"Kamu kalo sekali senyum ... manis kayak gula," puji Uwak Ita sungguh-sungguh.
"Haha. Uwak bisa aja mujinya."
"Uwak serius. Kamu kan nggak pernah senyum. Mungkin karena nggak ada yang bikin kamu senyum. Padahal kalo kamu senyum begini, pasti ada yang suka."
Kana menggeleng. Uwak Ita berlebihan menurutnya.
"Aku ke kamar mandi dulu ya, Wak?" ujar Kana setelah kamar dirapikan olehnya.
Uwak Ita mengangguk.
Kana ambil handuk besar yang tergantung di sisi luar lemari bajunya dan meletakkannya ke bahunya. Lalu bergegas ke luar dari kamar.
Ternyata ada orang yang sedang mandi di dalam kamar mandi. Kana pun harus menunggu.
Kana duduk di kursi makan sambil minum air hangat.
Kana lega, suara gemericik air sudah tidak terdengar lagi dari kamar mandi, pertanda orang yang ada di dalam kamar mandi akan segera ke luar. Kana tidak perlu menunggu lama.
Tak lama kemudian, Uwak Ita muncul dari kamar. Dia sedikit heran melihat Kana masih saja duduk di kursi makan.
"Masih ada orang, Wak," ujar Kana yang tahu Uwak akan mempertanyakannya.
"Oh. Siapa?"
Kana menggeleng dengan bibir mencebik.
Dan pintu kamar mandi pun dibuka.
Kana terperanjat. Ternyata yang sedang mandi di dalam kamar mandi tadi adalah Raka, suami Yuna.
Raka tampak sehabis keramas. Dia usap-usap rambutnya dengan handuk kecil sembari menatap heran ke arah Kana.
"Kamu siapa?" tanyanya. Tatapannya tajam ke Kana.
Kana terdiam. Dia menoleh ke arah Uwak Ita yang juga setengah terkejut.
"Oh. Ini anak Uwak, Raka," jawab Uwak Ita cepat. Dia usap-usap lengan Kana sambil mengamati Raka yang melangkah menuju ruang depan.
Tampak dahi Raka mengernyit, seolah memikirkan sesuatu.
***
Kana mempertanyakan alasan Uwak menyebutnya sebagai anaknya setelah mandi dan rapi.
"Yang keluarga Raka tau bahwa kakakmu itu adalah anak tunggal. Kamu emang nggak diaku."
Kana hela napas panjang. Jengkel dengan sikap Mama dan kakaknya. Kana juga sebal dengan sikap acuh tak acuh papanya. Mereka sudah keterlaluan.
"Sabar." Uwak Ita tatap sedih wajah pasrah Kana.
"Iya, Uwak. Mau bagaimana lagi. Aku nggak pernah didengar dan diharapkan."
Uwak Ita ikut menyesalkan sikap keluarga Kana.
"Uwak dulu juga pernah kesal sama kamu, Kana. Uwak minta maaf."
"Sudah, Wak. Nggak papa."
"Uwak ngerti Uwak terhasud kata-kata orang-orang yang nggak suka kamu. Kamu yang malas ... yang bikin kesal orang. Padahal Uwak aja nggak ngerti juga kenapa Uwak nggak pernah suka kamu ... kecuali sekarang. Kamu nyatanya baik dan manis, rajin dan pembersih."
Kana tersenyum tipis, senang dengan Uwak Ita yang berubah baik dan tidak ketus lagi di hadapannya. Sebenarnya Kana tidak mengharapkan Uwak Ita berbuah baik. Kana hanya berbuat sewajarnya saja dan tidak ingin orang lain merasa risih di dekatnya.
***
Keesokan paginya, Kana sudah berdandan rapi. Uwak Ita membelikannya baju baru.
"Kamu tuh cantik, Kana. Kalo dandan juga cantik kayak Yuna," puji Uwak Ita sambil memperbaiki kerah baju yang dipakai Kana pagi ini.
"Haha, Uwak Ita lebay deh. Gendut begini, item begini kok dibilang cantik Mana hidungku pesek."
"Jangan rendah diri begitu. Kamu tuh masih muda. Uwak punya adik di Pandeglang waktu SMP jelek dan gendut kayak kamu begini."
Kana tertawa kecil. Tidak masalah bagi Kana Uwak Ita mengejeknya. Baginya kata-kata Uwak Ita adalah kata sayang untuk dirinya.
"Sekarang beeeeh, cantiknyaaa. Sejak kawin sama pengusaha barang bangunan, dia rajin bantu suami sampe jadi kaya. Dia rajin perawatan dan cantik. Tapi tetep gendut. Dia bilang suaminya seneng dia gendut, lebih empuk."
Kana tertawa lagi. Uwak Ita senang bisa membuat Kana tertawa. Selama ini Kana tidak pernah tertawa atau tersenyum. Kana terlihat lebih cantik jika tersenyum dan tertawa.
"Sudah. Gih sana. Mama kamu pasti sudah menunggu di depan."
Kana langsung mencium punggung tangan Uwak Ita.
"Yang rajin kamu kerjanya."
"Iya, Wak."
"Nanti Uwak bantu ngomongin ke Mama kamu untuk menyisihkan uang untuk jajan kamu. Trus kamu tabung saja. Uwak kan ada kiriman tiap bulan dari adik Uwak, nanti Uwak sisihkan untuk jajan kamu."
"Iya, Wak. Makasih banyak."
Uwak Ita terpana melihat Kana ke luar dari kamar. Segala doa dia ucapkan untuk Kana.
***
Wajah Asih berubah masam karena pihak penyalur membatalkan pekerjaan untuk Kana. Mereka beralasan bahwa pemilik warteg tidak mau menerima pekerja di bawah umur seperti Kana. Mereka tidak mau terlibat dalam masalah apapun ke depan nantinya.
"Tapi kalo Ibu mau ... ada lowongan pekerjaan yang sama di tempat lain," ujar pimpinan penyalur ART sambil melirik sinis ke arah Kana yang duduk di sebelah mamanya. Sepertinya dia tidak suka dengan penampakan Kana. Kana yang tahu diri tidak membalas tatapannya.
"Gajinya lumayan besar karena ini adalah warteg dengan banyak cabang. Tapi lokasinya jauh di Jakarta Barat. Kalo ibu mau ya ... mau nggak mau anak ibu ini harus tinggal di sana. Nanti pulangnya pas liburan hari raya, hm ... setahun sekali."
Bukannya sedih, Asih malah mendadak sumringah. Dia pegang tangan Kana seolah ingin Kana menerima pekerjaan itu. Terbayang gaji Kana yang besar dan dia bisa mendapatkannya setiap bulan.
"Kerjanya tetap bersih-bersih dan rapi-rapi, Mbak?" tanya Asih dengan mata berbinar-binar.
"Ya. Sama aja. Tapi nanti kalo disuruh pemiliknya bantu-bantu kerjaan lain ya harus dikerjakan, kayak motong-motong sayur, masak, belanja sayur. Pokoknya nurut aja."
Asih menoleh ke arah Kana yang diam. "Mau kan, Kana?" tanyanya.
Kana mengangguk dengan senyum tipis.
Asih menghela lega.
"Besok pukul sembilan sudah harus ada di sini. Jangan sampai terlambat atau nanti malah ketinggalan berangkatnya."
"Baik, Mbak," ujar Asih semangat sambil merangkul bahu besar Kana.
Kana pulang ke rumah dan masuk ke kamar Uwak Ita dengan wajah murung. Dia membayangkan hidup sendirian jauh di Jakarta. Lebih baik tetap tinggal bersama Uwak Ita dan mamanya, walaupun dia mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Daripada tinggal di tempat yang jauh dan kembali pulang setahun setelahnya.
Tapi mengingat wajah mamanya yang penuh harap, Kana tidak bisa menolak dan tidak bisa berbuat apa-apa selain menerimanya.
Ah. Kana merasa benar-benar terbuang. Tapi dia tetap tidak membenci mamanya dan terus berusaha membuang perasaan itu. Apalagi mamanya terus membujuknya dan mengatakan bahwa dia membutuhkan uang untuk keperluan hidupnya sehari-hari.
Uwak Ita sangat sedih dengan kabar ini. Dia menangisi nasib Kana. Uwak Ita juga tidak kuasa menahan keinginan Asih untuk mempekerjakan Kana.
"Lebih baik begitu, Wak. Aku jadi nggak punya beban untuk mengurusnya. Apalagi mikirin jodoh buat dia. Masa aku nanti sampai tua tinggal sama dia terus-terusan. Setiap hari harus melihat dia lagi dia lagi."
Bersambung