Menjelang siang Elina sampai di kantor. Begitu melihat pawang bosnya datang, Shinta seketika menghela nafas lega. Entah dirinya yang memang tidak becus kerja, atau bosnya sengaja menjadikan dirinya sebagai sasaran bad moodnya. Sejak tadi apapun yang dia kerjakan selalu salah dan kena bentak terus. Padahal kalau ada Elina, salah benar bosnya selalu anteng. Tidak, yang ada justru terbalik. Bosnya lah yang selalu kena bentak sekretarisnya itu.
Sebelum bekerja jadi sekretaris pembantu Atha, Shinta pernah menjadi sekretaris sementara Satria menggantikan Rena. Biarpun Athaya tidak segalak Satria, tapi satu hal yang Shinta bisa simpulkan. Kedua wakil direktur perusahaan ini sama-sama memacari sekretarisnya dan bucinnya amit-amit. Galaknya ampun, tapi kicep kalau sudah berhadapan dengan pawangnya.
“Ini buat kamu!” kata El meletakkan segelas green tea latte dan tiramisu coklat di atas meja Shinta.
“Terima kasih, Kak El. Untung Kakak cepat datang. Kalau tidak nanti pergi makan siang aku mesti pakai kaca mata hitam, biar tidak malu ketahuan habis menangis.” gerutunya agak lirih tapi masih terdengar jelas telinga El yang baru saja duduk di meja kerjanya.
“Lho, kenapa memangnya? Ada masalah saat saya belum datang tadi?” tanyanya sambil mulai membuka tumpukan berkas di mejanya.
“Pak Bos uring-uringan terus kalau Kak El nggak ada. Apa-apa salah, terus mukanya kecut kayak belimbing wuluh. Persis banget sama pak wakil yang satunya lagi itu,” adu Shinta sambil mencicipi tiramisu coklatnya.
El hanya mengulum senyum geli melihat wajah imut Shinta yang merengut seperti orang terzalimi. Matanya melirik ke arah pintu ruang kerja bosnya yang tertutup rapat. Sengaja dia tidak laporan masuk, karena masih kesal Atha sudah membuatnya malu dengan meninggalkan cupang di lehernya.
“Kak El …”
“Apa?”
“Boleh aku tanya hal pribadi?” tanya Shinta dengan suara ragunya.
“Soal apa?” El balik bertanya tanpa mengalihkan tatapannya dari berkas yang sedang digarapnya.
“Kak El dan pak bos pacaran kan?”
“Nggak kok, kamu dengar gosip dari mana? Yang benar saja, bujang tampan dan mapan seperti Pak Atha mana mau sama janda kayak aku.” sanggah Elina.
“Bohong banget, pak bos saja kalo lihat Kak El matanya sudah kayak remaja sedang kasmaran gitu. Buktinya lagi biarpun setiap hari dijudesi Kak El, dia tetap diam saja nggak marah. Perhatiannya nggak kalah manis sama pengantin baru yang di lantai atas situ. Beda sama aku yang kena bentak terus.”
Elina tertawa lepas. Sejak kerja sama Shinta, dia sering dibuat ngakak oleh sifat polos dan lucunya itu.
“Dulu apalagi waktu masih kerja sama Pak Satria, tiap hari nangis kejer kena damprat terus. Mulutnya pedes kayak habis mubang bakso mercon. Tapi giliran ada Kak Ren, pak bos langsung kicep. Persis sama yang di dalam itu!”
“Kamu lagi ngomongin saya!”
Keduanya sontak mendongak. El menggigit bibir menahan tawanya yang hampir meledak, melihat Shinta terbatuk-batuk keselek tiramisu yang belum sempat dia telan. Saking asiknya menggunjing dua wakil direktur yang sama-sama galak, tapi bucin, mereka sampai tidak sadar Athaya sudah berdiri mencuri dengar di pintu ruangannya.
“Nggak kok, Pak. Saya lagi iseng cerita ke Kak El tentang bos teman saya yang galaknya minta ampun, tapi bucinnya juga amit-amit.” sanggah Shinta.
“Teman yang mana? Rena ya? Berarti kamu lagi ngomongin Satria dong!” cecar Atha semakin membuat Shinta kelabakan.
“Bukan Pak,” sahut Shinta panik sambil menoleh menatap El memelas minta tolong.
Tiba-tiba Elina berdiri, lalu beranjak melangkah melewati Atha begitu saja tanpa menyapa atau bahkan meliriknya.
“Kamu mau kemana lagi, El?” tanyanya dengan nada bicara yang berubah lembut. Padahal barusan mendamprat Shinta yang tertangkap basah menggunjing tentang dia dan Satria.
“Toilet, mau ikut?” sahut Elina ketus.
“Memangnya boleh?”
Green tea latte di mulut Shinta menyembur keluar mengenai berkas dan laptopnya, lalu terbatuk-batuk lagi dengan muka merah seperti orang kehabisan oksigen. Melihat Elina melotot sengit, Atha buru-buru masuk ke ruangannya dan menutup pintunya rapat.
Shinta mendengus kesal. Sambil membersihkan bekas semburannya, mulut ceriwis wanita berwajah imut itu tidak berhenti menggerutu. Dasarnya bucin, tapi bosnya malah tidak terima digunjing.
***
Sebenarnya sifat bawaan Elina itu lembut, namun semua tak lagi sama setelah dilukai oleh pengkhianatan suami, sahabat dan mertuanya. Dia jadi semakin tertutup, tapi berani dan tidak selemah dulu lagi. Apalagi karena pengaruh hormon kehamilannya, sifat galak dan mudah emosi El semakin menjadi.
Apesnya Atha setelah membuat El sewot gara-gara cupang yang dia tinggalkan semalam, tadi siang dia malah kepergok sedang berkeluh kesah ke Satria soal sikap El yang kelewat galak. Mana dia tahu kalau ternyata Elina dan Rena yang sedang makan siang di meja pantri ikut mendengar semua yang dia omongkan ke Satria.
“Yang, sudah dong marahnya. Kan aku sudah bolak-balik minta maaf. Ya?”
El justru melengos membuang muka ke arah luar. Mengamati hiruk pikuk orang-orang yang sedang berjuang di tengah kerasnya kehidupan ibukota, jauh lebih menyenangkan daripada muka ganteng tapi menyebalkan di sampingnya itu.
“Nanti setelah urusan dengan Dendi Pranoto selesai, kita mampir makan ramen yang semalam batal kesana itu. Mau?” rayunya melirik El yang masih merengut judes.
Ingat ramen membuat Elina menelan ludah. Anak buaya di perutnya benar-benar titisan bapaknya, hingga ngidam pun yang dia ingin justru semua kesukaan Atha.
“Yang …”
“Apa?!” sahutnya kesal setengah membentak.
Atha sempat terbengong, lalu menggeleng dan meneruskan menyetir. Elina menghela nafas panjang. Sumpah demi apa, moodnya hari ini hancur berantakan. Masih jengkel karena pagi-pagi sudah ketiban sial bertemu mantan suami dan gundiknya, lalu ribut lagi dengan mereka. Tentang kehamilannya yang juga membuat El tidak tahu harus bagaimana menyikapi hubungannya dengan Atha setelah ini. Juga kekhawatirannya akan ancaman dari Ayu Nayaka, yang pasti akan lebih gila lagi setelah tahu dirinya mengandung anak Atha.
Tangan Elina buru-buru meraih botol minuman begitu perutnya terasa mual. Atha yang baru saja menghentikan mobilnya menunggu lampu merah menoleh cemas.
“Mual lagi?” tanyanya menyambar tisu untuk mengelap dagu El yang basah.
“Hm …” angguk Elina sambil menyandar dengan mata terpejam menahan pusing.
“El, kamu tidak sedang menyembunyikan kehamilanmu dariku kan?”
“Jangan mulai lagi, Tha! Aku sedang tidak berminat ribut denganmu,” tegas Elina tanpa membuka matanya.
Wajah Atha berubah masam. Jelas-jelas kondisi Elina akhir-akhir ini yang sering pusing, mual, gampang marah dan tiba-tiba ingin ini itu adalah gejala orang hamil muda, tapi tetap saja dia tidak mengaku. Belum sempat protes, Atha dibuat kaget ketika tiba-tiba Elina mengaduh dan meringis menahan sakit.
“Augh …”
“Kamu kenapa? Mana yang sakit?”
“Kakiku kram, Tha. Sakit …” gumamnya mendesis sambil mencengkram tangan Atha.
Tanpa berpikir panjang Atha melepas sabuk pengaman mereka, lalu mengangkat kedua betis Elina dan diselonjorkan di pangkuannya. Setelah melepas sepatu El, dia memijat pelan kaki kirinya yang kram.
Suara klakson bersahutan dari belakang sana. Atha terpaksa meminggirkan mobilnya untuk berhenti sebentar sampai kaki Elina pulih dari kramnya.
“Kamu terlalu capek, mulai hari ini tidak usah lembur dulu. Kondisi kesehatanmu akhir-akhir ini juga sedang tidak begitu fit.”
“Kalau nggak lembur pekerjaan tidak akan selesai. Banyak proyek baru yang kamu pegang, sedang Shinta juga belum begitu bisa menghandle tugasnya.” sahut El yang duduk miring mengamati tangan Atha yang masih memijat kakinya.
“Kalau nggak selesai bawa pulang, selebihnya nanti aku yang kerjakan di rumah.”
Rumah, tentu saja yang Atha maksud adalah apartemen El, karena sekarang dia lebih sering menghabiskan waktunya disana. Itu juga yang membuat Atha semakin tidak bisa jauh dari Elina, karena terlanjur merasa nyaman selalu bersama.
“Terima kasih, sudah tidak sakit. Ayo lanjut lagi, nanti telat!”
Namun, Atha menahan kaki El yang hendak lengser dari pangkuannya. Dia memasang kembali sabuk pengamannya, lalu kembali melajukan mobilnya. Menyetir dengan satu tangan, sedang tangan satunya lagi mengusap lembut sepasang kaki Elina di pangkuannya.
Sikap kelewat manis seperti inilah yang membuat Elina selalu gagal menghindar dari pesona seorang Athaya. Ibarat dia sedang terseok dengan hati yang berdarah-darah, bosnya selalu ada untuknya dan memberinya sandaran. Meski El juga sadar sepenuhnya, pria yang sudah memberinya rasa nyaman ini setiap saat bisa saja mendatangkan badai dan menghempas hatinya jauh lebih sakit lagi.
“Kamu lapar tidak? Sepertinya tadi siang makananmu juga tidak tersentuh,” tanya Atha.
“Tidak lapar, tadi sudah makan tiramisu dua gelas.” jawabnya sambil memeriksa lagi berkasnya, karena mereka sudah dekat dengan tujuan.
“Saking marahnya sampai tiramisu bagianku nggak dikasih,” celetuk Atha.
Begitu saja sudah membuat Elina berhenti kesal dan tertawa geli. Iya, tadi dia memang membeli tiramisu dan green tea latte masing-masing tiga gelas. Namun, karena masih jengkel ke bosnya jadi dia cuma membaginya dengan Shinta.
“Salah sendiri bikin orang kesal terus!”
“Sudah ya, jangan marah lagi! Kamu kalau ngamuk serem,” kata Atha.
Mobil kembali berhenti di lampu merah, tak jauh dari kafe hotel yang mereka tuju. Yang membuat El tidak habis pikir, Atha bahkan sama sekali tidak jijik mengelus dan meremas jemari kakinya. Sampai kemudian dia menoleh, seperti teringat sesuatu.
“El, kamu telpon Sifa minta obat mual dan pusing yang aman buat ibu hamil. Nanti setelah ini kita mampir sebentar kesana. Dari sini ke Medical Centre kan tidak jauh."
“Tidak usah,” tolak El cepat.
“Aku bukannya mau ngajak ribut, tapi sebelum tahu pasti kamu hamil atau tidaknya jangan sekali-kali minum obat sembarangan. Tidak boleh!” tegas Atha.
Lidah El kelu, semakin merasa bersalah karena sengaja menutupi soal kehamilannya dari Atha yang sudah begitu berharap. Obat untuk mual dan pusing tadi sudah diberi oleh Dokter Jihan, tapi kan tidak mungkin dia mengatakannya ke Atha.
“Aku tidak butuh obat,” ucapnya.
“Yakin?”
“Hm,” angguk El.
“Jangan sakit Yang, aku khawatir.” lontar Atha dengan wajah cemas, tapi tak urung membuat hati El meleleh.
“Kalau aku sakit kan ada kamu yang akan merawat. Iya kan?” tanya Elina dengan senyum mengembang di bibirnya.
“Iya, tentu saja. Tapi aku lebih senang kalau melihatmu sehat, jadi jangan sakit.”
Elina menatap ayah calon bayinya itu lekat, sangat lekat. Mencoba menimbang dan memikirkan lagi semua jalan yang mungkin bisa ditempuh demi kebaikan anak mereka, meski tanpa terikat dalam pernikahan.
Mobil kembali melaju. Hanya butuh sekitar lima menit sebelum kemudian mereka sampai di depan pintu lobi hotel. Setelah Atha menyerahkan kunci mobil ke petugas disana, tangannya meraih pinggang Elina dan merangkulnya masuk.
“Tangannya dikondisikan dong, nanti ada yang lihat!” tegur El, tapi bosnya sama sekali tidak ambil pusing.
“Biar saja.”
Lift yang membawa mereka naik ke lantai paling atas hotel akhirnya berhenti. Begitu keluar, Elina dibuat berdecak kagum dengan suasana indah kafe rooftop di sana. Klien mereka, Dendi Pranoto kebetulan sedang ada seminar di hotel ini, jadi dia meminta Atha untuk menemuinya di kafe rooftop hotel.
“Tempatnya bagus banget,” ucap Elina menatap sekeliling dengan tatapan kagum.
“Suka? Lain kali kita kesini lagi. Pemandangan malamnya jauh lebih indah,” ujar Atha.
“Boleh,” angguk El senang.
“Kamu mau minum apa El, selain kopi? Mulai sekarang stop dulu, lambung kamu lagi tidak sehat!” ucapnya melihat-lihat buku menu sampai tidak sadar El menatapnya tersenyum.
Kadang ceriwisnya bikin El baper, padahal belum tentu bosnya punya perasaan istimewa. Semua hanya karena mereka pernah tidur bareng, dan Atha benar-benar mengharapkan kehadiran calon anaknya. Pria aneh! Kalau dia memang begitu ingin punya anak, kenapa tidak cari wanita baik-baik yang sederajat untuk diajak menikah? Malah mati-matian berusaha membuatnya hamil anaknya.
“Aku mau jus stroberi,” ucap El saat tak sengaja melihat seorang pengunjung yang duduk tak jauh dari sana sedang meminum jus itu.
“Ok. Mau tiramisu lagi, atau kue yang lain?”
“Nggak," gelengnya.
Atha mengangkat tangannya memanggil pelayan untuk memesan. Namun, siapa sangka yang datang justru seorang wanita cantik bertubuh ramping dengan pakaian minimnya. El menatap datar saat tanpa canggung sedikitpun wanita itu langsung merangkul leher Atha dari belakang, lalu mengecup bibirnya.
“Hai Beb, ngeselin chatku nggak pernah dibalas! Aku kangen, tahu!” rajuknya manja.