Elina berdiri terpaku menatap pria yang terlelap pulas di atas ranjangnya itu. Selimutnya tersingkap hingga mempertontonkan lekuk tubuh dengan otot-otot yang terbentuk kekar. Perasaannya benar-benar campur aduk. Harusnya dia menangisi kebodohannya yang justru tergoda dan pasrah mengulang khilaf mereka waktu itu, tapi miris malah tidak terlintas sedikitpun sesal di hatinya.
Salahnya sendiri bisa masuk ke perangkap buaya ranjang seperti Atha. Niatnya mengambilkan pakaian ganti buat bosnya yang sedang mandi, malah berakhir dengan bergumul dan berbagi nikmat di atas ranjang. Yang memalukan bagi Elina, karena dia melakukannya secara sadar. Tidak seperti bulan lalu saat mereka khilaf karena mabuk.
Satu hal lagi yang membuat Elina tidak bisa kembali terlelap, meski jarum jam masih bertengger di angka tiga. Dua garis merah di testpack yang masih berada di genggaman tangannya itu. Rasanya luar biasa bahagia, namun sekaligus juga bingung, khawatir dan sedih memikirkan nasib anaknya. Pada akhirnya, mereka benar-benar terikat takdir dengan hadirnya calon anak di perutnya sekarang.
Perlahan Elina melangkah keluar dari kamarnya. Dia menyimpan testpack itu di laci kamar sebelah karena takut akan terlihat oleh Atha. Tidak, dia belum siap memberitahu ayah bayinya itu tentang kehamilannya. Elina sudah bisa menebak, pasti pria itu akan mulai mendesaknya untuk sesegera mungkin menikah.
“Yang … El!”
Mendengar panggilan itu El terjengkit kaget buru-buru menutup laci, lalu bergegas keluar. Meski hanya lampu hias yang menyala di pojok ruangan, namun Elina bisa melihat dengan jelas Atha yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan bertelanjang d**a itu menoleh ke arahnya.
“Kamu kenapa tidak tidur?” tanyanya setelah El mendekat.
“Tidur kok, tadi terbangun ke toilet sebentar.” jawabnya tersenyum ketika pria itu merengkuh pinggangnya merapat.
“Aku pikir kamu marah karena semalam kita …”
“Aishh …”
Elina membungkam mulut pria itu, tidak membiarkannya meneruskan ucapan yang sudah pasti akan menyinggung tentang kejadian semalam. Mata Athaya menatap geli wajah El yang terlihat lucu saat merona malu. Apalagi bibirnya yang mencebik kesal ketika dia mencium telapak tangannya, benar-benar membuat Atha gemas ingin menggigitnya.
“Kamu lagi ngapain di kamar sebelah?” tanyanya.
“Cari akta cerai dan sertifikat apartemen yang dari Sasha. Kemarin karena terlalu pusing begitu sampai aku langsung tidur, jadinya aku lupa dimana menaruhnya?” jawab El meringis merasa bersalah sudah berbohong menyembunyikan soal kehamilannya, padahal Atha begitu menunggu kepastian tentang hal itu darinya.
“Sudah ketemu?”
“Sudah,” sahut El mengangguk.
“Kalau begitu ayo tidur lagi! Ini masih jam tiga lebih," ajak Atha tiba-tiba mengangkat tubuh Elina ke gendongannya.
El nyaris menjerit saking kagetnya. Kedua tangannya sontak merangkul leher Atha, dengan kedua kaki menjepit pinggang pria itu erat karena takut jatuh.
“Tha!”
“Apa, Yang?” sahutnya terkekeh mendapat pelototan kesal dari wanita kesayangannya itu.
“Turunin! Jangan aneh-aneh, nanti jatuh!”
“Ini kan sudah aku pegangin, nggak bakal jatuh.”
“Itu bukan pegang, tapi meremas!” protes Elina dengan wajah tersengat panas.
Baju tidur pendek berbahan tipis itu tersingkap naik. Kurang ajarnya lagi tangan bosnya yang sedang menyangga tubuhnya malah sengaja meremas bokongnya.
“Cuma diremas saja protes. Semalam ditabok malah keenakan.”
“Athaya!” serunya kesal bukan main, tapi Atha justru tertawa ngakak sambil menggendong Elina kembali ke atas tempat tidur.
“Ke calon suami kok memanggil pakai nama gitu, Yang!” tegur Atha.
“Umurmu bahkan dua tahun lebih muda dariku, masa iya di luar kantor aku juga harus memanggilmu Pak? Satu lagi, berhenti memanggilku Yang, Tha! Nanti bisa kena bully kalau sampai terdengar mereka!”
“Biar saja,” sahut Atha kembali menarik tubuh Elina merapat dan memeluknya seperti guling.
Untuk beberapa saat lamanya mereka sama-sama terdiam. Tangan Atha menyelusup ke balik gaun tidur El dan mengelus perutnya lembut. Katakanlah dia gila, tapi dirinya benar-benar berharap ada calon anaknya di dalam sana. Kalau memang khilaf mereka sebulan lalu tidak membuat Elina hamil, semoga yang tadi itu benihnya bisa tumbuh di rahim El.
Beda lagi dengan apa yang sedang berkecamuk di kepala Elina saat ini. Bahagia iya, meski tahu anak di perutnya ini akan membawa masalah besar untuknya. Pernikahan yang ditawarkan Atha tetap bukan penyelesaian yang menjadi pilihannya, apalagi setelah melihat sendiri bagaimana gilanya Ayu Nayaka. Nanti setelah ini dia akan coba memikirkan lagi jalan lain yang bisa mereka ambil, jika memang Atha ingin mengambil tanggung jawab sebagai ayah dari anaknya.
“Tha …”
“Hm …”
“Besok pagi aku ada sedikit urusan dengan ibu panti. Bolehkah aku izin telat masuk kerja?” tanya El mendongak menatap Atha.
“Boleh, atau mau aku antar sekalian?” tawarnya, tapi El langsung menggeleng.
“Nggak usah, besok kamu kan ada rapat rutin dengan pak bos dan petinggi perusahaan. Lupa ya?”
Atha mendecak, menatap wajah cantik wanita di pelukannya yang sepertinya sedang menyimpan beban. Dia tidak akan bertanya, karena tahu percuma saja. El itu tipe tertutup, tidak akan segampang itu mengorek apa yang jadi biang keresahannya.
“Apapun masalahnya, entah itu menyangkut kamu, panti atau yang lainnya, katakan saja kalau memang perlu bantuan. Paham!”
“Hm,” angguk El sebelum mulai memejamkan matanya.
Ada rasa nyaman setiap kali berada di pelukan pria yang jadi bosnya di kantor, dan juga ayah dari calon anaknya ini. Janin di perutnya memang hadir dari kesalahan mereka, dan bukan buah saling cinta. Bahkan setelah nanti dia lahir pun, dirinya tetap tidak bisa memberinya keluarga yang utuh. Tidak apa, Elina janji akan menebus rasa bersalah pada anaknya dengan memberikan kasih sayang sebanyak yang dia bisa.
Hangat pelukan Atha mengantar Elina kembali ke alam mimpinya. Samar dia mendengar kalimat indah dari pria yang sedang memberinya kehangatan ini.
“Aku harus bagaimana kalau kamu terus menolak menikah denganku, El? Karena sepertinya aku benar-benar jatuh cinta ke kamu.”
Sudahlah, karena nyatanya semua tak seindah seperti yang El dengar di alam mimpinya. Dia sudah menata hati, jika nantinya Atha memilih berpaling dan tidak peduli lagi. Itu satu-satunya hal yang bisa dia lakukan sejak menyadari, telah salah menjatuhkan hati pada pria yang tidak pernah punya rasa lebih adanya.
***
Paginya setelah mobil Atha melaju meninggalkan area parkir apartemen, Elina juga bergegas berangkat. Bukan ke panti seperti saat dia pamit ke Atha semalam, tapi ke Medical Centre untuk memeriksakan kehamilannya. Dia tidak sendirian, tapi sudah janjian dengan Sifa, temannya yang merupakan dokter bedah sekaligus pemilik rumah sakit.
Kalau sampai Atha tahu dia sengaja berbohong menutupi kehamilannya, pasti akan sangat marah. Namun, untuk sekarang El juga belum siap menghadapi masalah yang sudah pasti akan datang setelah kabar kehamilannya merebak. Bukan cuma tentang keinginan Atha yang ngotot ingin menikahinya, tapi juga sikap anarkis Ayu Nayaka yang mengerikan.
“El ..."
Elina menoleh, dan mendapati Sifa yang tampak semakin cantik mengenakan sneli putihnya itu melambaikan tangan ke arahnya. Kadang sampai sekarang Elina masih tidak percaya, dirinya yang hanya anak panti bisa berteman dengan orang-orang hebat seperti mereka.
“Maaf ya Fa, sudah merepotkan kamu.”
Namun, Sifa malah mengulum senyum geli sambil mengedikkan dagunya ke perut Elina.
“Tokcer juga si Atha bisa langsung sekali jadi. Satria dan Rena yang nikah duluan saja kalah, gara-gara kalian nyolong start duluan.” ledek Sifa sampai muka Elina merona menahan malu.
“Atau jangan-jangan si anak buaya bukan cuma sekali bikinnya!” tambahnya sengaja menggoda Elina.
“Aish, pasti mulut si Sasha! Karena cuma dia yang punya panggilan anak buaya,” sahut Elina kesal.
Sifa tertawa terbahak, lalu merangkul lengan Elina berjalan beriringan menuju ke arah lift.
“Tadi pagi waktu kamu telepon kami sedang joging bareng, makanya dia tahu soal hasil testpackmu."jelasnya.
Elina menghela nafas panjang, rasanya benar-benar campur aduk. Entah sudah berapa kali dia datang ke dokter kandungan selama lima tahun ini, dan selalu berakhir kecewa karena tidak membuahkan hasil. Tapi sekarang saat dia baru saja menyandang status jandanya, justru datang lagi ke tempat yang sama dengan janin yang sudah tumbuh di rahimnya.
“Kapan rencananya kamu akan memberitahu Atha?” tanya Sifa saat lift mulai naik. Hanya sebentar, karena ruang praktek dokter kandungan berada di lantai dua.
“Tidak tahu, yang jelas tidak sekarang.” jawab Elina dengan raut gamangnya.
“Sampai kapan bisa kamu tutupi, sedangkan setiap hari kalian selalu bersama. Aku bahkan yakin bukan cuma di kantor, tapi juga lengket sampai apartemen. Iya kan?”
“Menurutmu begitu?!” sahut Elina yang enggan mengaku. Padahal memang Atha akhir-akhir ini lebih sering tinggal di apartemennya.
Sifa memberi kode dengan jari telunjuknya meminta El mendekat, lalu dia berbisik lirih karena khawatir terdengar oleh orang lain.
“Cupang bikinan mafia ranjang memang beda. Pantas saja kamu sampai ketagihan, khilafnya diulang-ulang sampai sekarang.”
Mata Elina langsung melotot kaget sambil memegangi lehernya. Rasanya malu bukan main. Tadi pagi mereka bangun agak kesiangan, jadi buru-buru bersiap hingga tidak menyadari kalau semalam Atha meninggalkan cupang di lehernya.
“Nggak usah malu, El. Aku bisa maklum kok. Buaya ranjang seperti Satria dan Atha pasti punya pesona beda, itu yang membuat banyak wanita di luar sana tergoda. Lihat saja Rena, saking cintanya ke Satria sampai aku dan Aksa dibikin geleng kepala.” ucap Sifa.
“Dan karena tahu kehidupan seperti apa yang dia jalani di luar sana, aku tidak menginginkan konsep tanggung jawab yang dia tawarkan.” sahut El.
Mereka duduk di depan ruang praktek Dokter Jihan, menunggu pasien yang di dalam selesai dulu baru Sifa bisa menyela tantenya untuk memeriksa Elina sebentar.
“Pikiranmu itu tidak sepenuhnya benar El, karena nyatanya Satria bisa meninggalkan kebiasaannya yang satu itu setelah memutuskan serius dengan Rena. Kenapa kamu tidak coba kasih Atha kesempatan? Aku yakin dia tidak sebrengsek itu sampai masih mengulangi kebiasaan lamanya setelah mengambil tanggung jawab akan kalian.”
Setelah kemarin mendengar pendapat Sasha, sekarang ganti Sifa juga melontarkan pemikiran yang sama. Sayangnya tetap saja belum bisa meyakinkan Elina yang masih dirundung bimbang.
Pasien yang di dalam baru saja keluar, Sifa dan Elina segera beranjak dari duduknya. Sebelum membuka pintu, Sifa memberi nasehat lagi ke sahabatnya itu.
“Mikirnya jangan terlalu lama, El! Perutmu makin hari nanti makin besar. Setidaknya kamu bisa mencoba mempercayai Atha sekali ini saja, demi memberi yang terbaik untuk anak kalian nantinya.”
“Terima kasih, akan aku pikirkan lagi nanti.”
Sifa tersenyum lega. Tangannya hendak meraih daun pintu, tapi urung setelah mendengar panggilan dari orang yang sangat Elina kenal.
“Elina …”
Bukan cuma El yang mendengus kesal, Sifa juga menatap mereka tak suka. Entah drama apalagi yang akan terjadi setelah ini. Elina sama sekali tidak menyangka, justru bertemu dengan mantan suaminya yang tengah mengantar gundik simpanannya periksa kandungan. Melihat perut Nisya yang membuncit besar, El yakin teman laknatnya itu sudah mendekati waktu lahiran.