Penolakan

1180 Kata
Rasanya seperti ada petir di siang hari, dan percikannya masuk ke dalam jantung Grazilda. Baru sekaranglah Grazilda sadar perumpamaan tersebut terasa nyata untuk saat ini. Fakta ia pernah memiliki suami, bercerai, dan memiliki putra, menghantam dirinya dengan kuat dan telak. Antisipasi yang telah ia bangun sejak ia menemukan salinan kartu keluarga, tak ada apa-apanya dibandingkan dengan reaksinya saat ini. Konfirmasi langsung dari Jefri menjadi hal yang sangat mengguncang. Dan lebih dari segalanya, penolakan Jefri pada keinginan Grazilda dengan putranya—putra mereka—adalah puncak dari rasa sakit dan keterkejutan. Pikiran Grazilda linglung untuk sesaat. Dia mengusap wajahnya dengan canggung, kembali menatap Jefri hati-hati. Lelaki itu terlalu angkuh dan berjarak. Tidak mudah untuk mendekat dan melakukan kompromi bersama. "Aku tidak mengerti!" Akhirnya Grazilda menyuarakan pikirannya. Dia tak mengerti kenapa ada riwayat pernikahan ganjil yang terjadi di masa lalunya. Dia tak mengerti alasan keengganan Jefri menyambut dirinya. Dia tak mengerti penolakan tegas dari Jefri atas niatnya berkunjung pada putranya. Jika ada sesuatu yang nyata, sesuatu yang bisa dijadikan penguat dan bukti akan kenyataan pernikahan—masa lalu—mereka, itu adalah anak. Anak mereka. Di sinilah pikiran Grazilda mulai rumit dan berkonflik. Pertanyaan "mengapa" hadir tanpa ujung, terus menerus mengikuti dirinya dan menyerah pergi membebaskan nurani Grazilda. "Ada kalanya seseorang lebih baik tidak mengerti daripada terjebak kondisi yang rumit." Jefri menjawabnya dengan ringan, tetapi nadanya mengandung peringatan. Seolah-olah ada papan tinggi bertulis "tanda bahaya" dengan huruf kapital besar dan dicat merah. "Beri aku alasan. Beri aku penjelasan." Grazilda enggan menyerah. Serumit apa pun masa lalu Grazilda, ia menolak untuk berlari dan bersikap pura-pura tak tahu. Semuanya sudah di titik ini. Grazilda hanya ingin mengetahui bagian hidupnya yang hilang, lenyap dari memorinya. Jika dia ingin pergi dan melanjutkan hidup, setidaknya bagian ini harus ia tutup terlebih dahulu. Untuk menutup sesuatu, kita harus mengerti dan memahami kondisi yang menyertainya. "Jika aku bisa memberimu nasehat, berhati-hatilah, Graz! Jangan ulik sesuatu yang tidak mampu kamu ulik. Jangan ciptakan riak di permukaan yang telah tenang. Saat keadaan semakin rumit dan di luar kendali, kamu belum tentu sanggup menanggungnya!" "Tunggu—" "Ini bukan waktumu untuk datang dan ikut campur. Ini bukan saatmu untuk kembali dan menciptakan keributan baru. Kita sudah berada di titik saling berkompromi satu sama lain. Jangan hancurkan kotenangan ini sekarang!" "Apa maksud semua ini? Aku hanya ingin tahu bagian hidupku yang hilang dan tidak kuingat! Seburuk apa pun bagian itu, itu adalah bagian hidup yang kumiliki dan sudah menjadi hakku untuk mencari tahu!" Grazilda semakin bingung. Ada apa sebenarnya dengan hidupnya sendiri? Harus ada cerita yang cukup kuat sehingga Jefri menjadi sesulit ini, bukan? Seolah-olah ada permusuhan yang besar di mata Jefri yang menahan Grazilda untuk mendekat dan mencari kebenaran masa lalunya. "Sudah terlambat untuk mencari tahu. Percayalah. Aku dan putraku adalah sesuatu yang seharusnya kamu kubur dalam-dalam." "Ya Tuhan! Ada apa sebenarnya? Ini masa laluku, kenanganku sendiri, dan bagian dari diriku. Kenapa kamu seolah-olah sengaja menyingkirkanku terang-terangan? Apakah benar aku sungguh-sungguh pernah menikah denganmu? Dengan karaktermu seperti ini …." Grazilda tak bisa melanjutkan kata-katanya dan hanya bisa menggelengkan kepala. Lelaki ini terlalu sombong. Grazilda semakin kehilangan keyakinannya sendiri. Satu hal yang ia sadari adalah ia tak mungkin tertarik dengan lelaki seperti ini. Grazilda cenderung introvert dan menghargai pasangan yang ramah, manis, dan penuh senyum. Jenis orang yang mengisi hari-harinya dengan keriangan dan canda tawa. Bagaimana bisa ia pernah terjebak pada lelaki angkuh seperti Jefri? Kesalahan apa yang ia lakukan di masa lalunya sendiri? Agaknya entah bagaimana Grazilda pernah bertindak gila dengan merusak dirinya sendiri sejauh ini melalui lelaki bernama Jefri. Lama-lama