Uwak Ita diam saja. Dia pun berpikir bahwa Kana memang lebih baik berjauhan dari mamanya. Semakin hari hidupnya semakin sulit, apalagi dengan hadirnya anggota baru di rumah Asih. Sepertinya memang tidak ada ruang untuk Kana.
"Kamu cari duit yang banyak. Jangan mau diakalin Mama kamu. Sisihkan uangnya untuk ditabung. Uwak juga akan berhemat. Nanti Uwak susul kamu, kita sama-sama pergi dan sama-sama kerja."
"Katanya Uwak mau kerja di warung Kak Yuna nanti."
"Cih. Warungnya mana? Masih rencana ... rencana ... nggak ada kepastian. Sibuk berduaan melulu di kamar."
Kana hela napas panjang sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar Uwak Ita yang sempit. Dia memang harus pergi.
***
Sore itu ada kabar duka. Seorang tetangga dekat mengalami musibah kehilangan. Uwak Ita dan Asih langsung bersegera berkunjung melayat. Rumah pun jadi 'kosong'. Kosong karena Yuna dan Raka yang selalu berdiam diri berdua di kamar depan dan Kana yang sendirian di kamar Uwak Ita.
Kana sibuk merapikan baju-baju yang akan dia bawa besok. Dia tidak lupa akan pesan Uwak Ita agar membawa serta akta lahir, ijazah SD dan SMPnya. Uwak Ita berpesan agar Kana rajin menabung dan siapa tahu berniat melanjutkan sekolah di Jakarta. Uwak Ita ingin Kana pandai mengatur waktu dan menikmati hasil kerja kerasnya di Jakarta, sehingga Kana bisa belajar sambil bekerja.
Kana tersenyum tipis mengingat kata-kata semangat dari Uwak Ita, bahwa Jakarta adalah kota besar dengan penduduk yang sangat banyak. Ada banyak sekali kesempatan untuk Kana menggali potensi dirinya di sana. Uwak Ita ingin Kana tidak patah semangat. Kana adalah anak yang mandiri sejak kecil dan sanggup hidup sendiri. Uwak Ita tidak bosan meyakinkan Kana.
Kana menghela lega. Tasnya sudah penuh dengan pakaian dan barang-barang yang dia butuhkan selama di Jakarta.
Tiba-tiba terdengar pintu kamar diketuk. Tanpa pikir panjang Kana langsung beranjak dari duduknya dan membuka pintu itu.
"Ha?"
Kana terkejut bukan main.
Ternyata Raka yang mengetuk pintu kamar dan bukan Uwak Ita.
Raka langsung masuk ke dalam kamar Uwak Ita dan menguncinya.
Dia buru tubuh Kana dan memeluknya kuat-kuat.
"Kamu cantik. Cantik ... cantik. Semok ... semok. Aku suka. Kamu wangiii...." desah Raka sambil meremas-remas lengan Kana.
Kana terkesiap. Sangat kaget. Dia berontak sekuat tenaganya saat Raka memburu lehernya.
"Jangaaaaan. Toloooong!" teriak Kana.
Raka yang geram. Langsung membungkan mulut Kana. Dia keluarkan pisau dan menghunusnya ke dekat wajah Kana.
"Jangaaaaaann. Aku mohoooon...." Kana benar-benar pasrah dengan keadaannya.
Sambil terus memegang pisau, Raka dorong tubuh Kana hingga rebah terlentang di atas dipan Uwak Ita.
Raka terlihat sangat bernafsu saat menatap tubuh gendut Kana. Matanya berkilat-kilat melihat paha besar Kana yang hanya tertutup celana pendek.
Raka dekati paha Kana dan mengendusnya.
Kana sangat ketakutan, karena pisau masih dipegang Raka.
Raka juga memainkan pisaunya di atas perut Kana.
"Ooooh. Gembrooootnyaaaaa...." Raka yang sudah dikuasai napsu birahi memuncak menurunkan paksa celana pendek Kana. Dia tersenyum lebar melihat pangkal paha Kana.
Raka lalu menindih tubuh Kana.
Kana gemetaran saat ditindih Raka. Dia menangis sejadi-jadinya. Takut sekali dengan pisau yang dipegang Raka.
"Jangan takut. Aku bisa romantis dan baik...." Raka dekatkan wajahnya dan mencium-cium leher Kana.
"Aku tampan kan? Kamu suka kan...."
Kana semakin ketakutan. Tapi dia terus berusaha menguasai dirinya sambil sesekali melirik pisau yang dipegang Raka.
Raka masih dengan senyum seringainya melihat Kana yang ketakutan. Dia tampak menikmati wajah ketakutan Kana.
Raka yang menduga Kana pasrah dengan keadaan, meletakkan pisaunya di samping tubuh Kana, lalu melepas baju kausnya dengan cepat, ingin segera menuntaskan hasratnya.
Namun Kana dengan sigap meraih pisau dan menggigit kuat lengan Raka yang mendekap bahunya.
Raka hendak mencekiknya. Tapi Kana yang bertubuh besar sangatlah kuat. Tubuh Kana yang lebih tinggi ternyata bisa menguasai tubuh Raka yang lebih kecil. Kana dorong tubuh Raka kuat-kuat. Lalu dengan cepat dia turun dari dipan dan berdiri tegap sambil mengacungkan pisau ke arah Raka.
"Buka pintu! Ke luar Kamu!!" pekik Kana dengan suara paraunya.
Raka hampir memburunya lagi, namun dengan cepat Kana gores tangan Raka dengan pisau hingga darah mengucur dari lengannya. Kana tidak takut apa-apa lagi.
Kini malah Raka yang ketakutan. Kana sudah mulai mengamuk. Dia putar-putar pisau dengan wajah menggeram penuh amarah yang teramat sangat.
"Pergiiiiiii!!"
Hampir saja Kana menyerbu Raka dengan pisau, Raka dengan cepat memburu pintu, dan membukanya dengan tangan gemetar.
***
Kana langsung membereskan kamar Uwak Ita yang berantakan. Dia bersihkan juga darah yang berceceran di atas lantai kamar, darah dari lengan Raka yang disayatnya. Untungnya tidak begitu banyak, hanya berupa titik-titik saja.
Setelah kamar rapi dan beres, Kana terduduk lesu di sudut kamar dengan memeluk dua lututnya. Kana terus berusaha menenangkan diri. Kana pasrah seandainya Raka memutarbalikkan fakta bahwa dia yang memulai dan memaksa Raka karena ketampanannya. Kana siap diusir dari rumah, seandainya fitnah itu membuatnya dibenci Mama dan kakaknya, bahkan uwaknya sekalipun. Toh, tidak ada guna membela diri karena pasti mereka tidak akan mempercayainya. Lagi pula dia juga akan bekerja jauh di Jakarta.
Kana tatap tas besarnya dengan tatapan nanar. Dadanya tidak sesak lagi karena tangisan. Pipinya sudah kering dari air mata. Kana siap pergi.
Kana tersentak, pintu kamar Uwak Ita dibuka paksa dari luar.
Kana tidak beranjak sedikitpun dari duduknya saat mamanya berdiri pongah di depannya. Dari raut bengis mamanya Kana sudah tahu apa yang telah terjadi di luar sana. Sementara Uwak Ita berdiri di belakang mamanya. Dia terlihat bingung dengan keadaan.
"Kamu pergi dari rumah ini besok. Dan jangan pernah kembali lagi. Sudah sedari dulu Mama tau bahwa kamu selalu iri dengan keberuntungan kakakmu. Kamu buruk rupa, buruk pula kelakuan. Itu adalah alasan Mama yang tidak pernah bisa suka sama kamu. Pergi saja kamu, biar kamu tau akibat iri dengkimu itu. Tidak ada ruang di sini buat penggoda suami orang!"
Asih tampak jijik dengan anaknya, anak yang lahir dari rahimnya.
"Seandainya Mama bisa memutar waktu, Mama nggak mau kamu lahir dan tumbuh besar ke dunia ini seperti ini. Bikin malu. Nggak tau diri. Nggak bercermin!"
Kelopak mata Kana memanas. Namun dia terus berusaha menahan air mata agar tidak tumpah. Kana balas tatapan bengis mamanya seberani mungkin. Bibirnya gemetar menahan amarah luar biasa. Bukan amarah kepada mamanya yang telah melahirkan dan membesarkannya. Tapi amarah yang terpendam terhadap Raka, suami Yuna.
Bersambung