Aku mematut diri di depan cermin beberapa kali. Kadang berputar, kadang condong ke depan. Memastikan penampilanku hari ini tidak terlihat aneh. Waktu mengepas di butik sih Giko bilang gaun ini cocok buatku. Tapi tetap saja aku merasa nggak percaya diri.
Sekarang aku memusatkan ke riasan wajah. "Aku nggak terlalu menor kan?" gumamku pada pantulan diri di dalam cermin. Aku sengaja memilih make-up dengan warna nude agar terlihat natural. Inginnya sih tanpa make up, sayangnya aku nggak memiliki kecantikan alami yang bisa dibanggakan. Wajahku gampang kering dan itu sangat mengganggu. Aku akan selalu membawa face mist ke mana-mana.
Telunjukku bergerak menyingkirkan poniku yang sedikit menjuntai. Aku belum sempat merapikannya, padahal Giko kerap mengingatkan aku. Dia risih setiap kali melihatku membenarkan poniku yang kerap kali mengganggu aktivitasku. Sampai-sampai dia gemas sendiri dan membelikanku penjepit rambut mini.
Kali ini aku enggak akan membiarkan poniku menjadi masalah di reuni nanti, jadi aku mengambil jepitan lidi untuk merapikannya.
Setelah memastikan semuanya sempurna, aku mengambil heels dan menyambar clutch di atas meja rias. Sekali lagi aku memperhatikan penampilanku di pantulan cermin sebelum keluar dari kamar. Giko baru saja mengirimiku pesan bahwa dia sudah ada di lobi. Bukan hanya Giko, Danar juga. Akhirnya kami sepakat untuk pergi ke tempat reuni bersama.
"Apa sih yang berubah? Perasaan sama aja. Masih Wina yang gue kenal," ujar Giko begitu aku sampai di hadapannya.
Aku berdecak kesal, tahu maksud dari perkataannya. "Cuma bentar, lo pasti lebih lama lagi nunggu cewek-cewek lo yang menor itu."
Giko memutar bola mata. "Semua cewek sama saja. Lama," katanya lantas beranjak melangkah.
Danar hanya tersenyum kecil menanggapi kami. Dia sama sekali tidak berkomentar apa pun tentang penampilanku. Apa aku beneran seperti biasa yang mereka lihat? Padahal aku berharap kedua lelaki itu pangling atau apa kek.
Bibirku mengerucut lantas menyusul Giko diikuti Danar. Mobil Giko sudah ada di depan lobi ketika aku keluar.
"Mobil gue ada di basemen. Kayaknya lebih efektif berangkat bareng satu mobil aja," ucap Danar, dia membukakan pintu mobil buatku.
"Jadi, pulangnya lo mampir ke sini lagi?" tanyaku sebelum masuk.
"Iya." Dia lalu beranjak masuk ke bagian depan menemani Giko.
"Kita telat cuma gara-gara nunggu lo. Pasti acaranya udah dimulai," gerutu Giko sebelum dia menyalakan mesin mobilnya.
"Ya ampun cuma telat lima belas menit. Lo kayak nggak tau jam Indonesia aja," sahutku kesal. Nggak biasanya Giko bawel begini.
"Lagian ngapain sih lo ke reuni pake dandan begitu?"
Lah?
"Ya gue kan cewek masa nggak boleh dandan?"
"Gue yakin sih ada yang lo harepin ketemu kan makanya lo dandannya lama?"
Aku mendengus. "Sok tau."
"Taulah! Emang gue kenal lo sehari dua hari?"
"Biarin aja sih, Gi. Kali aja Wina nanti ketemu jodoh di reunian," timpal Danar. Seperti biasa dia akan selalu menjadi penengah kami.
"Bener kan di sini? Lantai berapa sih?" tanya Giko sesaat setelah memarkirkan mobil. Kami sekarang berada di salah satu parkir hotel berbintang di kawasan Jakarta Selatan.
"Kalau enggak salah lantai lima," sahut Danar, dia membuka satu kancing bagian atas kemejanya.
"Kalau bingung kan tinggal nanya, gitu aja repot," sambarku lalu bergerak mendahului mereka.
Suasana ballroom di lantai lima tampaknya meriah. Sejak dari keluar lift aku melihat hilir mudik panitia reuni. Entah sponsor acara ini siapa, yang jelas acara ini aku rasa bukan acara reuni biasa. Bahkan kami harus memindai barcode yang sudah kami terima di email.
Sudah aku duga, saat kami datang acara sedang berlangsung. Ada dua orang host yang berdiri di atas panggung tengah bercuap-cuap.
"Tempat duduk kita di mana, Dan?" tanya Giko setengah berbisik.
Danar menunduk menekuri ponselnya. "Liat email lo coba. Di sana ada nomor kursinya kalau nggak salah."
"Ribet amat sih, itu masih banyak kursi kosong. Kita tinggal duduk aja."
"Giko!"
Saat itu sebuah suara memanggil nama si playboy. Kami kompak menoleh. Lalu seperkian detik berlalu mataku membelalak melihat siapa yang memanggil si playboy barusan.
"Itu Tama kan?" tanya Danar seraya memperhatikan seseorang yang kini berjalan mendekat ke arah kami. Aku auto melangkah mundur dan sedikit menyembunyikan diri di balik punggung Danar.
"Iya, ketos kita. Tambah ganteng aja."
"Giko! Apa kabar Man?" sapa Tama yang langsung menjabat tangan Giko begitu sampai di depan kami.
"Baik, Bro. Makin kece aja lo. Padahal denger-denger lo udah berkeluarga dan jadi hot daddy," sambut Giko yang disusul kekehan singkat Tama.
"Bisa aja lo. Eh, lo ke sini sama siapa?" tanya Tama. Aku mendadak waswas ketika Tama bertanya.
"Nih, dua sohib gue biasa. Lo masih ingat mereka kan?" Giko beringsut lalu memamerkan Danar. "Lo ingat Danar kan? Dia bukan anggota inti osis sih, tapi jadi anggota sekbid humas."
Tama kuintip tengah mengulurkan tangan kepada Danar. "Gue ingat kok, yang jago bikin banner kan?"
Giko tertawa dan membenarkan. "Lo benar, Tam. Nggak salah kan kalau dia sekarang jadi manager marketing?"
"Wah, serius? Hebat lo, Danar."
"Giko berlebihan," sahut Danar kalem.
"Di belakang lo siapa? Cewek lo? Atau istri lo?" ada nada penasaran yang kental dari suara Tama. Aduh bagaimana ini? Kenapa aku deg-degan? Astaga, aku beneran norak kalau nggak bisa menghadapi Tama sekarang.
"Bukan, Tam. Dia Wina. Lo ingat enggak sama cewek yang selalu sama kita berdua?" terang Giko. "Win, lo ngapa dah? Nggak nyapa Tama?"
Aku nyaris berdecak. Sudah kepalang tanggung juga. Akhirnya aku memamerkan diri dengan segenap deg-degan. Harapanku aku tidak bertingkat konyol di depan Tama.
Aku tersenyum canggung menatap lelaki jangkung itu. "Hai," sapaku singkat. Aku sempat melihat Tama melebarkan mata sebelum aku memutus pandangan.
"Astaga, Wina. Jadi lo yang malam itu hampir gue tabrak? Pantas aja rasanya familier," ujar Tama sedikit berseru.
"Eh nabrak apaan? Kok lo nggak cerita?" tanya Giko yang memang nggak tau kejadian itu.
"Oh, jadi lo yang hampir nabrak Wina? Gue pikir siapa, Wina nggak bilang," ujar Danar yang langsung mendapatkan pelototan dari Giko.
"Lo tau, Nar?"
Danar berdecak. "Kejadiannya pas lo abis jalan sama Wina. Makanya kalau nganter dia turunin di depan lobi langsung. Lo tau sendiri tuh cewek suka meleng."
Tama tertawa mendengar obrolan dua sahabat itu. "Nggak sengaja sih. Tapi untungnya Wina nggak apa-apa. Buktinya dia datang ke sini dengan kondisi yang...." Tama menggantung ucapannya dan menatapku lekat, membuatku sekonyong-konyong merasa jengah. "... Amazing," lanjutnya sedikit memelankan volume suara.
Kalian tahu gimana perasaanku saat ini? Seandainya punya sayap mungkin aku sekarang sudah terbang sembari berputar-putar.
"Dia memang amazing, saking amazingnya masih jomblo hingga sekarang."
Sial! Aku menyikut dengan keras perut Giko. Dia punya mulut musibah banget.
"Kalian ke meja gue aja. Tuh masih kosong banyak."
Tidak! Semoga saja Danar dan Giko menolak tawaran Tama itu. Tapi...
"Boleh." Sahutan Danar memupus harapanku. Aku tidak mungkin tahan satu meja dengan Tama. Bagaimana ini?
"Lo ke sini sama bini lo?" tanya Giko sembari berjalan beriringan dengan Tama. Aku dan Danar mengekor di belakangnya.
"Iya. Tuh dia lagi bertemu teman-temannya."
Ya Tuhan, aku tidak mau melihat Tama bermesraan dengan istrinya. Siapa saja tolong tarik aku dari sini!