Bab.4 Resmi Menjanda

1916 Kata
“Urusanmu di pengadilan sudah selesai belum?” “Sudah, tinggal menunggu Sasha mengambil dokumennya.” jawab Elina yang masih duduk di ruang tunggu. “Aku sudah dekat El, sebentar lagi juga sampai. Mau ditunggu di mobil atau aku masuk mencari kalian?” tanya Atha. “Hm, tunggu di mobil saja.” “Ok.” Elina menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas setelah pembicaraan dengan bosnya selesai. Helaan nafasnya begitu berat saat menatap ruang sidang yang baru saja membuatnya sah menyandang status janda. Rasanya sakit bukan main. Lima tahun lebih pernikahannya, berakhir dengan pengkhianatan dan perceraian. Tidak apa. Meski sekarang dia terpuruk jatuh dan terluka dalam, setidaknya dirinya tidak akan menjadi orang paling bodoh yang menghabiskan waktu sia-sia untuk orang yang salah. Jatuh dia bisa berusaha bangun dan berdiri tegak lagi, biarpun mungkin tidak segampang yang dia pikirkan. Itu jauh lebih baik daripada membiarkan mereka menginjak-injak harga dirinya, dan memperlakukannya seperti sampah. “Puas kamu sekarang?!” Elina menoleh, pria yang sekarang sudah berstatus mantan suaminya itu mendekat dengan tatapan marah. Begitu pun wanita paruh baya yang selama ini dia hormati layaknya ibu sendiri itu, sorot matanya buas seolah ingin mencekiknya. “Tentu saja puas, karena aku tidak perlu lagi menjadi bagian dari keluarga busuk seperti kalian.” jawab Elina tanpa takut sedikitpun. “Mulut kurang ajar! Dulu aku sudah berbaik hati menerima kamu yang tidak jelas asal-usulnya sebagai menantu keluarga kami, tapi malah begini balasanmu! Selain mengerjakan tugas pembantu, hal berguna apa yang sudah kamu lakukan untuk keluarga kami, ha?! Seenaknya saja minggat menggondol seperempat harta anakku. Wanita mandul tidak tahu diri!” Elina mengeratkan gigi menahan malu. Bahkan semua mata di sana tertuju pada mereka, menonton bagaimana si Nyonya Pratama memaki mantan menantunya dengan kata-kata kasar dan tidak enak didengar. Iya, pengadilan memang mengabulkan gugatan Elina, termasuk soal harta gono-gini hingga Hanung terpaksa kehilangan seperempat hartanya. Itu yang membuat mereka meradang sekarang. “Anakmu selingkuh, menghamili dan menikahi wanita lain yang juga masih sahabatku sendiri. Parahnya lagi kalian sebagai orang tuanya justru ikut bersekongkol menutupinya. Itu adalah bukti betapa busuk keluarga kalian.” balas Elina. “Tutup mulutmu, El!” gertak Hanung yang tak ingin aibnya dikuliti di depan orang. “Kenapa? Malu? Kamu pikir sampai kapan bisa menutupi bangkai yang kalian sembunyikan selama ini?!” “Elina!” “Jangan pernah berteriak lagi padaku, karena kamu bukan lagi siapa-siapaku! Aku tidak takut, dan jangan harap akan diam saja jika setelah ini kalian masih mencoba mengusik hidupku!” ucap Elina penuh peringatan. Dia memutuskan pergi dari sana, menunggu pengacaranya di tempat lain. Terlalu memalukan lagi-lagi harus adu mulut dan saling buka aib di depan banyak orang. Namun, baru saja hendak beranjak mantan suaminya sudah menyambar dan mencekal kuat tangannya. “Jangan bangga dulu karena sekarang kamu menang dengan berlindung di belakang mereka. Aku juga tidak takut meski teman-temanmu orang kaya dan pengacara. Lihat saja! Bagaimana kami akan menghancurkan tikus kumuh dari panti asuhan sepertimu!” desisnya dengan wajah merah padam menahan emosi. “Yakin kamu tidak takut berhadapan dengan mereka? Bukankah selama ini biasanya beranimu hanya mengancam dan main tangan pada perempuan? Dasar pengecut! Lepas!” Elina meronta berusaha melepas cekalan tangan Hanung, namun cengkraman mantan suaminya itu justru makin kuat sampai pergelangan tangannya berdenyut sakit. Hingga kemudian Atha yang entah kapan datangnya tiba-tiba menarik kasar kerah jas pria itu. “Lepaskan tangan Elina!” “Datang juga pria selingkuhanmu, El! Sudah tidak sabar rupanya mau memungut bekas istriku!” cibir Hanung sinis. “Mulut sialan!” Kepalan tangan Atha nyaris menghantam muka pria kurang ajar itu, kalau saja Elina tidak menghalanginya. Dia yang masih sempat mendengar bagaimana mereka kembali merendahkan sekretarisnya tampak sangat marah. “Gundik simpananmu saja sudah mau melahirkan, masih tidak malu menuduh Elina selingkuh. Dasar sampah!” umpatnya keras, sengaja