Bab.1 Gugatan Cerai
“Awas!”
Atha menarik pinggang Elina hingga berkas yang dibawanya jatuh berhamburan di lantai. Saking fokusnya meneliti data yang tertera di lembar hasil meeting bosnya barusan, Elina sampai tidak sadar hampir menabrak pelayan restoran.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Atha.
Canggung, Elina tampak salah tingkah mendapati dirinya yang malah terjebak di pelukan bosnya. Apalagi ada banyak mata para pengunjung yang tertuju ke mereka.
“Tidak,” jawabnya menggeleng.
Buru-buru dia membereskan kertas pentingnya yang berserakan, setelah sebelumnya minta maaf ke pelayan yang baru saja hampir ditabraknya.
“Kebiasaan kamu, El! Sudah berapa kali aku bilang, jangan jalan sambil baca berkas!” tegur Atha.
“Ini kan nanti sore harus sudah selesai laporannya, Pak. Masih ada beberapa berkas lain juga belum sempat saya kerjakan tadi. Kalau nanti harus lembur bisa-bisa kita telat ke acaranya Rena,” sahut El menyambut uluran tangan bosnya yang membantunya berdiri.
“Datang agak telat juga tidak apa-apa. Toh, pesta lajangnya juga dimulainya malam.” ucap Athaya kembali melangkah menuju pintu dengan diikuti sekretarisnya.
Baru beberapa langkah seorang pengunjung tiba-tiba memundurkan kursinya kasar, tepat saat keduanya lewat di samping meja mereka. Wajah Elina seketika kaku begitu melihat empat orang yang sudah pasti sengaja memancing ribut dengannya itu.
Atha mengenali tiga diantaranya, karena sudah pernah bertemu sebelumnya. Suami Elina, gundik simpanannya yang sedang hamil tua dan wanita paruh baya berdandanan menor itu adalah ibu mertua El. Sedang pria paruh baya satunya lagi itu sudah pasti ayah mertua Elina.
Ironisnya mereka justru sejak awal bersekongkol menutupi perselingkuhan anaknya. Bahkan yang lebih keterlaluan lagi, kedua orang mertua Elina juga sering mengunjungi wanita itu di rumah mewah yang anaknya sengaja beli untuk mereka tinggali bersama. Membiarkan Elina seperti wanita bodoh menunggu kepulangan mereka sendirian di rumah.
“Aku bilang juga apa! Kelakuanmu bahkan lebih busuk dari yang kami bayangkan, El!” lontar Hanung Pratama, pria yang sudah lima tahun lebih menjadi suami Elina itu.
Tatapannya tajam menusuk, tapi sepertinya Elina sudah tidak berniat mengalah lagi pada mereka.
“Busuk? Memangnya apa yang aku lakukan?” tanya Elina tenang, tidak ingin semudah itu tersulut.
“Pengadilan belum mengetuk palu, itu artinya kamu masih berstatus istriku. Pakai otakmu! Apa yang akan orang bilang kalau melihat menantu keluarga Pratama mesra dengan pria lain?” bentak Hanung, tapi Elina malah tertawa terkekeh dengan tatapan sinisnya.
“Justru kalian yang tidak pakai otak! Makan bersama sekeluarga dengan mengajak gundik simpananmu yang sedang hamil besar. Atau kamu memang sengaja mau pamer selingkuhanmu? Satu hal lagi, aku bukan lagi istrimu karena kamu sudah menjatuhkan talak.” balas Elina.
"Jangan asal ngomong, El! Aku bukan selingkuhan suamimu, apalagi gundik simpanan! Kak Hanung sudah menikahiku sejak tiga tahun yang lalu.” sahut Nisya, wanita berperut buncit yang dulunya adalah sahabat karib Elina sendiri.
“Gundik ataupun istri simpanan, kamu tetap murahan karena merebut suami orang!”
“Jaga mulutmu, El!” desis Hanung menahan emosi.
Satu kebenaran kembali terkuak, ternyata suaminya sudah selama itu menikah siri dengan Nisya. Meski sekarang semua tidak ada artinya lagi karena mereka sudah dalam proses cerai, tapi tetap saja Elina sakit hati. Dia dikhianati dengan cara paling menyakitkan.
Atha menatap iba sekretarisnya yang diam mematung dengan tangan terkepal. Niatnya ingin mengajak Elina segera pergi dari sana, terhenti oleh ocehan mulut pedas wanita tua itu.
“Ayo pergi! Tidak usah ditanggapi. Malu jadi tontonan orang disini!” ucapnya menarik tangan Elina.
“Kamu yang waktu itu juga ikut memukuli Hanung sampai masuk rumah sakit kan?” lontarnya ketus dengan tatapan galak.
Hanung memang pernah mereka buat babak belur sampai terkapar di rumah sakit. Itu terjadi saat Atha melihat Elina diseret suaminya di pinggir jalan dekat taman, lalu juga menampar El sampai mukanya bonyok.
“Iya, memangnya kenapa?” tantang Atha, tangannya masih menggandeng Elina.
“Kamu …”
“Karena kalian tidak bisa mendidik anak, jadi biar kami yang mengajarinya. Hanya pria pecundang tidak punya harga diri yang beraninya hanya memukul wanita!” sela Atha memotong ucapan ibu Hanung yang pasti akan menyumpahinya itu.
Hanung menatap istrinya sinis, terlebih ke tangan Atha yang masih menggandeng Elina erat.
“Biasa jadi babu di rumah, pantas saja kamu tidak becus jadi sekretaris wakil direktur LinZone. Kalau bukan karena berteman dengan anak yang punya perusahaan, mana mungkin kamu bisa bekerja di sana!” cibirnya kasar.
“Setidaknya aku tidak seperti p*****r yang tidur dengan suami temanku sendiri. Anjing saja ditolong masih tahu berterima kasih, tidak seperti gundik simpananmu yang murahan. Ditolong malah menusuk," sahut Elina yang kemudian dibalas dengan guyuran air minum oleh mantan sahabatnya itu.
“Apa-apaan kamu!” bentak Atha melihat wajah dan kemeja El basah kuyup.
Khawatir Elina akan membalas apa yang dilakukan selingkuhannya, Hanung langsung menghadang di depan mereka. Sedangkan Nisya yang berdiri mengusap perut buncitnya, tampak tersenyum puas melihat muka Elina yang basah dan merah padam menahan marah.
“Maaf El, aku tidak sengaja. Mungkin karena pengaruh hormon hamil, aku jadi gampang marah.” ucap wanita itu tampak begitu memuakkan.
“Percuma kamu katakan itu, Nis, dia mandul mana mungkin paham soal wanita hamil!” timpal ibu Hanung pedas dengan tatapan sinisnya.
“Bukan Elina yang mandul, tapi …”
“Pak Atha!” tegur El memotong ucapan Atha supaya tidak kebablasan.
“Kita pergi saja!” ajaknya ganti menarik tangan bosnya yang juga tampak dibuat emosi oleh kelakuan mereka.
“Dulu aku pikir kamu itu lugu, El, jadi sempat merasa bersalah saat Hanung menikahi Nisya. Ternyata benar kata istriku, kamu hanya mengincar harta kami.”
Elina berbalik dan menatap ayah mertuanya yang sejak tadi memilih bungkam, tapi sekarang juga mulai ikut mencelanya. Dadanya luar biasa sesak. Dari hari pertama menjadi menantu keluarga mereka hingga detik ini, apapun masalahnya selalu dia yang disalahkan. Sama seperti saat suaminya ketahuan selingkuh dengan sekretarisnya sendiri, justru dia yang disalahkan karena dituduh mandul.
“Saya hanya menuntut harta gono-gini yang memang sudah seharusnya saya dapatkan. Salahnya dimana?” tanya Elina.
“Salahnya karena kamu tidak tahu malu menuntut seperempat harta kekayaan Hanung. Begini ini jadinya kalau ketiban sial dapat menantu wanita melarat, yang di otaknya hanya tahu cara memeras keluarga kami!” sahut Ibu Hanung nyelekit.
Dengan mata memburam panas, pandangan Elina menyapu sekeliling. Beberapa orang pengunjung yang penasaran mulai terang-terangan menyimak keributan di meja mereka. Wajar kalau suami dan mertuanya meradang seperti ini, sampai mengesampingkan rasa malu jadi buah bibir banyak orang. Minggu depan adalah sidang putusan gugatan cerainya, dan mereka sangat tahu akan kalah di pengadilan. Itu artinya, pria yang sebentar lagi akan jadi mantan suaminya itu juga harus kehilangan seperempat hartanya.
“Kalian juga punya anak perempuan yang sudah menikah. Bagaimana kalau dia yang mengalami di posisiku? Diperlakukan seperti ini oleh suami, sahabat dan mertua sendiri. Apa menurut kalian, dia tidak akan sakit hati? Bukan karena aku sebatang kara dan besar di panti asuhan, kalian bisa seenaknya menginjakku!”
“Apa yang bisa kamu lakukan selain menangis, seolah jadi orang yang paling tersakiti? Buktinya sebelum cerai pun kamu sudah lengket dan bertingkah tidak tahu malu dengan pria lain. Dasar murahan!”
Tangan Elina melayang, membalas hinaan suaminya dengan tamparan keras. Sudah cukup, dia tidak akan membiarkan mereka memperlakukannya seperti sampah lagi.
“Kurang ajar! Apa-apaan kamu berani menampar anakku!” seru ibu mertua Elina marah bukan main melihat anak kesayangannya ditampar di depannya.
“Karena mulut kotornya memang pantas mendapatkan itu. Tadinya aku juga merasa tidak hati menggugat sebanyak itu, tapi sekarang tidak lagi. Berapapun harta gono-gini yang aku dapatkan, selamanya tidak akan sebanding dengan hidupku yang sudah kalian hancurkan.”
Elina sudah berbalik hendak pergi dari sana, ketika tangannya disambar oleh Hanung dan dicengkram erat hingga membuatnya meringis kesakitan. Atha yang melihat sekretarisnya mendapat perlakuan kasar, ganti menarik kerah kemeja pria itu. Suasana memanas, baik Atha maupun Hanung sama-sama tidak mau mengalah.
“Lepas, sialan!” Sambil meringis menahan sakit Elina terus berusaha meronta, tapi sia-sia.
“Jangan lupa! Kasus KDRT yang kamu lakukan pada Elina sampai sekarang masih terus diproses. Berani macam-macam dan kasar ke Elina lagi, sekarang juga aku akan memanggil polisi!” ancam Atha penuh peringatan.
“Cih, jangan senang dulu! Aku akan pastikan kamu tidak akan punya kesempatan menikmati uang rampasan dariku. Camkan itu!” gertaknya, lalu menghempas kasar tangan Elina.
Atha mendorong pria itu hingga nyaris jatuh terjengkang menabrak kursi di belakangnya. Matanya menatap jijik wanita selingkuhan Hanung yang duduk dengan senyum puas mengelus perut buncitnya. Atha meraih tangan Elina, lalu menuding ke Hanung dan wanita itu.
“Kalian benar-benar sampah! Tunggu saja, kehancurannya kalian sudah tidak jauh lagi!” ucap Athaya sebelum kemudian menggandeng Elina pergi dari sana.
Tanpa mengindahkan lagi teriakan marah mereka, Atha dan El terus melangkah keluar. Rasanya sudah risih, sekaligus malu jadi tontonan banyak orang.
“Maaf, saya tidak tahu kalau mereka juga disini.” gumam Elina ketika mereka sudah duduk di mobil.
Matanya menatap nanar berkas di pangkuannya yang sebagian basah terkena siraman air. Benar-benar sial nasibnya sampai bisa bertemu mereka disini saat dia bekerja bersama bosnya.
“Kamu ini terlalu lugu atau bodoh, sampai bisa bertahun-tahun dibohongi oleh mereka. Sahabat dan suamimu sudah selama itu menikah siri, tapi kamu sama sekali tidak merasakan kejanggalan apapun.” ucap Atha menggeleng sambil menyetir mobilnya meninggalkan area parkir restoran.
“Kapan sidang putusan perceraian kalian?” tanya Atha saat mereka berhenti di lampu merah.
“Minggu depan,” jawab El.
“Kamu beruntung punya teman-teman sebaik Freya dan yang lain. Setidaknya ada mereka yang tidak akan membiarkanmu terpuruk sendirian.”
Elina mengangguk. Berkat bantuan mereka lah dia bisa membongkar perselingkuhan suaminya, dan membuatnya tidak bisa berkutik di pengadilan.
“Iya, aku memang beruntung punya mereka. Sama seperti Pak Bos yang beruntung menemukan banyak teman baru setelah masuk LinZone, meski harus patah hati melihat Rena menikah dengan Satria.” ejek Elina.
Atha menoleh dengan dengusan kesalnya. Tapi memang iya, kali ini dia benar-benar harus kehilangan mantan pacar yang masih membuatnya gagal move on itu.
“Nanti malam aku jemput, kita berangkat bareng biar pulangnya tidak bingung kalau kamu mau ikut-ikutan minum.” ucap Atha.
Elina hanya mengangguk. Pandangannya menatap lepas langit mendung berhias gerimis yang mulai turun di luar sana. Entah butuh waktu berapa lama untuknya kembali bisa baik-baik saja. Lima tahun lebih dia mengabdikan hidupnya untuk suami dan keluarganya. Meninggalkan karir cemerlang yang susah payah dia rintis dari bawah, tapi justru dibalas dengan luka, pengkhianatan dan hinaan.
Tanpa sadar Elina tersenyum getir. Penderitaan hidup yang harus dia tanggung nyatanya masih terus berlanjut. Dirinya yang sebatang kara sejak kecil hidup di panti asuhan, hanya memiliki ibu panti sebagai keluarga. Jadi saat menikah dia benar-benar tulus dan sepenuh hati menjalankan perannya sebagai istri sekaligus menantu keluarga Pratama.
Takdir memang sulit ditebak. Sama seperti takdir hidup Elina yang sebentar lagi akan kembali dihempas badai. Perceraiannya dengan Hanung bukanlah hal terburuk, karena apa yang sudah menanti Elina di depan sana akan membuatnya terjebak dalam permainan takdir bersama pria di sampingnya itu. Andai saja dia tahu, pesta lajang itu akan menjungkir balikkan dunia mereka.