"Dia sudah menurunkan bawahanku, Ryan. Sadar bahwa tubuhku lebih besar darinya, aku tidak mau tubuhku dinodai ... aku rebut pisau darinya. Aku lukai lengannya seberani mungkin dan tidak peduli dengan fitnah yang akan tertuju kepadaku malam itu."
Kana hela napas lega setelah menceritakan yang sebenarnya terjadi.
"Mama memang tidak menyukaiku, Ryan. Aku tidak tau lagi bagaimana cara meluluhkan hatinya agar bisa menerimaku. Sejak kecil atau mungkin sejak lahir aku tidak dia sukai. Aku nggak ngerti," ungkap Kana.
"Terserah kamu percaya aku atau nggak," lirihnya kemudian.
Kana sudahi ceritanya. Dia tidak kuat mengingat peristiwa yang melukai hatinya. Terutama saat mengingat kata-kata pedih mamanya bahwa mamanya menyesal telah melahirkan dan membesarkannya.
Mata Ryan ikut berkaca-kaca mendengar pengakuan Kana. Dia kembali mengingat cerita Celine yang terus menganggap Kana adalah pahlawannya. Celine sering mengulang kisahnya yang diselamatkan Kana dari orang-orang yang hendak melecehkannya.
"Kamu tau, Yang. Muka Kana tuh mengerikan waktu nendang orang itu. Dia tendang sela paha orang yang sudah pegang-pegang paha aku kuat-kuat. Kebayang sakitnya, sampe orang itu tereak dan menyumpah. Mukanya merah padam menahan sakit dan Kana nggak peduli dan malah ingin menendangnya lagi, tapi orang itu mengangkat tangan menyerah. Aku yakin Kana pasti sangat kalap kalo orang itu melawan. Kamu liat aja Kana badannya subur begitu."
Ryan amati wajah Kana. Dia yakin Kana mengatakan yang sebenarnya dan mempercayainya. Kana mungkin mengingat kisahnya yang pernah hampir dilecehkan sehingga dia berani melawan orang-orang yang mengganggu Celine waktu itu.
"Maafkan aku, Kana. Aku dulu sering menghinamu," ucap Ryan pelan. Tenggorokannya terasa tercekat mengingat sikapnya dulu yang senang melihat Kana tertindas dan terhina.
Kana mendengus tersenyum.
"Tak perlu meminta maaf. Aku bahkan tidak mengingatnya sama sekali," ujarnya disertai senyum hangatnya.
Ryan jabat tangan Kana seerat mungkin. Kana benar-benar berhati baik.
"Hm ... aku tidak memberi titipan uang ke mamamu," ucapnya tiba-tiba.
Kana mendelik heran.
"Karena aku yakin Mama kamu nggak akan mau menerimanya. Dia memang tidak mengharapkanmu dan terus menyalahkanmu. Dia pasti tidak ingin kamu besar kepala seandainya dia menerima pemberian dari kamu."
Kana menelan ludahnya kelu.
"Aku kembalikan atau--"
Kana pukul bahu Ryan.
***
Sudah hampir tiga tahun Kana mengajar dan membimbing keponakan Celine yang bernama Diva. Bu Kintan luar biasa senang dengan cara mengajar Kana terhadap putri satu-satunya tersebut. Diva semakin rajin belajar dan nilai di sekolahnya pun meningkat tajam.
Namun ada kabar yang sedikit menyedihkan baik bagi Bu Kintan, Diva dan juga Kana. Bu Kintan akan pindah ke Kanada mengikuti suaminya yang pindah kerja di sebuah perusahaan IT. Suami Bu Kintan baru saja mendapatkan izin tinggal yang cukup lama di sana. Gaji yang didapatkan sangat besar dan Bu Kintan tidak perlu lagi bekerja dan bisa fokus mengurus suami dan anaknya.
Dan hari ini adalah hari terakhir Kana mengajar Diva. Diva tampak sangat sedih dan tidak semangat belajar. Dia bersikap sangat manja seolah tidak mau berpisah dari Kana. Dia peluk Kana kuat-kuat.
"Saya punya teman. Dia butuh babysitter sekaligus yang bisa mengajar. Anaknya empat, yang pertama berusia empat belas tahun, yang kedua enam tahun, yang ketiga lima tahun, dan yang terakhir satu tahun tiga bulan. Anak pertama, kedua dan ketiga adalah perempuan dan yang terakhir laki-laki."
Kana menelan ludahnya saat mendengar ada empat anak yang harus dia urus.
"Yah, meskipun kamu sebenarnya bukan babysitter. Tapi apa yang kamu lakukan terhadap Diva selama ini saya pikir sangat cocok untuk posisi ini. Hm ... teman saya ini sama sibuknya seperti saya. Dia memiliki bisnis pakaian dan kecantikan. Suaminya bekerja di Jerman dan pulang ke Jakarta dua atau tiga bulan sekali. Sama seperti suami saya bekerja di bidang IT juga."
Kana melirik ke arah Diva sekilas. Empat anak?
"Gaji yang akan kamu terima cukup besar. Dua puluh lima juta satu bulan bersih. Dia juga menyediakan bonus dan asuransi serta tunjangan lainnya. Dan kamu harus menginap di rumahnya. Teman saya ini hanya membutuhkan satu orang saja yang serba bisa untuk menjaga sekaligus mendidik anak-anaknya."
Napas Kana tertahan membayangkan harus pindah kos.
"Ya. Nggak salah kamu coba mendaftarkan diri. Ada banyak yang mendaftar. Kalo kamu tertarik, saya bisa ajukan nama kamu. Meskipun kamu belum selesai kuliah, rekomendasi dari saya bisa jadi dipertimbangkan Caroline, teman saya."
"Lokasinya, Bu?" tanya Kana.
Bu Kintan tertawa kecil.
"Kamu sering ajak Diva jalan-jalan ke luar kan? Diva sering ajak kamu melihat-lihat rumah besar seperti rumah barbie di dekat gerbang perumahan?"
Kana mengangguk. Dia juga sering mengamati sebuah rumah indah dan sangat megah yang dimaksud Bu Kintan. Diva memang selalu menunjuk-nunjuk rumah itu dan tertawa ceria. Diva sangat menyukai rumah itu dan kerap mengatakan bahwa itu adalah rumah impiannya.
"Itu rumahnya."
***
Kana memberanikan mendaftarkan dirinya menjadi babysitter yang ditawarkan Bu Kintan, meskipun salah satu syaratnya adalah sudah memegang ijazah diploma atau sarjana serta bisa berbahasa Inggris. Berkat bantuan Bu Kintan, data diri Kana tetap diterima Caroline dan Kana juga dipanggil seperti pelamar-pelamar lainnya. Yang melamar ternyata cukup banyak, hampir ratusan, itu pun kalangan tertutup. Syukurnya Kana termasuk dari sepuluh orang yang dipanggil untuk datang ke rumah Caroline.
"Ini Clay, kelas delapan. Ini Jillian dan ini Jordan. Jillian kelas dua dan Jordan kelas satu. Dan yang terlucu ini adalah Jake, usianya baru satu tahun lebih." Seorang perempuan yang sangat cantik dan langsing serta wangi, yang berusia sekitar empat puluhan, memperkenalkan anak-anak yang akan diasuh kepada Kana. Dia Caroline, teman sekaligus tetangga Bu Kintan.
Kana senang melihat anak-anak Caroline yang sehat-sehat dan cerdas. Hanya Clay yang tampak ketus dan tidak peduli. Gadis empat belas tahun itu asyik bermain komputer dan hanya sekilas melirik ke arah Kana.
Tampak dua anak perempuan yang bernama Jillian dan Jordan tertawa menyeringai saat melihat penampakan Kana. Mata mereka bergerak-gerak mengamati sekujur tubuh besar tinggi Kana.
"Gendut," bisik mereka berdua, lalu tertawa. Kana mendengarnya, tapi dia malah melempar senyum ke arah keduanya.
"Raaaar," ejek salah satu di antara mereka seolah-olah meniru hewan berbadan besar.
Dan Caroline tidak mempedulikan tingkah anak-anaknya yang pasti menyinggung perasaan Kana.
Caroline menutup pintu kamar bermain anak-anaknya.
Masih terdengar cekikikan dua anak perempuan itu saat pintu ruangan tertutup rapat.
"Tugas kamu mengawasi mereka dari mereka bangun hingga tidur lagi di malam harinya. Akademik mereka adalah tanggung jawab kamu. Kamu harus bisa mengajar mereka dengan baik dan usahakan nilai-nilai di kelas mereka selalu di atas rata-rata. Yah, kurang lebih sama dengan apa yang kamu kerjakan di rumah Kintan. Bedanya kamu tidak menginap di sana, di sini kamu harus menginap."
Kana angguk-anggukkan kepalanya saat mendengar penjelasan Caroline tentang tanggung jawabnya sebagai babysitter anak-anak yang sudah diperkenalkan.
Caroline sekilas mengamati sekujur tubuh Kana.
"Hm ... untuk saat ini itu saja. Jika dalam waktu dua minggu kamu tidak dipanggil, berarti posisi ini sudah diisi oleh orang lain," lanjut Caroline.
"Baik, Bu. Saya mengerti," ucap Kana sopan.
Bersambung