Grazilda mengasihani dirinya sendiri, dan pilihan gegabahnya atas hidup masa lalu yang ia ambil. Seseorang selalu memiliki kemungkinan untuk bersikap naif dan menyedihkan. Agaknya Grazilda pernah melalui tahap ini sebelumnya. "Dengan karakterku seperti ini … kamu semakin meragukan pernikahan kita dulu? Hmh?" Jefri tersenyum sinis, menantang Grazilda untuk membantah. Bagaimanapun juga, Grazilda yang datang ke tempat ini. Sudah semestinya ia tahu ia masuk ke dalam sarang harimau yang tak suka dikonfrontasi. Jika wanita itu cerdas dan memiliki IQ tersisa, sudah seharusnya ia angkat kaki dan segera pergi keluar. Ke tempat mana pun yang wanita itu inginkan, selama bukan tempat Jefri dan putranya berada. "Jefri … atau siapa pun kamu, aku hanya ingin tahu masa laluku. Jika ada putra di antara kita, ijinkan aku melihatnya. Bukankah seharusnya hubungan antara ibu dan anak terjalin harmonis? Pembatasan yang kamu terapkan bukan hal yang baik bagi kita berdua." Grazilda adalah wanita yang selalu berpikir berdasarkan nalar. Apa susahnya bersikap praktis dan menginjinkan mantan pasangan bertemu dengan anaknya sendiri? Bukankah keberadaan seorang ibu seharusnya disambut dengan baik? "Kamu sudah terlambat bertahun-tahun untuk melakukan ini, Graz! Kamu sudah tidak berhak lagi mengungkit peranmu sebagai ibu. Kamu sudah mengambil tindakan di masa lalu, dan … meskipun memorimu sekarang kacau, percayalah padaku! Bertemu putraku bukanlah ide yang baik, dilihat dari banyak sudut pandang. Jadi, jika kamu benar-benar masih memiliki harga diri, angkatlah kakimu dan pergi dari sini. Rumahku bukan tempat yang bisa kamu kunjungi suka-suka. Begitu juga putraku. Dia bukan permainan yang bisa kamu datangi saat bosan dan tinggalkan saat kamu menemukan mainan lain di luar sana." Kata-kata Jefri dipenuhi sarkasme dan kritik tajam yang menusuk Grazilda. Kedua tangan Grazilda mencengkeram sisi kursi erat-erat. Rasanya dia belum pernah dikritisi sedalam ini oleh seseorang. Seolah-olah ia ditelanjangi habis-habisan dan dibiarkan terpapar penuh aib memalukan. Grazilda ingin membatah kata-kata Jefri, menyangkalnya karena ia yakin dirinya bukan tipe seperti itu. Seseorang bisa berubah, seseorang bisa menanggalkan identitas dan ingatannya, tetapi tak ada seorang pun yang sanggup melupakan dirinya sendiri dan karakter yang ia miliki di masa lalu. Menelantarkan anak jelas bukan karakter Grazilda. Wanita itu tahu batasnya sendiri. Ia jelas bukan tipe ibu-ibu kejam yang hanya peduli pada materiil dan mengorbankan hal-hal penting dalam hidupnya hanya untuk keegoisan sesaat. Jelas ia bukan wanita seperti itu. "Sejarah apa yang pernah terjadi di antara kita, Jef? Sepertinya itu bukan sesuatu yang menyenangkan!" Grazilda menghela napas panjang, tak yakin saat menatap langsung ke manik-manik mata mematikan. "Memang bukan hal yang menyenangkan. Tapi setidaknya sejarah itu membawa kehadiran putraku. Itu lebih dari cukup mengompensasi semuanya!" "Jadi ... di sinilah aku yang jahat?" tanya Grazilda, dipenuhi kebingungan. "Graz! Jahat dan tidak jahat adalah sesuatu yang bersifar objektif. Ini bukan masalah jahat dan tidak jahat. Ini bukan masalah baik dan tidak baik. Tapi ini masalah kondisi dan situasi. Mari kita mengambil tindakan dewasa. Ada batasan yang kita tetapkan pada sesuatu. Seperti juga pada putraku. Jika kamu masih menginginkan kestabilan dalam hidupmu, jangan pernah memancing batasku. Tidak sekarang, tidak besok, tidak selamanya! Kita cukupkan semua hal hanya ada di masa lalu. Ini adalah peringatan terakhir yang bisa kuberikan padamu!" "Kamu tidak bisa mengendalikan kemauan seseorang, Jef! Ada sesuatu yang disebut hak asasi manusia. Pertemuan ibu dan anak masuk ke dalam golongan tersebut!" Wajah Jefri menggelap dan manik matanya semakin tajam. Ada kekejaman yang tersirat di sana. Kekejaman yang entah kenapa, terasa familier bagi Grazilda. "Pergilah, Graz! Selagi masih kubukakan pintu lebar-lebar. Jangan menggali terlalu jauh. Kamu tak tahu sejauh mana aku bisa bertindak. Mengulik masa lalu hanya akan merepotkan kita berdua! Aku sudah cukup memberimu banyak toleransi!" …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN