Tampak keterkejutan di mata lelaki tersebut. Mata itu menyipit tiba-tiba, membentuk garis simetris. Grazilda sempat melihat langkah lelaki itu berhenti untuk beberapa saat, tetapi kembali ia lanjutkan dengan lebih pelan.
Grazilda menatap langkah demi langkah lelaki tersebut. Seolah-olah setiap satu langkahnya merupakan pemicu bagi jantungnya untuk berdetak lebih kencang. Ada sebuah perasaan familier yang melanda Grazilda. Semacam perasaan takut dan antisipasi.
"Grazilda?" panggil lelaki tersebut, nadanya menunjukkan keterkejutan murni.
Grazilda menatap lelaki itu lebih seksama. Garis-garis rahangnya tegas, alisnya hitam seperti jelaga. Netranya sekelam malam. Sementara aura lelaki tersebut terasa kuat menekan keadaan sekelilingnya.
"Maaf. Aku ... ke sini untuk bertanya beberapa hal. Dengan Jefri Renald Brahmono?" Grazilda bertanya canggung. Udara di sekitarnya terasa lebih berat saat lelaki ini masuk ke ruangan yang sama. Meskipun lelaki itu memakai pakaian kasual santai berupa kaos biru dongker dan jins senada, tetapi sosoknya tetap terasa mendominasi. Tidak ada kata santai sama sekali.
"Perlukah loe mengkonfirmasi nama gue?" Lelaki itu tertawa penuh olok-olok. Dia mulai menganggap Grazilda datang ke rumah ini untuk bermain-main.
Grazilda tahu dirinya pasti terdengar konyol. Dia kemudian mengambil salinan kartu keluarga lama dari dalam tas mungilnya, meratakannya di atas meja, dan menatap lelaki asing itu dengan sungguh-sungguh.
"Sekitar dua bulan lalu aku mengalami kecelakaan. Bagian kepala terbentur dan sebagian besar memoriku hilang. Semalam, aku melihat salinan kartu keluarga lama yang tertera namaku, nama Jefri Renald Brahmono, dan Felix Renald Brahmono. Aku tak tahu dan merasa kacau untuk menghubungkan semua ini. Jadi, aku menelusuri rumah ini berdasarkan alamat yang tertera di kartu keluarga. Maaf jika aku tiba-tiba datang ke sini dan mengganggu. Aku hanya ingin menggali lebih dalam identitasku. Rasanya terbangun tanpa ingatan, tak tahu apa-apa, melihat semua yang ada di sekitar asing, itu sangat tak nyaman. Kedatanganku ke sini hanya sekadar ingin tahu dan mendengar detail kecil dari masa laluku, andai memang kita pernah terkait satu sama lain."
Grazilda menjelaskan dengan hati-hati. Suaranya stabil, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Dia menjadikan situasi yang ia hadapi saat ini sebagai sesuatu yang berada dalam kendalinya. Meskipun pada kenyataannya, detak jantung Grazilda semakin menghentak tak beraturan.
Ada keheningan yang tercipta. Ruangan besar ini terasa lebih menekan dari pada sebelumnya. Grazilda mencoba mengalihkan pandangannya pada salinan kartu keluarga, dan menormalkan nafasnya agar tetap stabil.
"Loe kecelakaan?" tanya lelaki itu. Dia mengambil tempat duduk tak jauh dari Grazilda, mengamati secara seksama ekspresi wajah Grazilda yang mulai terlihat canggung.
"Ya. Sayangnya, kepalaku mengalami benturan parah!" Suara Grazilda terdengar miris. Dia menarik ujung kemejanya pelan, mencoba menenangkan diri.
"Amnesia?"
"Ya. Untuk waktu yang tidak ditentukan. Dokter bilang mungkin ini hanya sementara, tetapi tidak ada yang bisa menjamin akan selama apa. Aku hanya bergantung dengan seutas harapan tipis. Hidup tanpa ingatan tentang siapa diri kita itu bukan sesuatu yang menyenangkan!"
Saat Grazilda terbangun seperti kertas kosong yang tak tahu apa-apa, bahkan tak mengenal dirinya sendiri, semua itu terasa seperti kehampaan tanpa dasar. Seperti kekosongan luar biasa yang tak berujung. Seperti cangkang tanpa isi.
Lelaki itu kembali terdiam lama. Sorot matanya yang menakutkan menjadi lebih gelap lagi. Grazilda jadi bertanya-tanya. Mungkinkah lelaki itu pernah ada dalam masa lalunya? Segila apa dirinya sehingga ia bisa menjalin hubungan serius dengan lelaki yang berkarakter arogan dan penuh d******i? Karena dilihat dari sudut mana pun, lelaki itu akan menjadi tipe lelaki yang akan Grazilda hindari dari saat pertama kali mereka bertemu.
"Aku Jefri Renald Brahmono. Mantan suamimu. Ayah dari putramu!" Akhirnya, jawaban itu muncul dari mulut lelaki tersebut. Saat itu, tak ada yang lebih menggemparkan bagi hati Grazilda selain mendengar pengakuan langsung dari mulut lelaki itu.
Sementara Jefri, dia hanya duduk tenang, mengamati reaksi Grazilda. Jika benar Grazilda dalam fase pasca kecelakaan dan mengalami amnesia, maka kondisi batin wanita itu pasti tak stabil. Jefri memutuskan bertindak sedikit sopan dengan menarik sapaan kasarnya dan mengubahnya menjadi aku-kamu. Grazilda dalam situasi yang mudah peka saat ini. Dia hanya menyesuaikan keadaan.
"Mantan suami? Jadi … benar? Kita memang pernah berbagi nama dalam kartu keluarga yang sama?" Grazilda mengulangi pertanyaannya. Jefri bisa melihat dengan jelas ujung-ujung jemari Grazilda tampak bergetar hebat. Sesuatu yang coba disembunyikan di balik meja tetapi masih sanggup Jefri tangkap.
"Ya. Kita menikah sekitar empat setengah tahun yang lalu dan bercerai setahun kemudian!"
Jefri menopangkan dagunya di atas lengan kiri dan bersandar di kursi layaknya kaisar. Tatapannya sangat intens. Lelaki itu sengaja merangkum semua ekspresi Grazilda, menilai secara detail. Tak ada yang berubah dari wanita itu. Hanya gurat-gurat wajahnya saja yang tampak lebih tegas, semakin menguatkan kedewasaannya.
"Apa lagi yang ingin kamu tahu?" tanya Jefri, masih tak mengalihkan pandangan. Dia mengingatkan dirinya sendiri untuk mencari informasi tentang perkembangan Grazilda sesegera mungkin. Meskipun tampaknya Grazilda mengalami kecelakaan dan amnesia seperti yang ia ceritakan, tetapi Jefri perlu data faktualnya. sudah lama dia tak mengikuti perkembangan kehidupan wanita itu. Sekarang, sepertinya semua akan sedikit berbeda.
"Pernikahan kita sesingkat itu?" tanya Grazilda. Wajahnya menunjukkan rasa penasaran.
"Ya."
Grazilda meringis dalam hati. Dia tak tahu bagaimana hubungan mereka di masa lalu. Tetapi melihat betapa singkat dan sadisnya jawaban dari Jefri, Grazilda bisa membentuk suatu kesimpulan mengapa hubungan mereka berakhir. Mungkin, Grazilda sendiri yang tak bisa bertahan menghadapi karakter sekeras Jefri.
Namun, jika dipikir lebih jauh lagi, jika Grazilda tak tahan dengan karakter Jefri, kenapa ia menikahinya? Semua itu semakin tak masuk akal. Grazilda mendesah panjang, merasa dihadapkan pada beberapa teka-teki baru. Apakah bijaksana bertanya pada Jefri alasan perceraian mereka? Rasanya kurang etis, seolah-olah Grazilda sengaja membuka-buka kisah masa lalu yang seharusnya ditutup. Tetapi jika tidak bertanya, dari mana Grazilda bisa tahu kebenarannya?
Setelah bimbang beberapa saat, akhirnya Grazilda memilih bertindak berdasarkan insting. Dia menekan rasa malunya jauh-jauh demi informasi yang sangat ia perlukan.
"Jika boleh tahu, kenapa pernikahan kita berakhir?" tanya Grazilda. Semburat merah segera memenuhi wajahnya, membuat wanita itu seperti anak remaja yang baru pertama kali berhadapan dengan pemuda.
"Karena kamu tertarik pada lelaki lain!"
Grazilda membeku. Dia mengedipkan matanya, mencoba mencerna apa yang baru saja Jefri katakan.
Tertarik pada lelaki lain?
Entah itu kebohongan atau tidak, Grazilda sangat sulit menerima kenyataan ini. Grazilda memang amnesia dan kehilangan banyak ingatan tentang dirinya sendiri. Tetapi itu bukan berarti Grazilda tak mengenal karakternya sendiri. Jauh di dalam hati, Grazilda sadar dia adalah wanita yang lurus. Bagaimana mungkin dia bisa tertarik pada lelaki lain di saat dia sudah menikah? Semua itu seperti bukan dirinya.
"Aku …."
"Kamu nggak percaya." Jefri terkekeh, mampu membaca pemikiran Grazilda dengan cepat.
"Sepertinya aku bukan jenis wanita yang seperti itu!"
Grazilda meringis. Dia hanya bisa meraba-raba semuanya berdasarkan insting yang ia punya. Jika ada ketertarikan pada pihak lain saat pernikahan mereka terjadi, sepertinya lebih mungkin itu terjadi pada Jefri. Dilihat dari sudut pandang mana pun, lelaki itu memiliki banyak nilai positif untuk dikeributi oleh lawan jenis dari pada Grazilda.
Grazilda memang cantik. Tetapi setidaknya dengan kemampaun Jefri, mudah baginya mendapat wanita yang lebih darinya.
"Terus, kira-kira apa yang terjadi? Aku yang tertarik dengan wanita lain?" tanya Jefri, menantang Grazilda dengan sinar mata yang menyala-nyala seperti api. Ada kemarahan, tantangan, dan cemoohan dari ekspresi lelaki tersebut. Seolah-olah sengaja untuk memancing Grazilda mengeluarkan semua kecurigaannya.
Grazilda mengangkat bahunya, merasa tak sanggup mengungkapkan pikiran buruknya. Dia menatap ke seluruh ruangan, merasa bertanya-tanya. Tak ada foto apa pun di ruangan ini. Tidak foto Jefri, tidak foto lainnya. Grazilda tak bisa menebak apakah lelaki itu sudah menikah atau belum. Jika sudah, sepertinya kedatangan Grazilda ke sini untuk mengulik masa lalu pastilah sangat tak etis. Sebagai istri Jefri, wanita itu pasti merasa terganggu dengan niat Grazilda.
"Aku nggak tau dengan semua yang terjadi di masa lalu. Karena itulah aku ada di sini, jef! Aku nggak berani main tebak-tebakan kasar. Maaf, apakah ... mungkinkah kedatanganku mengganggu? Jika kamu udah terikat pernikahan baru, maksudku … ada sosok istri. Sepertinya aku kurang patut untuk tetap di sini dan mencari tahu masa laluku!" Grazilda menatap lantai marmer, mengamati polanya yang melingkar-lingkar.
"Aku memiliki banyak wanita sebagai penghangat tempat tidur. Tetapi sayangnya, tidak memiliki istri. Jadi, tidak akan ada yang tersinggung dengan kedatanganmu ke sini!" Jefri tersenyum kecil.
Lagi-lagi Grazilda merasa tak nyaman. Jefri adalah lelaki bebas yang sepertinya tak memiliki moral sama sekali. Lelaki yang sepertinya memiliki gaya hidup hedonis. Tak memiliki batasan yang jelas.
Jika benar lelaki ini pernah menjadi suaminya, maka bisa dipastikan perceraian mereka adalah hal yang paling positif bagi Grazilda.
"Kalau begitu, bisakah aku … menemui putraku?" tanya Grazilda akhirnya. Senyum kecil tersungging di bibirnya.
Wajah Jefri langsung berubah kaku. Dia jelas tak senang. Ada kemarahan yang kian membesar dari sorot matanya. Saat ia menjawab keinginan Grazilda, suaranya sangat dingin dan berjarak.
"Kamu bisa datang dan pergi, bermain-main dan menarik ulur hidupku. Tetapi tidak dengan putraku. Dia milikku, Grazilda. Untuk seorang ibu yang pernah meninggalkan putranya sendiri, tak seharusnya kamu datang lagi ke hidupnya dan memberinya banyak harapan kosong. Dia sudah terbiasa hidup tanpamu. Jangan mulai menggantungkan harapannya lagi sebelum akhirnya kamu membuangnya begitu saja! Kamu bisa pulang sekarang! Kamu masih ingat di mana pintu keluarnya, kan?!"
…