembali tubuhnya. Berjalan menghampiri sosok pengganggu mood buruknya tanpa aba, berakhir dengan berdiri tepat dihadapan lelaki berkemeja merah itu dengan wajah datar. "Derren Nielsen, Jurusan Matematika semester satu. Ada masalah?" Tanpa takut, cowok tampan bernama Derren itu memperkenalkan dirinya. Sudah muak dengan kejadian buruk yang menimpa dirinya pada pagi menjelang siang hari ini. "Derren? Semester berapa? Satu?" beo lelaki berambut gondrong itu dengan diakhiri seringaian meremehkan. "Gue Aldy, mahasiswa semester tujuh." dengan bangganya, cowok yang memiliki pangkat sebagai 'senior' itu bertolak pinggang sesaat setelah dirinya selesai memperkenalkan identitasnya. Berharap bahwa lawan bicaranya itu akan merasa takut saat berhadapan dengan seniornya, meski harapan memang terkadang hanya akan berakhir menjadi harapan. Karna sesaat setelah senior bernama Aldy itu mengatup mulutnya, hanya dengusan singkat yang menjadi balasan atas kesombongan 'pangkat' itu. "Gue gak perduli, gimana dong?" Tambahan ucapan menyebalkan itu, berhasil menusuk jantung sekaligus paru-paru Aldy, merasa sudah mendapatkan hinaan dari sang junior. Tidak hanya senior berambut gondrongnya saja yang terkejud, bahkan Arkan dan Al yang kini berada pada bangku penontonpun di buat terkejud atas balasan gila sobatnya. "Apa lo bilang?" Aldy bertanya, berusaha memastikan indra pendengarannya yang ia anggap salah. "Gue gak perduli, dan sekarang mood gue lagi gak bagus. Jadi lo mending jangan cari masalah, permisi." respon Derren santai yang diakhiri dengan pamitan 'sopan'. Kembali berniat untuk menghampiri kedua sobatnya sebelum cengkraman yang menyapa lengannya berhasil memutar tubuh jangkung itu. Cengkraman yang tanpa sadar, menghadirkan aura setan di dalam diri cowok tampan berkacamata itu, karna saat senior gilanya selesai dengan lengannya, sambaran tak kalah kuat yang menyapa kerah kemeja Aldy berhasil membungkam mulut senior menyebalkan itu dalam waktu hitungan detik. "Gue bilang, mood gue lagi buruk sekarang. Jadi jangan cari gara-gara." bisik Derren dengan menekankan setiap kata yang terucap dari bibirnya. Matanya menatap tajam ke arah lawan bicaranya, seakan memberi tahu kalau dirinya sedang tak main-main. Selesai mengatakannya, ia terlihat melepaskan cengkraman pada kerah kemeja itu sebelum menghembuskan napasnya kuat-kuat. Menyadari kebodohan yang baru saja dirinya lakukan dihari pertamanya menginjakkan kaki sebagai mahasiswa baru di dalam kampus ini. Karna tidak ingin kembali melakukan hal buruk, secepat kilat cowok itu melangkah pergi. Meninggalkan u*****n penuh kebencian yang saat ini tengah Aldy keluarkan. "Lo gak apa-apa?" mulai menyadari ada yang tak beres dari sobatnya itu, Alpun bertanya penasaran. Pasalnya, Derren bukanlah tipikal orang yang mudah terpancing emosi seperti kedua sahabatnya yang lain, Raynzal dan Arga. Apalagi sampai mencari gara-gara dengan seseorang di depan umum, itu bukanlah sifat seorang Derren sama sekali. Semua orang tahu itu. Jadi jangan salahkan Al jika dirinya mempertanyakan perubahan sikap yang sobatnya itu lakukan. Dan ketika pertanyaan itu keluar, hanya anggukan kepala saja yang Derren jadikan jawaban atas pertanyaan itu. Memilih untuk mempercepat langkahnya menuju kantin kampus yang sudah pasti masih terasa asing dimatanya. Hanya terlihat sibuk dengan fokusnya yang kini sudah nampak memutar bola matanya, mencari kursi kosong di dalam kantin yang saat ini terlihat cukup ramai. Tidak memperdulikan tatapan mata yang sudah berhasil dirinya dapatkan dari arah wanita-wanita penunggu kantin ini. Karna setelah berhasil menemukan tujuan utamanya, sosok itu terlihat berjalan mendekat dan berakhir duduk diatas kursi panjang yang terbuat dari besi itu. Disusul dengan Al dan Arkan yang kini sudah menempati kursi tepat dihadapan sobatnya. "Gila-gila, bahagia banget gue kuliah disini." baru lima detik mendaratkan bokongnya, Al sudah memulai. "Kita kesini buat belajar lagi, gila. Apanya yang bahagia?" Arkan merespon sembari melepaskan jaket biru yang sedari tadi bersarang di tubuhnya, menyisakan kaos putih polos yang membungkus kulit putihnya. "Bukan belajarnya, itu cewek-ceweknya," tunjuk cowok berambut keriting itu ke arah perkumpulan mahasiswi yang berada tak jauh dari posisinya, "Mereka mau gak ya sama gue?" "Enggak." Derren yang baru saja mengeluarkan buku matematikanya, ikut berucap. Menghadirkan tatapan mata tak suka dari arah Al, "Kenapa? Gue ganteng, lumayan pinter, baik, kalo tajir mah gak usah disebutin lah, ya? Terus apa yang kurang?" Tanpa ada niatan untuk merespon, Derren terlihat berdecih singkat. Kembali memfokuskan dirinya untuk menjawab soal-soal matematika yang berada dihadapannya. Sementara Arkan, sibuk menyalakan pemantik api yang bertujuan untuk membakar ujung rokok miliknya. Merasa tidak dihiraukan, perhatian Alpun kembali pada sekitar. Mencari target lainnya sebelum pandangannya berakhir pada empat orang mahasiswi yang berada satu meja dari posisi mereka. "Nyet, mereka jurusan apa kira-kira?" tanpa berniat untuk mengalihkan pandangannya, Al terlihat menyiku Arkan. Membuat cowok tampan berkulit putih itu mau tak mau ikut memperhatikan perkumpulan ke empat mahasiswi yang tengah sibuk berbincang. "Fashion design?" tebak Arkan asal saat mendapati penampilan yang memang sedikit lebih mencolok dari arah wanita-wanita berparas menarik itu dibanding mahasiswi lainnya. "Nikmat banget, kalo tiap makan pemandangannya begini," lanjut Al yang masih sibuk memperhatikan bidadari-bidadari kantin itu. "Mampus, nyet!" tanpa aba, gangguan ke seribu kalinya datang menyapa Derren, cowok berambut keriting itu dengan gusar menyenggol kaki beralaskan sepatu milik sobatnya. "Yang paling cakep lagi liatin lo!" "Hm?" gumam Derren tak mengerti, terlihat menatap Al dengan wajah bingungnya. Namun saat sebuah petunjuk nampak Al berikan, barulah si tampan berkacamata itu memutar kepalanya. Mendapati sosok asing bermata abu terang itu tengah menatapnya dalam-dalam. Tatapan yang berhasil memutar memorinya pada keadaan terkelamnya beberapa waktu silam. Memilih untuk membuang pandangannya jauh-jauh saat rasa sakit itu mendadak kembali hadir menyapa. Enggan bertatapan dengan manik abu yang tanpa sadar berhasil mengingatkannya atas sosok yang sangat dirinya rindukan. Mengumpat dalam diam karna sudah mendengarkan perkataan Al. Sialan, matanya mirip banget "Kenapa, nyet?" Arkan yang menyadari perubahan ekspresi Derrenpun berkomentar, menunggu sobatnya itu untuk mengutarakan isi hatinya. Meskipun di akhir, hanya sebuah gelengan kepala saja yang menjadi jawaban atas pertanyaan itu. Kembali berfokus dengan buku pelajarannya, meskipun hati dan pikirannya, jelas sudah tak berada disana lagi.                                                                                               ••••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN