Pergi Saja

1053 Kata
Asih dengan cepat berbalik menuju pintu kamar dan ke luar dari kamar Uwak Ita. Asih benar-benar tidak mau lagi melihat Kana. Sementara itu Uwak Ita hanya bisa memandang kepergian Asih dari kamarnya dengan perasaan kacau. Dia lalu duduk di atas dipan, seraya menatap Kana yang masih terduduk di sudut kamar. Kana memilih diam dan tidak mau membela diri sedikitpun. Dia raih tas besarnya dan mendekapnya. Beberapa saat kemudian, barulah dia berujar, "Aku akan pergi besok, Uwak. Jangan khawatir ... aku numpang semalam lagi di kamar ini. Maaf, jika kamar ini ternoda...." Kana masih mengingat Raka menindih tubuhnya di atas dipan Uwak Ita. Masih jelas di ingatannya kilat mata dan senyum seringai Raka beberapa saat yang lalu. Kana memilih tidak menceritakannya. Kana lalu memperbaiki posisi rebahnya dan meletakkan kepala di atas tasnya. Kana tidak membentangkan kasur tipis seperti biasanya malam ini. Dia memilih tidur meringkuk saja. Kana pejamkan matanya. "Yuna menangis. Dia cerita bahwa kamu memaksa Raka masuk ke kamar ini. Kamu memeluk Raka dan menciumnya. Raka berontak dan kamu menyayatnya dengan pisau...." Uwak Ita tatap Kana yang meringkuk di sudut kamar. Dia jadi ingat suatu pagi saat Raka memergoki Kana yang duduk di dapur tengah menunggu giliran mandi. Mata Raka berkilat tajam menatap sekujur tubuh Kana. "Aku kira Uwak yang mengetuk pintu. Ternyata dia. Dia langsung memeluk dan menindihku. Aku berontak, lalu dia mengancamku dengan pisau. Aku rebut pisau dan berbalik mengancamnya. Tapi dia masih saja ingin menyerangku ... aku tidak punya pilihan lain selain melukainya." Uwak Ita hela napas panjang setelah mendengar cerita Kana. Dia terenyuh dengan Kana yang bercerita dengan mata tertutup. "Aku sadar rupaku tidak mungkin membuat laki-laki menyukaiku. Pasti di luar sana ... seandainya kabar ini tersebar ... tidak akan ada yang mau percaya aku. Termasuk Uwak." "Uwak percaya kamu." Kana akhirnya terisak juga. Dan matanya masih tertutup. Uwak Ita satu-satunya yang menyayanginya dan mempercayainya. Uwak Ita beranjak dari duduknya dan melangkah menuju lemari pakaiannya. Dia buka lemari kayu usang itu dan meraih dua lembar uang yang terselip di balik lipatan baju-baju. Uwak Ita duduk di dekat tubuh Kana yang meringkuk. Dia sentuh lengan besar Kana. Kana buka matanya perlahan, memandang wajah kerut Uwak Ita. "Sudahi penderitaanmu, Kana. Ini akhir dari penderitaanmu. Uwak yakin ... tidak ada lagi yang lebih parah dari ini," ujar Uwak Ita seraya menyerahkan dua lembar uang merah ke tangan Kana yang dipegangnya. "Uwak..." "Uwak yakin kamu jadi orang sukses nanti, kalo kamu sungguh-sungguh bekerja di Jakarta." "Uwak." Kana terisak hebat. Tangannya hendak menolak pemberian Uwak Ita. Tapi Uwak Ita tetap memaksanya dengan mengepal tangan Kana dengan tangannya. "Jangan lupa sekolah. Kamu bisa ikut percepatan kayak anak Mak Endah." "Uwaaaaaak." "Kamu katanya mau jadi guru kan?" Kana peluk tubuh Uwak Ita kuat-kuat dan menangis meraung sejadi-jadinya. *** Pagi-pagi sekali Kana sudah berada di kantor penyalur. Dia duduk di dalam ruang tunggu sambil mendekap tas besarnya. Bukannya sedih, justru Kana semakin semangat menuju Jakarta. Kana memang belum pernah ke Jakarta dan dia sudah membayangkan akan mendapatkan pengalaman baru. Kana tersenyum tipis mengingat Ryan, salah satu temannya yang sudah pindah ke Jakarta dan tinggal di rumah pamannya. Ryan sekolah SMA di sana. Tapi Kana tidak tahu di Jakarta bagian mana. Kana tergelak mengingat nasibnya yang jauh berbeda dengan nasib Ryan. Kana ke Jakarta akan bekerja dan bergaji kecil, sementara Ryan bersekolah dan memiliki masa depan yang sangat cerah. Kana lalu ingat pesan Uwak Ita untuk menabung dan sebisa mungkin melanjutkan sekolah. Ada juga hikmah di balik kejadian semalam, dia tidak perlu memberikan gajinya sepenuhnya ke mamanya. Akan Kana pergunakan sebaik-baiknya. "Pagi banget?" tegur salah satu pegawai. "Iya, Mbak," balas Kana sopan. "Semangat nih." Kana mengangguk tersenyum. Melihat senyum manis Kana, pegawai itu ikut tersenyum. "Belum pernah ke Jakarta ya?" "Belum, Mbak." "Oh. Pantas semangat pagi-pagi. Hm ... Mama kamu mana?" Kana menggeleng. "Sibuk kerja. Cuci baju di rumah tetangga," jawabnya pelan. Ada kesedihan saat dia pergi meninggalkan rumah. Kana tidak berpamitan. Pegawai itu mengernyitkan dahinya. "Lha katanya dia mau serahin nomor rekening bank. Supaya pemilik warung transfer gaji kamu ke rekening dia nanti." Kana terdiam. "Apa nggak bisa dirubah caranya?" tanyanya polos. "Maksudnya?" "Hm ... apa bisa gaji aku terima sepenuhnya." "Oh. Bisa aja sih. Itu kan sebelumnya emang kesepakatan antara kamu dan Mama kamu. Kita hanya penyalur dan membantu mempermudah proses saja." Kana menghela lega. Pegawai itu menatap Kana dengan seksama. "Kamu emang anak berbakti ya. Tapi kenapa rencana berubah?" tanyanya ingin tahu. Sebelumnya Asih memang menginginkan gaji Kana dengan alasan khawatir Kana tidak bisa mengatur uang dan akan menghambur-hamburkannya. Kana menggeleng tidak menjawab. "Hm ... nanti gajinya cash kok. Jangan khawatir," ujar pegawai itu. Dia tidak mau bertanya lagi. *** Belum pukul sembilan, Kana sudah berangkat menuju Jakarta dengan mobil truk kecil pagi itu. Dia duduk bersama sepuluh pekerja lainnya di belakang truk. "Kerja di mana, Neng?" tanya ibu-ibu yang duduk di samping Kana. "Di warteg, Bu," jawab Kana sambil mendekap tas ranselnya. "Maksudnya di Jakarta mana?" tanya Ibu itu kagi. "Oh. Jakarta Barat. Hm ... Rawa Buaya." Ibu itu mengamati tubuh besar Kana. "Warteg?" sela seorang pria muda yang juga ikut kerja. Kana mengangguk. Pria itu tertawa sinis mengamatinya. "Kalo pegawainya kayak kamu, warteg bakal kehilangan pelanggan. Eneg liat badan gendut kamu. Bikin selera pelanggan hilang." "Eh. Jaga tuh mulut. Ntar dapat bini gembrot item, baru nyahok," sindir bapak-bapak lainnya yang duduk di depan pria muda. Kana diam saja. Sama saja keduanya, batinnya. "Ibu di Jakarta Selatan. Jagain orang tua sepuh," ujar Ibu yang menanyakan Kana tadi. Dia bersuara sangat pelan. Kana mengangguk tersenyum. *** Sudah dua hari Kana bekerja di sebuah warteg di kawasan Rawa Buaya, Jakarta Barat. Wartegnya lumayan besar dan sibuk karena banyaknya pelanggan, khususnya para pekerja kantoran yang bekerja di seputar warteg. Pekerjaan Kana sangat berat untuk anak seusianya, mencuci alat-alat masak yang berat dan sangat banyak, membersihkan tiga kakus yang berukuran besar dan membersihkan dapur. Kana tidak boleh terlihat duduk-duduk barang sedetikpun. Dia harus berdiri jika pekerjaan sudah selesai. Sebenarnya Kana tidak keberatan dengan pekerjaan tersebut. Yang membuatnya sedih dan kecewa adalah sikap pekerja lainnya yang acuh tak acuh dan tidak menghargai pekerjaannya. Dia dibentak, dikasari, dihina karena badan dan wajahnya. Duduk sebentar, Kana disebut pemalas, padahal dia sudah bekerja banyak, bahkan tidak beristirahat. Makan pagi dan makan siangpun Kana melakukannya dengan secepat mungkin. Untungnya, Kana memiliki fisik yang kuat. Dia tidak sakit, hanya pegal-pegal saat tidur malam. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN