8. Sintia

1043 Kata
"Lo nggak bilang kalau yang hampir nabrak lo Tama?" Danar di sampingku berbisik. "Gue nggak ngeh itu dia. Kejadiannya malam gue nggak bisa lihat dengan jelas. Mana gue tau kalau itu dia," balasku berbisik juga. Saat ini kami sedang berada di meja nomor sepuluh. Ya, kami satu meja bersama Tama berkat kedua laki-laki yang datang bersamaku ini. Tatapku beralih kepada Tama yang saat ini sedang asyik mengobrol dengan Giko. Keduanya dulu sama-sama anggota inti OSIS dan juga satu ekskul. Bahkan keduanya pernah mewakili paskib di tingkat provinsi. Jadi, sangat wajar jika pertemuan keduanya terlihat renyah. Di meja lain aku melihat Sintia, wanita yang sudah dari jamannya sekolah selalu bersama Tama. Aku iri padanya. Seandainya bisa, aku mau bertukar posisi dengannya. "Teman-teman sekelas kita mana ya?" tanya Danar entah kepada siapa, kepalanya celingukan. Ya, selain Danar dan Giko aku tidak menemukan teman sekelasku lainnya. Apa mereka tidak hadir? "Wina tuh paling jago." Aku mendengar sayup-sayup suara Giko menyebut namaku di saat aku masih sibuk mencari keberadaan teman sekelas. Mataku baru menemukan seseorang yang aku kenal ketika Danar mencolek lenganku. Aku segera menoleh padanya dan bertanya melalui pandangan mata. "Tama tanya tuh." "Hah?" Aku sedikit terkejut dan menoleh kepada Tama yang duduk persis di seberangku. "Tanya apa ya? Sori, gue tadi nggak dengar." "Astaga, masih di tempat rame begini lo nglamun sih, Win," sambar Giko. Tama di sebelahnya terkekeh. "Siapa yang nglamun? Gue lagi nyari teman-teman sekelas kita," bantahku sewot. "Terus nemu?" "Ada, gue liat tadi... Siapa ya namanya..." Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Wajarkan kalau aku agak lupa? Satu-satunya yang nggak bisa lupa ya Tama. "Rini kalau nggak salah," lanjutku ragu. "Kok kayak nggak yakin gitu? belum juga punya anak nama teman sendiri udah lupa." Aku mengembuskan napas. Giko sedang mencoba mencari masalah denganku rupanya. "Kayak lo ingat semua nama teman sekelas kita aja," cibirku melengos. Masa bodo dengan apa yang dia katakan. "Hai!" Wanita cantik itu akhirnya menghampiri meja kami. Dan memang sebenarnya meja dia di sini. Bersama dengan suaminya. Iya, dia Sintia, istri Tama yang beruntung. "Sintia, lo ingat gue?" tanya Giko menatap wanita itu dengan mata penuh binar. Aku jijik melihatnya. Dia selalu terlihat seperti orang kelaparan jika melihat wanita cantik. "Ingat dong. Lo kan mantan Rita, sahabat gue. Dulu dia selalu curhat soal lo," sahut Sintia, lalu beranjak duduk di sebelah Tama. "Ah, bikin gue GR aja. Pasti Rita bangga kan punya pacar ganteng kayak gue?" Aku memutar bola mata. Giko dengan sifat percaya dirinya yang berlebihan. Sintia tertawa singkat. "Sayangnya bukan itu yang dia ceritakan. Dulu dia bilang sering makan ati pacaran sama lo yang selalu jelalatan kalau liat cewek lewat." Mampus lo! Semua yang ada di meja ini tertawa puas, kecuali Giko yang langsung mengerucutkan bibir. Sudah menjadi rahasia umum. Selain memang memiliki tampang oke, Giko terkenal playboy. Dia nggak pernah cukup punya satu pacar. "Lo salah denger kali, Sin," protes Giko. Mukanya terlihat tak terima. Meskipun dia sahabatku, aku tidak akan membelanya. Memang kelakuannya dari dulu seperti itu. Sintia mengalihkan perhatiannya padaku dan Danar berganti. "Duh, maaf banget kalau lo siapa ya? Dulu sering gue lihat cuma nggak tau namanya, sori banget," tanya Sintia, tepatnya padaku. Kami memang tidak saling kenal dulu. Dan aku tahu nama dia pun karena dia pacar Tama. Aku nggak mungkin nggak stalking cewek yang berhasil merebut perhatian Tama. "Gue Wina. Wajar sih, kita memang nggak pernah berinteraksi dulu itu," sahutku tersenyum tipis. "Satu kelas sama Giko?" Aku mengangguk, lalu melirik Danar di sebelahku. "Sama Danar juga." "Nah, kalau Danar gue ingat. Ketua club mading kan?" Danar tersenyum tipis dan mengangguk. Dia tetap nggak banyak omong seperti biasanya. "By the way anak-anak kalian di mana?" tanya Giko. Entah kenapa pertanyaan itu membuat perasaanku nggak nyaman. Secara refleks aku menatap Tama, dan sialnya lelaki itu juga menatapku sehingga tanpa sengaja tatapan kami bertemu. Aku segera membuang pandang ke mana pun. Astaga, jantungku rasanya mau lepas saja. "Mereka bersama pengasuhnya. Kami bisa kewalahan kalau bawa mereka," ujar Sintia tertawa, terdengar renyah. Setelahnya aku memutuskan pamit untuk berkeliling mencari teman sekelas. Aku nggak mau terjebak satu meja dengan Tama serta istrinya lebih lama lagi. Beruntung aku menemukan mereka. Segerombolan cewek yang dulu satu kelas denganku. "Wina!" seru salah satu dari mereka yang aku ingat bernama Lia. Aku tersenyum lebar dan mendekati mereka. "Eh, ada Danar juga!" Danar? Aku sontak menengok ke belakang. Lelaki itu mengikutiku rupanya. "Kalian memang soulmate banget ya dari dulu," ujar wanita yang aku tahu bernama Lutfi saat kami berada di depan mereka. "Eh ada satu lagi kan ya? Si Giko mana?" tanya Lia sembari menengok belakangku. "Dia di meja nomer sepuluh bareng mantan ketos," sahutku sedikit meringis. "Cuma kalian berlima aja nih? Yang lain mana? Cowok-cowoknya nggak ada?" tanya Danar. Dia berdiri di sampingku mirip bodyguard. Di rombongan cewek kelasku ini selain Lia dan Lutfi, cuma ada Mira, Ani dan Rini. Bahkan Febri teman sebangku dulu nggak ada. "Tadi sih gue liat Tomi dan Guntur. Tapi sekarang nggak tau pergi ke mana," sahut Rini seraya menjulurkan leher. Mencari keberadaan mereka mungkin. "Pasangan kalian mana By the way?" tanya Mira. "Atau jangan-jangan kalian malah pasangan," lanjutnya tersenyum penuh arti. Danar hanya bisa terkekeh menanggapinya dan sepertinya tidak berniat membantah. Namun, aku tidak akan membuat mereka salah paham. "Kami itu bestie forever. Danar mana mungkin mau sama gue? Selera dia tinggi, Girls," ujarku mematahkan dugaan Mira. Mulut mereka beroh-oh ria mendengar jawabanku. "Kalian sendiri kenapa datang sendiri-sendiri. Serius nggak ada yang bawa pasangan? Atau memang nggak ada pasangan?" Kami terus mengobrol diselingi canda tawa mengingat kekonyolan jaman putih abu-abu. Sementara di panggung depan sana hiburan musik tetap berlangsung. Dari kami para alumni bahkan ada yang maju menunjukkan performa menyanyi dan bermain musik. Aku beringsut meninggalkan teman-teman ketika perutku merasa lapar dan melipir menuju stand-stand makanan. Stand-stand makanan di sini lumayan lengkap. Acara reuni ini sudah mirip pesta pernikahan. Aku menuju ke stand bakso dan memesan satu kepada penjaganya. "Nggak berubah ya? Dari dulu kamu suka bakso." Aku menoleh ketika mendengar suara itu begitu dekat. Dan, jantungku nyaris putus saat menemukan Tama sudah berdiri di dekatku. Aku tidak menyadari kedatangannya. Aku tersenyum canggung dan menunjuk panci bakso yang mengepul mengeluarkan asap ketika tutupnya terbuka. "Mau bakso juga?" Entahlah, kemampuan berkomunikasiku mendadak payah seketika. Dan hanya itu kata-kata yang bisa keluar dari mulutku untuk menyahutinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN