Bisa, Bu.

1122 Kata
Kana tidak yakin dirinya diterima sebagai babysitter professional di rumah besar itu. Saingannya berat-berat dan semuanya sudah memegang ijazah tinggi bahkan ada lulusan dari luar negeri dan memiliki pengalaman yang cukup lama mengasuh di luar negeri. Mereka bahkan sudah memiliki jadwal tetap untuk anak-anak pintar itu. Kana mendengar kabar dari salah satu peserta bahwa gaji yang mereka terima berbentuk dolar, yang jumlahnya tentu sangat tinggi jika dirupiahkan. Standar yang diinginkan keluarga Caroline adalah standar internasional. Tidak masalah bagi Kana jika dia tidak diterima, dia bisa fokus dengan kuliahnya dan mencari tempat lain untuk mengajar. Kana pun sadar bahwa dia memiliki tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa yang harus menyelesaikan kuliahnya dengan baik dan tepat waktu. Dengan memegang ijazah, Kana bisa melamar pekerjaan tetap lagi menjanjikan untuk meningkatkan karirnya di masa depan. Kana tidak kecewa saat sudah lewat dua minggu dan dirinya tidak dihubungi Caroline. Kana memakluminya karena persaingan yang cukup ketat. Kana tetap menjadi guru privat bagi anak-anak yang tinggal di seputar kosnya dengan tarif yang tentu tidak semahal saat mengajar Diva. Kana tidak kecewa dengan gaji kecilnya, toh, dia masih memiliki tabungan yang cukup besar. Lagi pula, Kana senang mengajar karena dengan mengajar dia mendapati jati dirinya yang sebenarnya. Apalagi melihat anak-anak didiknya senang belajar dengannya dan semakin pintar, Kana tidak peduli lagi dengan uang. "Mungkin ada sesuatu yang membuat Mama kamu benci kamu. Ada sesuatu yang bikin dia sangat kecewa dan sulit melupakannya saat melihat kamu," ujar Fina. Kana mencurahkan isi hatinya mengenai sikap mamanya yang selama ini tidak pernah menunjukkan kasih sayang dan selalu memasang wajah masam di hadapannya. Apa yang dia lakukan selalu salah di mata mamanya. Kana membahas ini karena dua hari yang lalu dia baru saja dinyatakan lulus ujian laporan akhir. Kana bisa mengikuti wisuda yang akan berlangsung tiga bulan mendatang. Dia ingin sekali mamanya ikut menghadiri wisudanya. Seperti yang pernah dia saksikan saat para orang tua mengantar anak-anaknya wisuda dan dengan sangat bangga mendampingi mereka. Tapi apa boleh buat, sepertinya mamanya memang tidak mempedulikannya, meski dia sukses sekalipun. "Aku nggak tau dan nggak pernah mengerti." "Hm ... kalo boleh tau kapan Mama dan Papa kamu bercerai?" tanya Fina. "Aku masih kecil. Nggak mengerti permasalahan mereka," jawab Kana sendu. Fina hela napas panjang. Dia iba melihat Kana dan simpati dengan apa yang dialaminya. Tidak mudah menjadi Kana yang hidupnya diterpa kebencian dari orang yang telah melahirkannya. "Kasihan kamu, Kana. Ibu dan Ayah nggak peduli kamu." "Iya. Keduanya hanya peduli kakakku. Dulu aku sempat iri sama kakakku. Tapi karena sudah terbiasa, lambat laun aku pun tidak lagi iri dengan keberuntungan kakakku. Aku malah senang kalo kakakku senang dan mendapat pujian dari orang-orang. Aku malah bangga." Fina amati wajah Kana yang menunjukkan kesedihan mendalam. "Aku sepertinya yakin bahwa kebencian Mama kamu ada kaitannya dengan perceraiannya. Hm ... kamu cerita kalo Mama kamu mengusir kamu karena kamu dituduh menggoda suami kakakmu." Kana lirik Fina sesaat, lalu mengangguk. Dia sebenarnya tidak suka Fina menyinggung kejadian itu dan menghubungkannya dengan apa yang dibahas mengenai sikap mamanya sekarang. Tapi... "Apa mungkin Ayah kamu berselingkuh saat kamu kecil ... dia korban pelakor. Lalu kebencian Mama kamu menjadi-jadi saat kamu difitnah menggoda suami orang. Sehingga dia usir kamu dan nggak mau lihat kamu lagi. Karena itu sangat menyakitkan dan mengingatkannya akan perceraiannya." Napas Kana tertahan mendengar analisa Fina. Ingatannya berlari mundur ke beberapa tahun lalu saat tinggal bersama mamanya. "Tapi yang aku dengar dari kerabat mamaku bahwa alasan perceraian keduaorangtuaku karena papaku yang kerap main judi dan menghambur-hamburkan uang. Bahkan warisan kakekku untuk Ayah habis tak bersisa," ungkap Kana. Fina manggut-manggut. "Mama kamu nggak menikah lagi setelah bercerai," gumamnya masih mencoba mencari alasan kenapa Mama Kana membenci Kana. "Ya. Mama sibuk kerja dan membiayai hidup sehari-hari." Fina mengamati penampakan Kana yang semakin sehat dan cantik, meski bertubuh gendut. "Kamu coba datang saja ke Mama kamu dan tunjukkan bahwa kamu sekarang lebih terawat." Kana tertawa dengan kepala mendongak. Ada-ada saja si Fina. "Ya kan kata kamu dulu Mama kamu suka menghina kamu jelek dan itu juga alasan kenapa dia benci kamu. Malu punya anak jelek. Sekarang kamu nggak jelek lagi karena sudah mengerti dandan. Hm ... bisa saja dia berubah," usar Fina. Kana mendengus. Dia tidak yakin mamanya akan menerima kehadirannya. "Ya sudah, Kana. Yang penting kamu sudah selesai kuliah dan tinggal menunggu wisuda tiga bulan lagi. Aku nanti yang dampingi kamu. Kan ada Celine dan Ryan juga," ujar Fina akhirnya. Dia tidak ingin Kana terus-terusan memikirkan bahwa dia akan sendiri saat wisuda. "Oiya. Bukannya Bu Wita sudah kamu hubungi?" "Ya. Tapi dia punya jadwal ke Bangkok tiga bulan lagi dan belum dipastikan harinya. Kalo jadwalnya bentrok dengan hari wisudaku, dia dipastikan nggak bisa ikut hadir." Fina tepuk-tepuk pundak Kana. Kana sungguh sabar. Tiba-tiba ponsel Kana berdering. Dahi Kana mengernyit ketika melihat siapa yang menghubunginya. "Bu Caroline?" gumamnya. Fina ikut terperangah. Dia cepat menyuruh Kana menerima panggilan itu dengan ekspresi wajahnya. "Halo, Bu Caroline," "Ranjani. Apa kamu sedang bekerja di tempat lain?" "Oh. Iya, Bu. Saya mengajar di beberapa tempat sebagai guru private." Fina mendelik heran dengan jawaban Kana. "Oh. Hm ... apa kamu masih tertarik bekerja di rumah saya?" Kana terperangah. "Iya, Bu. Saya sangat tertarik," jawab Kana cepat. Fina kembali menunjukkan semangatnya. Dia sangat senang jika Kana mendapat pekerjaan yang bergaji besar. "Bisa kamu datang ke rumah saya sore ini?" "I ... iya, Bu. Bisa." *** Kana berdandan sangat rapi sore itu. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan bekerja di rumah Caroline, karena gaji yang akan diterima sangat besar dan dia bisa memanfaatkan gaji itu dengan sebaik-baiknya. Terbayang puluhan juta akan dia terima di setiap bulan. Kana tidak menampik bahwa dia sangat senang digaji besar. Fina sangat mendukungnya dan akan mengikhlaskan kepindahan Kana seandainya Kana memilih bekerja di sana. Yang melegakan Kana, kesempatan ini justru datang saat dia sudah melewati ujian akhir dan hanya menunggu wisuda. Kana yakin bisa bekerja lebih baik dan lebih fokus tentunya. "Sudah satu minggu anak-anak saya tidak belajar dan jadwal mereka jadi berantakan. Saya harap kamu bisa bekerja dengan baik. Mulai besok kamu pindahkan barang-barang kamu ke sini dan menginap di kamar ini," ujar Caroline tanpa basa basi. Dia tidak menjelaskan lebih jauh alasan kenapa dia menghubungi Kana dan menyuruhnya bekerja di rumahnya. Sepertinya Caroline sosok tegas dan langsung ke inti permasalahan dan tidak mau orang-orang bertanya-tanya. Kana mengangguk patuh. Dia amati sekilas kamar mewahnya. Sebuah kamar bercat krim terang dengan perabotan mahal dan indah serta tertata rapi. Kasurnya pun besar dan terlihat sangat empuk. Ada televisi berukuran besar dan kulkas besar serta dilengkapi mesin pendingin. "Baik, Bu. Saya akan bekerja dengan baik," ucap Kana. Dia memutuskan untuk tidak bertanya apapun. Baginya sikap dan kata-kata yang ke luar dari mulut Caroline sejak menyambutnya di depan menunjukkan bahwa Caroline menginginkannya bekerja tanpa banyak tanya. "Bagus," decak Caroline dengan senyum tegasnya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN