Keesokan harinya.
"Yolla, kenapa nggak berangkat sama Richard?" Suara Jovan terdengar jelas di belakangnya, membuat Yolla berhenti di depan lift kantor.
Dia menoleh, melihat pria itu berjalan mendekat dengan langkah cepat, raut wajahnya tampak penuh tanda tanya. Seperti biasa, Jovan mengenakan setelan rapi berwarna abu-abu gelap, jasnya sempurna terpasang tanpa lipatan. Matanya yang tajam menyiratkan keingintahuan, sesuatu yang sering kali Yolla hindari.
"Aku berangkat duluan. Banyak kerjaan," jawab Yolla singkat, lalu menekan tombol lift dan berharap pintunya segera terbuka.
Jovan berdiri tepat di sebelahnya, tak berniat membiarkannya pergi begitu saja.
"Biasanya kalian selalu berangkat bareng. Apa ada sesuatu yang terjadi?"
Pertanyaan Jovan membuat d**a Yolla terasa sesak. Dia bisa merasakan tatapan pria itu tertuju langsung padanya, seolah berusaha mencari jawaban di balik kebisuannya. Jovan selalu terlalu jeli. Yolla berusaha tetap tenang, menatap lurus ke depan.
"Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan, jadi aku berangkat lebih dulu," ulangnya, kali ini lebih tegas.
Pintu lift terbuka, menyelamatkannya dari percakapan yang tidak diinginkannya.
"Aku duluan, ya?" Yolla masuk ke dalam lift tanpa menunggu jawaban dari Jovan.
Saat pintu lift menutup, Yolla menghembuskan napas panjang. Pertanyaan Jovan, tatapannya, semuanya membawa Yolla kembali ke saat-saat ketika Jovan masih sering mengajaknya berbincang. Sebelum semuanya berubah. Sebelum dia menjadi "seseorang" di dalam hidup Richard.
Jovan selalu ada di sana, sejak awal Yolla mulai bekerja di perusahaan Richard. Mereka pernah cukup dekat, bahkan ada sedikit ketertarikan. Yolla tahu itu. Tetapi semuanya berubah ketika Jovan mengetahui hubungan rahasia antara dirinya dan bosnya sendiri. Sejak saat itu, Jovan menjauh, dengan cara yang diam-diam tapi jelas. Tidak ada lagi tatapan hangat, tidak ada lagi obrolan ringan setelah jam kerja. Yolla tahu alasan di balik semua itu, dan mungkin, ia juga tidak bisa menyalahkannya.
Di lantai atas, Yolla melangkah keluar lift dengan cepat. Dia berjalan menuju mejanya, membenamkan dirinya dalam kesibukan kantor yang familiar.
Pukul delapan pagi, suasana di lantai utama kantor Richard mulai ramai. Semua orang sudah berada di meja masing-masing, mengerjakan tugas-tugas yang tak pernah habis. Suara pintu otomatis di lobi terbuka menarik perhatian beberapa karyawan. Richard masuk ke dalam kantor, tampak rapi dalam setelan jas biru tua dan dasi merah marun.
Semua orang menyapanya, seperti biasa, dengan senyum sopan yang sudah terbiasa mereka lakukan. Namun, pagi itu ada sesuatu yang terasa aneh. Beberapa rekan kerja saling berbisik, memperhatikan Richard yang datang sendirian.
“Aneh ya, biasanya dia sama Mbak Yolla,” gumam seorang resepsionis yang duduk di dekat pintu masuk.
“Iya, biasanya mereka bareng. Kalau nggak bareng ke sini, pasti bareng pulang. Apa ada masalah?” balas resepsionis lainnya, sambil melirik ke arah Richard yang berjalan lurus menuju kantornya.
“Serasi sih mereka, ya?” lanjut resepsionis pertama, suaranya pelan meski tak menyembunyikan kekaguman. “Sama-sama keren, sama-sama sukses. Cuma ya … nggak mungkin, deh.”
“Kenapa nggak mungkin?” sahut yang lain, setengah penasaran.
“Kamu nggak tahu, ya? Richard 'kan udah tunangan.”
Yang mendengar obrolan itu hanya bisa terdiam sejenak. Mereka tahu bahwa Richard adalah pria mapan yang sering kali jadi incaran banyak wanita. Tetapi kabar soal tunangannya jarang terdengar di kantor, membuat rumor tentang hubungannya dengan Yolla semakin berkembang.
Di ruangan kerja Richard yang luas, suasana hening. Dia duduk di belakang meja kayu mahoni yang besar, memandangi laptopnya, tapi pikirannya melayang. Biasanya, di pagi seperti ini, Yolla sudah duduk di depannya, membacakan agenda hari itu. Dan biasanya, dia akan menunggunya dengan setumpuk rencana yang sudah disusun rapi. Tetapi pagi ini, tak ada Yolla. Tak ada kopi hitam buatan tangannya yang selalu disuguhkan tepat waktu.
Pintu ruangannya diketuk pelan.
"Masuk," ucap Richard tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.
Yolla melangkah masuk, berusaha bersikap biasa saja.
“Ini agenda hari ini. Ada beberapa meeting dengan klien besar,” katanya, menyerahkan selembar kertas yang sudah dirapikan.
Richard menatapnya sejenak, matanya tak bisa menyembunyikan kelelahan yang tak biasa. Ia menerima kertas itu, membaca sekilas, lalu mendongak lagi.
"Oke, terima kasih," jawabnya singkat. Tetapi ada jeda yang terlalu lama di antara mereka.
“Yolla, duduk sebentar.” Richard akhirnya berbicara, suaranya rendah namun jelas. Yolla tahu ini bukan tentang pekerjaan.
Dia menelan ludah, lalu duduk di kursi di depan meja Richard, merasa suasana di ruangan itu semakin berat.
"Ada apa?"
Richard menggeser kursinya sedikit, mencoba menemukan posisi nyaman.
"Aku tahu … hubungan kita mungkin sudah berjalan terlalu lama tanpa arah yang jelas." Dia menatap lurus ke arah Yolla, seolah mencoba mengukur reaksinya.
Yolla tetap diam. Dia bisa merasakan jantungnya mulai berdetak lebih kencang, tapi wajahnya tetap datar.
"Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu tidak terlalu … berpikir jauh soal kita."
"Berpikir jauh?" Yolla bertanya, meski ia tahu arah pembicaraan ini.
"Ya. Aku sudah bilang dari awal, kan? Kita ini hanya ... hubungan fisik. Teman yang saling membantu untuk ... kenyamanan. Aku pikir kamu mengerti itu."
Yolla menunduk, memainkan ujung roknya untuk mengalihkan rasa gugup.
“Iya, aku paham.”
“Aku tidak ingin kamu salah paham atau berharap lebih, Yolla.” Richard berdiri, berjalan mengelilingi meja. Dia berhenti tepat di sebelah Yolla, menatapnya dari atas, sementara Yolla hanya bisa menahan napas, merasa dinding di sekelilingnya mulai merapat.
“Dari awal, kita sudah sepakat. Aku punya tunangan, dia sedang di luar negeri untuk karirnya, setelah dia pulang, hubungan kita harus berakhir.”
Kata-kata itu menusuk Yolla, meski sebenarnya dia sudah lama tahu hal ini. Dia sudah tahu tentang Ishika. Tentang tunangan yang selalu ada di bayang-bayang hubungannya dengan Richard. Tetapi mendengarnya langsung seperti ini, seolah menghancurkan harapan kecil yang selama ini Yolla tak pernah akui.
“Aku tahu ini hanya ... hubungan saling membutuhkan. Aku sadar diri karena semuanya juga tidak gratis, kamu memberikan uang padaku dan kamu bisa menikmati tubuhku."
"Sudah seperti jalang saja," batin Yolla miris.
Richard mengangguk, wajahnya terlihat lega.
“Bagus. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman.”
Dia berjalan kembali ke kursinya, duduk dengan tenang.
“Dan sebagai bagian dari kesepakatan kita, aku akan tetap memberimu kompensasi. Aku ingin kamu nyaman setelah ini berakhir.”
Yolla menatapnya, perasaan berdesakan di dalam dadanya. Kompensasi. Kata itu seolah mempertegas bahwa semua yang mereka lalui selama ini hanyalah transaksi. Tak lebih dari itu. Tak ada perasaan. Tak ada yang nyata.
“Terima kasih,” jawab Yolla datar. Dia berdiri, berusaha secepat mungkin mengakhiri percakapan ini.
Sebelum melangkah keluar dari ruangan itu, Yolla menoleh sekali lagi, menatap Richard yang sudah sibuk dengan laptopnya.
“Richard … apakah selama ini ... hanya itu yang kamu rasakan?”
Richard tak langsung menjawab. Ia menatap Yolla dengan ekspresi sulit ditebak.
“Yolla, aku tak ingin memberimu harapan yang tak mungkin. Aku hanya bisa bilang, kamu wanita yang luar biasa. Tapi … ini bukan tentang perasaan.”
Yolla mengangguk pelan, lalu pergi. Pintu tertutup di belakangnya, dan Yolla melangkah cepat melewati koridor kantor yang mulai penuh dengan aktivitas. Di luar, dunia terus bergerak, tetapi di dalam, Yolla merasa dunianya baru saja berhenti.
Baginya, semua sudah jelas. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali melangkah pergi dari hubungan yang ternyata tak pernah ada sejak awal.
Bersambung.