memperdengarkan borok mereka di hadapan orang-orang yang sedang menyimak keributan di sana. “Aku tidak butuh wanita mandul yang hanya bisa jadi lintah di keluargaku. Tanya dia, berapa banyak uang yang sudah diam-diam dia curi dari kami untuk diberikan ke panti tempatnya berasal!” tuduhnya sambil menepis tangan Atha. “Fitnah apalagi ini,” sahut Elina menggeleng dengan senyum mirisnya. “Jangan sok polos, itu terlihat menjijikkan! Kamu pikir kami tidak tahu selama menjadi menantu keluarga Pratama, kamu selalu memberikan uang ke pengurus panti.” lontar mantan mertua Elina itu melotot galak. Atha menarik Elina mundur ke belakang punggungnya, saat ibu Hanung yang selalu bersikap bar-bar itu mencoba mendekat. Keadaan semakin memanas, beruntung Sasha datang tepat waktu. “Kalau kalian masih berusaha mengusik dan mengintimidasi klien saya, kita akan bertemu lagi di pengadilan. Kasus KDRT saja belum selesai, sekarang ditambah lagi menuduh tanpa bukti. Elina bisa menuntut kalian karena sudah mencemarkan nama baiknya.” tegas Sasha, pengacara cantik yang juga merupakan istri konglomerat Abimanyu Nugroho itu. “Menuduh?! Tanya sendiri ke klienmu, benar tidak apa yang kami katakan kalau setiap bulan dia rutin memberikan uang ke panti!” tantang Hanung Pratama tanpa gentar sedikitpun. “Iya, aku memang memberikan uang ke ibu panti, tapi bukan hasil mencuri uang kalian. Itu uang jatah bulanan yang tidak pernah aku pakai,” terang Elina. “Dan kamu pikir kami percaya!” sahut wanita bermake up tebal itu sengit. “Percaya atau tidak itu urusan kalian, yang penting aku sudah memberitahu yang sebenarnya!" seru Elina yang mulai habis kesabaran. “Dasar lintah! Sekarang mau minggat saja masih menguras hartaku. Bagaimana bisa aku sebodoh itu memperistri seorang maling!” Kali ini Hanung harus membayar mahal mulut kotornya. Atha yang tersulut dan terlanjur naik pitam benar-benar menghantamkan tinjunya ke mulut mantan suami Elina itu. “Apa-apaan kamu berani memukul anakku, sialan!” teriak ibu Hanung setelah menjerit kaget melihat anaknya terhuyung dengan ujung bibir lebam. “Pergi sana ke rumah sakit untuk visum, aku tidak takut kalian menuntutku!” tantang Atha menuding marah Hanung yang tampak meringis kesakitan memegangi ujung bibirnya. “Pak, sudah jangan diladeni!” tegur Elina menarik tangan bosnya supaya keributan mereka tidak semakin menjadi. “Ada CCTV disini. Kalau kalian menuntut, kita juga bisa menjadikan itu sebagai bukti siapa yang lebih dulu membuat gara-gara.” ucap Sasha sambil menunjuk ke sudut bagian yang terpasang kamera. Hanung dan ibunya diam tak berkutik, hanya menatap marah Elina yang masih memegang erat tangan bosnya. “Dasar perempuan murahan!” lontar Hanung dengan tatapan jijiknya sebelum kemudian pergi dari sana bersama ibunya. Elina menghela nafas lelah. Rasanya malu seperti habis ditelanjangi di depan banyak orang. Sasha mendekat dan merangkul bahunya yang kaku menahan marah atas kelakuan mantan suami dan ibunya yang semakin kelewat batas. “Bagus, menghadapi orang seperti mereka memang harus sedikit bar-bar. Diam hanya akan membuat mereka semakin menginjakmu, El.” ucap Sasha mencoba menghibur temannya itu. “Sumpah, malu banget Sha ribut sampai jadi tontonan banyak orang begini.” sahut Elina menatap masam orang-orang yang sebagian masih saling bisik. “Yang punya borok mereka, kenapa juga kamu yang harus malu! Toh kita juga tidak kenal dengan orang-orang yang menonton disini,” ujar Atha yang tidak mau ambil pusing. Elina mendengus, sedang Sasha tertawa terkekeh menatap pria bermulut nyinyir yang sudah lebih dulu nyelonong pergi itu. “Buruan El, nanti telat sampai kantor Wahana!” seru Atha tanpa repot-repot menoleh ke sekretarisnya yang masih merengut kesal. “Bagaimana kelanjutan kalian?” goda Sasha mengulum senyum yang membuat mawah Elina seketika merona malu. “Lanjut apanya? Ngawur!” elak El melepaskan diri dari rangkulan Sasha dan buru-buru melangkah menyusul bosnya. “Eii, tapi kenapa mukamu merah El?” gelak Sasha tidak bisa menahan tawa gelinya. “Otakku masih cukup waras untuk tidak jatuh ke pelukan buaya ranjang seperti dia,” ucap Elina menggeleng menatap punggung kokoh pria di depan sana. Punggung kokoh? Sialan! Dalam hati Elina mengumpat kesal saat otak dan mulutnya tidak sejalan. Sejak mereka melewatkan malam panas itu, bahkan setiap kali masuk ke kamar benaknya selalu dipenuhi potongan adegan yang membuat perutnya mencelos tidak karuan. “Semoga saja tidak akan tumbuh anak buaya di perutmu,” olok Sasha masih belum berniat berhenti menggoda Elina yang makin salah tingkah. “Mulutmu, Sha!” Sasha tertawa terbahak, sampai-sampai Atha menoleh penasaran apa yang membuat pengacara sepupu bosnya itu tertawa sekeras itu. Dia adalah Sasha Dewanti, pengacara badas yang tidak pernah gagal membungkam lawannya di ruang sidang. Melihat betapa hebat dia sekarang, orang pasti tidak akan menduga masa mudanya juga pernah hancur karena hamil di luar nikah dan dicampakkan oleh kekasihnya. “Tidak apa-apa El, sudah terlanjur mau diapakan lagi. Kalau nantinya kamu memang hamil, toh Atha juga sudah siap untuk bertanggung jawab. Paling tidak nasibmu jauh lebih baik dari aku yang dulu harus menanggung semua sendirian. Iya kan?” ucap Sasha, kali ini dia tampak serius. “Entahlah, aku belum berpikir sejauh itu Sha. Tapi membesarkan anak sendirian, sepertinya jauh lebih baik daripada harus menanggung resiko hidup bersama pria yang tidak pernah bisa setia. Cukup sekali aku terjebak dalam pernikahan toxic seperti itu, tidak akan aku ulangi lagi.” sahut El yang selalu gundah setiap kali memikirkan tentang itu, namun ternyata Sasha tidak sependapat dengannya. “Salah, Atha bukannya tidak setia. Buktinya dia juga pernah benar-benar mencintai Rena. Kelakuannya sekarang hanya pelarian dari kekecewaannya. Entah itu karena patah hati dulu tiba-tiba ditinggal Rena tanpa sebab, atau juga pelarian dari kejenuhan menghadapi sifat orang tuanya yang terlalu egois dan otoriter.” ujar Sasha. “Sorry El, aku bukannya membela Atha. Sebagai sama-sama perempuan, sahabat dan terlebih aku juga pernah merasakan di posisi itu, tentu saja aku juga paham kekhawatiranmu sekarang. Yang jelas apapun yang terjadi nanti, kami tidak akan membiarkanmu menghadapinya sendirian.” Kaki Elina berhenti melangkah, lalu berbalik dan menatap teman sekaligus pengacara yang sudah membantunya bertarung di pengadilan membalas pengkhianatan Hanung juga mertuanya itu. Matanya tampak memerah, tanpa bisa berkata-kata. Betapa baiknya Tuhan sudah mempertemukannya dengan orang-orang seperti mereka ini. “Terima kasih, Sha. Aku beruntung punya teman-teman sebaik kalian.” ucapnya lirih dengan suara serak. Sasha mendekat, lalu memberikan pelukan hangat untuk menguatkan temannya yang bernasib malang itu. “Kamu hebat El, dan selamat karena mulai hari ini kamu benar-benar sudah lepas dari mimpi burukmu di keluarga Pratama. Mulai lah semua dari awal, semoga nanti kamu bisa bertemu pria yang tepat dan benar-benar mencintaimu sampai akhir.” “Hm," angguknya terharu. “Sudah belum pelukannya?” tanya Atha yang balik lagi menghampiri Elina dengan tidak sabaran. “Sudah!” bentak El kesal setelah melepas pelukannya. “Aku bosmu, kenapa jadi kamu yang lebih galak!” dengus Atha. Sasha tertawa menatap Athaya yang menggerutu sambil mengekor di belakang sekretarisnya. Dia benar-benar berharap Elina tidak sampai hamil. Kalau sampai itu terjadi meski Atha ngotot mau bertanggung jawab, jalan mereka untuk mendapatkan restu dari keluarga Nayaka pasti tidak akan segampang itu. “Mau kemana kamu, El? Mobilku bukan di sebelah situ!” seru Atha, lalu menarik tangan Elina ke arah mobilnya diparkir. “Jadwal meeting di kantor Wahana kan masih satu jam lagi, Pak.” protes Elina karena sejak tadi bosnya terus saja menggerutu. “Aku lapar, temani aku makan dulu.” ucap Atha membuka pintu samping untuk Elina. “Tapi saya tidak lapar,” sahut El masih menatap bosnya yang baru saja duduk di belakang kemudi, dan mengenakan sabuk pengamannya. “Memangnya kapan aku menyuruhmu makan? Aku hanya memintamu menemaniku,” ujar Atha tergelak mendapati wanita di sampingnya itu melotot sengit. Tangannya terulur mengacak rambut El gemas, tapi ditepis kesal oleh Elina. “Kamu harus makan El, kalau tidak nanti anakku bisa kelaparan di perutmu.” godanya. “Mulutmu, Tha!” Bukannya marah sekretarisnya sudah ngelunjak berteriak padanya, Atha justru tertawa terbahak sambil melajukan mobilnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN