Kediaman Jefri

1213 Kata
Pagi ini Grazilda melakukan perjalanan dengan taxi online menuju Kelapa Gading. Hari ini adalah akhir pekan. Lalu lintas jalanan padat, membuat perjalanannya lebih lambat dari pada waktu yang diharapkan. Grazilda mengandalkan google maps untuk mencari alamat yang ia tuju. Hari ini, Grazilda mati-matian meyakinkan Kevano untuk keluar seorang diri, beralasan butuh waktu secara pribadi. Lelaki itu selalu setia menemani Grazilda, terutama di setiap weekend. Setiap ada kesempatan yang ada, Kevano berusaha sebisa mungkin mendampinginya. Terkadang, dengan karakter Kevano yang totalitas dalam mengimbangi dirinya, ada sebuah rasa bersalah yang kian menyeruak. Kevano adalah lelaki yang memiliki bengkel motor besar dengan beberapa cabang di daerah Jabodetabek. Katanya, dia merintis usaha tersebut di awal pertemuan mereka. Grazilda-lah yang mendorong Kevano untuk membuka usaha ini. Grazilda sendiri sudah tak lagi ingat dengan semua itu. Mungkinkah dia di masa lalu menjadi sosok pendukung utama bagi Kevano? Ditebak dari perlakuan Kevano terhadapnya, pasti perasaan mereka berdua cukup dalam dan saling mencintai. Hanya saja, jejak-jejak emosi miliki Grazilda sendiri tak bisa lagi ia rasakan. Kevano tak ubahnya seperti lelaki asing. Lelaki yang cukup baik dan sekilas, terlihat sempurna. Tetapi hanya itu. Tak lebih. Bagaimana bisa Grazilda menghadapi dirinya sendiri dengan perasaan kosong dan keterasingan seperti ini? Setelah berada di rumah sakit selama delapan belas hari, keadaan Grazilda telah mengalami kelabilan. Bahkan, hingga sekarang pun Grazilda masih dituntut melakukan kontrol dan rawat jalan. Kepalanya terkadang masih terasa pusing. Beberapa kali Grazilda mengalami mual-mual. Singkat kata, dia masih tergantung dengan perawatan medis. Itulah alasan utama Kevano belum berani melepaskan Grazilda begitu saja. Untuk kepergian kali ini, mereka melalui perdebatan. Grazilda harus meyakinkan Kevano dan beralasan dia hanya akan berkeliling ke pusat perbelanjaan. Tak lebih. Akhirnya, karena tak berhasil meyakinkan Grazilda untuk ditemani, Kevano menyerah dan melepaskan kepergian Grazilda dengan berat hati. Pada akhirnya, Kevano menyadari Grazilda tetaplah seorang perempuan yang membutuhkan ruang privasinya sendiri. "Ini tempatnya kan, Neng?" tanya sopir taxi, membuyarkan lamunan Grazilda. Mulut Grazilda terbungkam menatap sebuah bangunan besar di sisi kiri jalan. Sebuah rumah dengan pagar besi tinggi, menutupi semua aset yang ada di dalamnya. Grazilda mencari nomor rumah yang terpampang jelas di depan, mencocokkanya dengan catatan kecil yang ia buat dari salinan kartu keluarga yang ia temukan. Benar. Alamat inilah yang tertera. Hanya saja, bagaimana bisa rumah ini sangat mewah? Bahkan, lebih mewah dari yang Kevano miliki. Padahal Grazilda sendiri sudah beranggapan rumah Kevano merupakan sebuah pemborosan secara terang-terangan. "Iya, Pak. Sebentar ya, Pak, saya turun! Bapak jangan pergi dulu. Biar saya pastikan dulu rumah itu masih kediaman teman saya atau nggak!" Grazilda tak bisa berspekulasi terlalu tinggi. "Ya, Neng! Bapak tunggu di sini!" Sang sopir, yang berusia setengah abad, menyetujui permintaan penumpangnya. Grazilda menguatkan tekad. Dia menarik nafasnya dalam-dalam, mulai membuka pintu mobil dengam gerakan lambat. Panas matahari langsung menyentuh kulit lengannya. Memberikan kehangatan setelah ia merasa dingin di dalam mobil kareana AC. Grazilda berjalan pelan mendekati bangunan besar. Dia sedikit linglung, mencari celah kecil. Dengan ragu-ragu, Grazilda menarik gerendel berukuran sedang di pintu gerbang dan membunyikannya beberapa kali. Tak ada respon apa pun. Grazilda mengulangi hal yang sama, mengetuk gerendel di tangannya ke gerbang besi, menghasilkan suara yang cukup nyaring. Masih juga tak ada respon. Grazilda berdiri dengan bimbang. Setelah menunggu dua menit lebih masih juga tak ada respon, Grazilda memutuskan untuk pergi. Mungkin, hari ini dia kurang beruntung. Atau mungkin, rumah ini sudah lama tak digunakan lagi. Siapa yang tahu? Grazilda tersenyum miris, merasa berhadapan dengan jalan buntu. Dia baru saja akan berbalik saat tiba-tiba gerbang tersebut terbuka dengan suara nyaring. Seorang lelaki berperawakan kekar, mengenakan seragam security gelap dengan mata tajam menyambut Grazilda. "Maaf, Pak! Ini bener kediaman Jefri Renald Brahmono?" Grazilda bertanya sopan. Dia merasa sungkan dengan wajah garang di depannya. Lelaki itu bukannya menjawab pertanyaannya, tetapi justru menatap Grazilda dengan sorot mata tak percaya. Tampak kernyitan dalam di dahi lelaki tersebut. Bibirnya kaku selama beberapa detik. Grazilda tak tahu apa yang salah dari dirinya. Dia mengusap kedua lengannya dengan gugup, mengantisipasi andai ia telah dengan tidak sengaja membuat kesalahan. Mungkinkah semuanya baik-baik saja? Atau entah bagaimana dia melakukan hal-hal yang tak seharusnya? "Nyonya? Nyonya Grazil?" Sang Security itu membelalak tak percaya. Dia membuka gerbang lebih lebar, membiarkan akses pada wanita tersebut. Grazil? Security itu memanggilnya Grazil? Dia mengenal dirinya? Rasa syok melanda Grazilda. Dia menggigit bibir bawahnya sekuat tenaga dan menahan keinginan untuk menjerit histeris. Semua ketidaktahuan ini lama-lama membunuhnya. "Ya. Saya Grazilda. Mungkinkah Bapak … ehm … maksudnya kita pernah saling kenal? Dan benarkah ini kediaman Jefri Renald Brahmono?" Grazilda mengulangi kembali pertanyaannya. Bukannya menjawab, lelaki itu tampak semakin kebingungan. Bagaimana bisa Grazilda melemparkan pertanyaan seperti ini? Ada apa sebenarnya? Seolah-olah Grazilda telah menjadi orang asing dalam waktu sejenak. "Masuk dulu, Nyah! Tuan ada di dalam!" Security tersebut mencoba mengundang Grazilda, dengan semua tanya yang ia miliki. Grazilda menatap rumah besar yang ada di hadapannya dengan canggung. Dia diharapkan masuk. Lelaki itu mengundangnya Nyonya. Dia mengatakan Tuan ada di dalam. Mungkinkah semua tebakan Grazilda benar? Ini kediaman Jefri. Melihat Grazilda masih berdiri terpaku di depan gerbang, security itu mulai menunjukkan kekhawatiran. Dia tersenyum canggung, membujuk Grazilda untuk masuk. "Anda bisa masuk, Nyonya. Perlu saya bimbing? Tuan ada di dalam." Lagi-lagi dia menyadarkan Grazilda yang melamun. Setelah Grazilda membayar dan mengijinkan sopir taksinya pergi, dia berbalik kembali untuk menerima tawaran security. Tidak ada jawaban yang akan ia dapatkan jika Grazilda tak berani bergerak. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah masuk ke rumah tersebut, mencari tahu identitas Jefri dan dirinya. Mungkinkah ini bagian dari masa lalunya? Meskipun sikap security tadi telah mengindikasikan sesuatu, tetapi sebelum Grazilda memastikannya sendiri, ia tak bisa terlalu yakin. Grazilda diarahkan menuju ruang tamu yang sangat luas di lantai satu. Ada dua set kursi berwarna tembaga dan putih gading yang tersebar di ruangan. Di sudut, terdapat meja panjang dari kayu jati yang atasnya penuh dengan koleksi guci mahal. Dari kilaunya saja, Grazilda bisa menebak harganya pasti di atas enam digit. Lukisan-lukisan abstrak menghiasi separuh dinding ruangan. Lantai ruangan ini dari marmer. Secara keseluruhan, Grazilda bisa menilai tak ada kata sederhana dari ruangan ini. Security yang tadi sempat ia lihat memiliki name tage Ilham, berjalan ke dalam untuk memanggilkan seseorang yang ia sebut-sebut sebagai Tuan. Grazilda berdiam lama di ruangan ini hingga kemudian seorang asisten rumah tangga dengan usia muda menyuguhkannya minuman dingin dengan beberapa kudapan. "Nyonya, silakan!" mata gadis muda itu menunjukkan sorot pengenalan, tetapi tak direspon apa pun oleh Grazilda. Dia hanya bisa mengangguk kecil, memilih tak menanggapi. Tampak raut kecewa di wajah gadis itu. Dia pergi dengan kepala tertunduk kecewa. Seolah-olah Grazilda entah bagaimana menyakiti hatinya. Melihat respon gadis tersebut, kening Grazilda semakin mengerut bingung. Ada apa sebenarnya? Menit demi menit berlalu. Grazilda tak tahu telah menghabiskan waktu berapa lama. Hingga saat kemudian dia menatap jam, barulah ia menyadari seperempat jam lebih telah berlalu. Grazilda bergerak gelisah. Dia mulai meragukan keputusannya sendiri. Saat Grazilda kembali mengurai emosinya sendiri, terdengar suara langkah-langkah pelan menuju ke arahnya. Seorang lelaki memasuki ruang tamu dari bagian dalam. Grazilda segera mendongak, menatap sosok yang membuat bulu kuduknya meremang seketika. Dan di sanalah Grazilda melihat seorang lelaki. Lelaki dengan mata paling kelam dan paling dingin sedunia. Sepasang mata yang mampu membunuh jiwa seseorang hanya dengan sekali tatapan. Mata seliar kutub dan memiliki kekuatan untuk membantai habis-habisan. …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN