Suasana apartemen Elina tampak gelap gulita saat Atha sampai di sana sekitar jam delapan malam. Terjebak macet membuatnya tidak hanya datang telat, tapi juga semakin khawatir dengan keadaan El. Sekarang dia tahu kenapa telpon dan chatnya terabaikan, karena si empunya ponsel yang membuatnya kelicatan tidak tenang sepanjang perjalanan tadi ternyata masih tertidur lelap.
Setelah meletakkan makanan yang dibawanya, Atha beranjak ke arah kamar yang tampak remang. Beruntung El masih sudi mempercayainya hingga bisa punya akses bebas keluar masuk tempat ini. Dan di sana, di atas tempat tidur dimana mereka pernah melewatkan malam panas bersama, wanita kesayangannya itu tampak benar-benar tertidur pulas.
Kesayangan? Atha justru tersenyum sendiri seperti orang tidak waras. Dia juga tidak tahu sejak kapan mulai tersandung perasaan suka ke Elina. Mungkin berawal dari tragedi memalukan saat dia dikejar anjing di rumah bosnya, lalu berakhir menabrak El dan mencium bibirnya hingga terluka. Tadinya dia merasa belum bisa move on dari Rena, tapi nyatanya Atha merasa biasa saja saat menghadiri pernikahan mantan terindahnya itu sebulan lalu.
Perlahan dia naik ke tempat tidur, dan menyusul berbaring dengan memeluk El dari belakang. Selalu ada rasa nyaman setiap kali bersama El, apalagi memeluknya seperti ini. Merasakan hangat tubuhnya dan wangi yang tidak akan pernah sama dengan wanita manapun.
“El, bangun Yang!” panggilnya pelan sambil merapikan rambut panjang Elina. Untuk kali pertama dia menyematkan panggilan sayang untuknya, sekretaris sekaligus wanita yang entah sejak kapan telah menoreh warna indah di hatinya.
“El …”
Atha mencium pipi Elina gemas. Mungkin saking pusing dan capeknya dia sampai tidur sepulas ini, bahkan masih dengan mengenakan pakaian kerjanya.
“Yaaaang ….”
“Hm …” gumam El lirih dengan mata tetap terpejam rapat.
“Bangun! Sudah jam delapan. Makan dan mandi dulu, nanti lanjut lagi tidurnya.” bujuk Atha mengeratkan pelukannya.
Bukannya bangun, El justru kembali hanyut ke alam mimpinya. Hening, dalam remang kamar ingatan Atha seperti terlempar kembali ketika dia berbagi kehangatan dengan wanita cantik di pelukannya ini. Tanpa sadar tangannya menyelusup ke balik baju Elina dan mengusap perutnya lembut. Dia berharap ada anaknya di dalam sana, dengan begitu mereka bisa terus bersama. Meski Atha juga tahu, untuk mendapatkan kepercayaan dan hati wanita yang masih terluka ini tidak akan segampang itu.
“Bangun El! Makan dulu, nanti anakku di dalam sana kelaparan.”
El menggeliat saat wajah Atha terbenam ke ceruk lehernya, mengendus dan mencium kulit lembut dengan wangi yang membuatnya seperti kecanduan.
“Tha …”
“Hm
“Jangan usil!” protesnya dengan suara serak menahan kantuknya.
“Bangun Yang, makan dulu!”
Mendengar panggilan sayang dari bosnya membuat El tertawa geli. Dia berbalik, dan Atha tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mencium bibirnya.
“Masih pusing?” tanya Atha merapikan rambut El.
“Sedikit, jam berapa sekarang?”
“Delapan, kamu mau mandi atau makan dulu?”
“Mandi dulu,” jawab El sambil perlahan bangun dan beranjak dari ranjangnya.
Atha pun keluar dari kamar. Duduk di sofa ruang tamu, dan mulai memeriksa notif masuk di ponselnya. Dia mendecak pelan mendapati beberapa pesan nakal yang sengaja memancingnya keluar. Kalau dulu sudah pasti dia akan dengan senang hati membalasnya. Datang bertemu menikmati geliat liar suasana klub atau bar ditemani wanita cantik, lalu berlanjut menghabiskan malam panas di ranjang.
Itu ibarat permainan menyenangkan yang biasa dia jelajahi selama ini untuk sekedar pelarian dari hidupnya yang menjenuhkan, saat rumah bukan lagi tempat yang nyaman untuk pulang. Namun, semua perlahan mulai berubah setelah dia menjadi bagian dari teman-temannya yang sekarang. Terlebih saat rasa manis dari bibir Elina mulai meracuni otak dan pikirannya.
“Kalau lapar kenapa tidak makan dulu?”
Atha buru-buru menghapus semua chat sesat di ponselnya, lalu memblokir nomornya. Elina datang dengan wajah yang terlihat lebih segar, meski tetap saja sedikit pucat.
“Tunggu kamu,” sahutnya bergegas bangun menyusul ke meja makan.
“Tumben mau makan ramen. Biasanya kalau mampir sana, kamu malah pesan yang lain.” ujar Atha heran melihat Elina tidak sabaran ingin mencicipi mienya.
“Kayaknya enak,” jawab El mengambil sumpit dan mulai menikmati mienya.
Namun, Atha bahkan belum sempat menelan mie di mulutnya ketika melihat Elina meletakkan lagi sumpitnya.
“Kenapa?”
“Sudah agak dingin, jadinya nggak enak. Aku maunya yang makan langsung di sana,” jawabnya pelan, mungkin takut Atha marah. Tapi tanggapan bosnya itu justru di luar dugaan.
“Maaf, tadi terjebak macet hampir satu jam.”
Elina diam. Dia bukannya ngelunjak, tapi tidak tahu kenapa mie yang sudah setengah dingin itu tidak tertelan lagi olehnya.
“Ya sudah, ayo!” ajak Atha menyudahi makannya.
“Beneran?” tanya Elina senang.
“Iya, ayo! Nanti sekalian mampir ke tempat Sifa ambil obat buat kamu.”
Atha memundurkan kursinya, lalu berdiri mengulurkan tangannya mengajak Elina berangkat. Tidak apa, anggap saja dia sedang menyenangkan hati wanitanya.
Senyum Elina merekah lebar. Setelah mengambil jaket dan ponsel, mereka benar-benar berangkat menuju restoran ramen yang memang biasa Atha kunjungi. Hujan tampak mengguyur deras dari langit hitam ibukota. Alunan lagu yang disetel pelan menjadi teman mereka di antara laju kendaraan yang padat merayap.
“Besok kalau masih pusing kamu libur saja dulu, tidak usah dipaksa harus masuk kerja. Shinta sekarang juga sudah lumayan bisa menghandle pekerjaan kalian.”
“Nggak, aku sudah baikan kok.” sahut El.
“Jangan ngeyel, mukamu saja masih pucat!” tegur Atha menoleh menatap Elina yang sedang menunduk mengotak-atik ponselnya.
“Tiduran terus malah capek,” bantahannya mendongak membalas tatapan bosnya.
“Dasar keras kepala!” ucap Atha menoel ujung mancung hidung Elina, lalu kembali menatap jalanan di depan sana yang mulai tampak lancar.
“El …”
“Hm …”
“Aku serius dengan ucapanku di telepon tadi sore.”
“Ucapan apa? Yang mana?” tanya Elina mengernyit bingung.
“Yang mengajak kamu periksa ke dokter. Akhir-akhir ini kamu sering pusing dan pucat, mungkin saja itu karena kamu hamil.”
Elina langsung mendengus mendengar Atha menyinggung soal itu lagi. Testpack yang dari Sasha saja dia belum cukup punya keberanian untuk mencobanya, sekarang Atha malah mulai mendesaknya periksa ke dokternya langsung.
“Jangan mulai ngajak ribut lagi!” tegasnya.
“Menghindar tidak akan menyelesaikan masalah, El. Mustahil kamu tidak peka dengan keadaanmu yang sekarang,” ucap Atha menohok.
Lalu keduanya sama-sama bungkam, menyisakan alunan lagu trouble is friend yang sepertinya sedang mengejek mereka. Semakin didengar, semakin membuat El jengkel karena merasa tersindir. Saking kesalnya dia lalu mematikan musik di mobil, tapi sedetik kemudian keduanya justru tertawa terkekeh.
Ponsel Atha berdering, namun nama yang muncul di sana membuat pria itu memilih mengabaikannya. Sejak papanya menjatuhkan talak ke mamanya di hadapan banyak orang saat jamuan makan waktu itu, Atha sama sekali tidak pernah bicara lagi dengannya. Chat masih dia baca, tapi telpon dari papanya tidak sudi dia mengangkat.
“Nggak diangkat? Mungkin ada hal penting sampai menelpon berulang kali,” ucap Elina setelah panggilan ketiga dari papanya tidak juga Atha angkat.
“Anak dan istri mudanya adalah hal terpenting baginya sekarang. Jadi biarkan saja dia menikmati bahagianya di luar sana! Mama hidup semaunya dan aku juga tidak ingin peduli dengan pilihan mereka. Begitu jauh lebih baik," sahut Atha.
“Biar bagaimanapun mereka tetap orang tuamu. Setidaknya kamu masih beruntung punya mereka,” gumam El.
“Beruntung?” Atha tersenyum menggeleng dengan muka getirnya.
“Masa kecil yang kamu lalui di panti, bahkan mungkin jauh lebih membahagiakan daripada aku yang harus terkurung di rumah megah tapi dingin tanpa rasa.” ujarnya.
Mobil mereka berhenti di lampu merah, jarak ke restoran sudah tidak jauh lagi. Ponsel Atha kembali bergetar, tadinya dia ingin mengabaikan juga chat yang masuk itu. Namun, chat-chat yang lain terus berhamburan masuk. Mau tidak mau Atha membukanya, masih dari papanya.
“Sial!”
Elina hanya menoleh setelah mendengar Atha mengumpat marah, lalu melempar ponselnya hingga jatuh ke bawah. Entah hal apa yang membuatnya emosi seperti itu, Elina juga tidak berani bertanya.
“El, makan ramennya nanti dulu ya? Mamaku bikin gaduh di parkiran mall gara-gara bertemu papa dan istri mudanya. Aku kesana sebentar untuk membujuk mama supaya mau pergi.”
Sedikit terkejut, tapi Elina langsung mengangguk setuju. Itu jauh penting untuk bosnya selesaikan sekarang daripada menuruti kemauannya makan ramen.
“Ok, tidak masalah. Makan ramen bisa lain kali kok.”
“Sorry,” ucap Atha masih mencoba tersenyum sambil mengusap kepala Elina.
Atha mengemudikan mobilnya melintas begitu saja melewati restoran ramen yang seharusnya jadi tujuan mereka. Sesekali Elina melirik bosnya yang mendadak diam dengan raut kaku menahan amarah. Di usia orang tuanya yang harusnya bisa menikmati hidup tenang bersama keluarga, rumah tangga Indra Nayaka dan istrinya justru hancur berantakan dihantam perselingkuhan. Seberapa keras Atha berusaha tidak peduli, tetap saja dia tidak bisa berdiam diri membiarkan orang tuanya bertikai dan saling menyakiti seperti ini.
Ketika mobil mereka sudah mulai masuk ke area parkir mall, mata Atha menjelajah mencari keberadaan orang tuanya. Tidak butuh lama, hingga kemudian dia menghentikan mobilnya tak jauh dari kerumunan orang yang sedang menonton keributan disana. Tangannya tampak mencengkram kuat roda kemudi. Tatapannya berkilat marah melihat kedua orang tuanya yang sama sekali tidak malu jadi bahan tontonan.
“Kamu tunggu disini saja, tidak usah turun! Kecuali kamu tidak keberatan ikut menanggung malu!”
Tanpa menunggu jawaban Elina, Atha pun turun dari mobilnya. Mimpi pun tidak pernah terlintas di benaknya, orang tuanya yang biasa menjaga image di luar justru berbuat memalukan dengan mempertontonkan drama rumah tangganya di depan umum begini.
Di sana mamanya tampak menghalangi mobil papanya yang diparkir. Wanita muda yang menjadi penyebab retaknya rumah tangga orang tuanya itu tampak berdiri di belakang punggung papanya dengan rambut dan pakaian yang awut-awutan. Tanpa bertanya pun Atha bisa menebak, pasti sebelum dia datang mereka sudah berkelahi lebih dulu.
“Datang juga akhirnya kamu. Apa susahnya mengangkat telpon Papa, Tha! Bawa mamamu pergi dari sini! Sudah cukup dia berkelakuan memalukan seperti ini!” ucap Indra Nayaka geram begitu melihat anaknya datang.
“Siapa yang kamu bilang memalukan, ha?! Kamu yang sudah selingkuh dengan perempuan murahan itu. Selama aku masih hidup, jangan harap kalian bisa hidup tenang! Camkan itu!"
Atha menarik tangan mamanya yang hendak menghambur melampiaskan emosinya. Ayu Nayaka yang sedang di puncak emosinya meronta berusaha lepas dari cekalan anaknya, tapi Atha semakin menyeretnya menjauh. Sampai kemudian tangan Ayu Nayaka yang satunya lagi melayang menampar keras wajah anaknya. Elina yang menyusul turun sampai terjengkit kaget.
“Anak sialan! Kamu juga sama tidak bergunanya dengan papamu! Aku yang melahirkan, merawat dan mendidik kamu, tapi kamu malah diam saja membiarkan mereka memperlakukan Mama seperti ini. Dasar tidak berguna!” teriaknya marah, tepat di depan wajah Atha yang berdiri membeku dengan pipi berdenyut dan nafas tersengal menahan marah.
“Pulang Ma! Buat apa masih berurusan dengan pria yang sudah membuang Mama? Mama tidak malu jadi tontonan orang seperti ini?” ucap Atha masih berusaha tidak tersulut oleh kelakuan kasar dan makian tak pantas mamanya.
“Mereka yang pasangan selingkuh, aku adalah korban. Kenapa aku harus malu?!” serunya menghempas cekalan anaknya, lalu kembali menghampiri suami dan istri mudanya yang hendak masuk ke mobil.
Suara orang-orang di sana semakin riuh saat Ayu Nayaka tiba-tiba kembali dan menjambak rambut wanita selingkuhan suaminya. Atha mengusap wajahnya kasar, lalu bergegas menghampiri mereka hendak melerai. Namun, belum juga dia sampai papanya lebih dulu menepis kasar tangan mamanya hingga terhuyung, lalu menamparnya keras.
“Wanita sialan! Semua juga karena kelakuanmu yang selalu kasar dan tidak bisa menghargai suami. Sudah cukup aku bersabar. Kalau bukan dia yang melarangku, sudah sejak dulu aku menceraikan kamu. Paham!” teriak pria itu sambil menuding istrinya yang sudah dia talak itu.
Seburuk apapun perangai mamanya, tetap saja Atha marah dan tidak terima papanya sampai main tangan memukulnya. Apalagi jelas-jelas dia lah yang salah sudah selingkuh dan diam-diam menikah siri sampai punya dua anak.
“Jangan semakin membuat aku membencimu dengan kelakuan brengsekmu, Pa. Apapun alasannya, Papa salah karena sudah tidak setia. Sekali lagi berani main tangan ke mama, aku tidak akan tinggal diam!” ucap Atha yang berdiri dengan kepala tegak memberi peringatan ke papanya.
“Kalau begitu awasi ibumu! Jangan biarkan dia seperti orang gila yang asal mengamuk dan bikin malu. Aku sudah menalaknya, dia bukan siapa-siapaku lagi!”
Atha tertawa sinis menatap papanya dengan sorot mata terluka. Mati-matian dia menghindar tidak ingin ambil pusing dengan kelakuan kedua orang tuanya yang sama-sama egois, sekarang justru mereka saling berteriak dan menguliti aib satu sama lain dengan ditonton orang banyak. Yang lebih membuatnya malu, karena ada Elina yang berdiri tertegun menatapnya cemas.
“Wanita yang Papa bilang bukan siapa-siapa ini, adalah orang yang menemani Papa dari nol hingga sekarang bisa punya segalanya. Wanita yang dulu juga sudah mengandung dan mempertaruhkan nyawa demi memberi Papa keturunan. Dasar b******k!” geram Atha, lalu menyambar tabung kebakaran yang tergantung di tiang beton dan menghantamkan ke kaca mobil ayahnya.
“Athaya! Apa-apaan kamu!”
Atha tidak peduli lagi teriakan marah papanya. Dia menarik tangan mamanya dan menghampiri sopir yang sudah berdiri menunggu dengan wajah panik.
“Lepas, Tha! Mama tidak akan pergi sebelum membuat gundik murahan itu babak belur!” teriak Ayu Nayaka masih saja ngoyot dan meronta.
“Cukup Ma! Tolong, jangan lagi berulah dan membuatku malu!”
Namun, mana mungkin segampang itu menyadarkan seorang Ayu Nayaka yang dasarnya memang temperamental dan egois. Apalagi saat matanya mendapati dosok Elina yang berdiri tak jauh dari mobil anaknya. Emosinya kembali meluap. Dia seperti menemukan orang yang tepat untuk dijadikan pelampiasan amarahnya.