9. Canggung

1014 Kata
"Gue minta maaf buat malam itu. Gue hampir ngenalin lo, tapi lo keburu pergi." Aku ingin kabur, tapi kali ini kakiku tetap menjejak. Aku heran dengan pikiranku. Bukankah ini yang aku ingin? Bertemu Tama di reunian. Harusnya aku senang dan mengajak dia ngobrol. Bukan malah mati kutu dan nggak berkutik begini? "Nggak apa-apa," aku menggeleng. Nyatanya aku kesulitan menggerakkan lidah yang mendadak kelu di depan Tama. Aku bersyukur karena penjaga stand bakso segera memberiku mangkok bakso yang kupesan. "Gue ke sana dulu ya." "Nggak makan bareng aja?" tanya dia, lalu pandangannya memindai ballroom yang lumayan ramai ini. "Tuh, ada tempat kosong kita bisa ke sana dan mengobrol." Aku mengerjap. Sama sekali tidak menduga Tama akan mengajakku makan bersama. Tatapku lalu mencari sosok Sintia di meja nomor sepuluh. Nggak ada. Bahkan Giko juga raib entah ke mana. Jujur aku senang, tapi .... takut. "Lo di sini. Gue cariin juga." Danar muncul dengan sebuah piring di tangannya. Ada kelegaan tersendiri, seenggaknya kedatangan Danar bisa mengusir rasa canggung yang tiba-tiba menguasaiku. Kulihat Tama menerima mangkok baksonya. Mungkin aku harus segera kabur darinya agar nggak terus-terusan bertingkah bodoh. Bagaimana enggak? Tama yang aku lihat sekarang jauh lebih keren daripada foto-fotonya yang sering aku stalking di IG. Potongan rambutnya lebih rapi, dia hanya mengenakan kaos navy yang dilapisi sebuah blazer dan celana jin, tapi entah kenapa pesonanya benar-benar memikat, dan membuatku ngelag sesaat. Angkle boot yang dia pakai makin membuatnya wow. Tampilan semi-formalnya berhasil menyedot perhatianku. Aku nggak bohong. "Kita duduk di sana aja, yuk!" ajak Danar yang sama sekali nggak bisa aku tolak. "Tam, lo bareng kita aja." Tama tersenyum kecil dan menggeleng. "Kalian duluan aja. Gue masih harus cari dessert." Aku pikir dia mau karena tadi jelas-jelas mengajakku duduk bersama. Pandangan kami bertemu sejenak, tapi aku segera berpaling. Astaga, lama-lama aku bisa kena serangan jantung. "Oke, duluan ya," ucap Danar. Aku bahkan berbalik mendahuluinya. Aku senang bisa melihat dan bertemu Tama lagi, cuma aku nggak menduga reaksiku bakal secanggung ini. Ini aneh. Padahal Tama bukan siapa-siapaku dulu, tapi vibes-nya seperti bertemu dengan mantan. "Giko ke mana?" tanyaku begitu kami sampai pada salah satu meja. "Tadi kan bareng Tama, tapi meja mereka udah keisi orang lain. Mungkin dia lagi tegur sapa sama lainnya." Aku baru akan menyendok kuah bakso ketika sapaan dua wanita terdengar. Sapaan itu bukan tertuju padaku, melainkan Danar. "Kami boleh duduk di sini dan ngobrol enggak?" tanya salah satu dari mereka meminta izin. Aku nggak mungkin menolak kan? Aku juga tahu mereka. Dulu keduanya satu club dengan Danar. "Lo tambah keren, Danar. Gue kira tadi bukan lo. Ya ampun, lo masih aja ya se-cool dulu." Yang bicara itu Tasya. Aku ingin bisa seperti dia saat bertemu Tama. Bisa mengutarakan isi hati tanpa salah tingkah. Dipuji berlebihan Danar cuma bisa tersenyum. "Lo apa kabar?" "Gue baik banget. Syukurlah lo masih ingat gue." "Lo inget gue juga enggak?" tanya satunya lagi yang duduk di sebelah Tasya. Aku ingat namanya Vina. Selain anak mading, dia juga anak cheers dulu. Pernah Giko gebet, tapi gagal. Danar tersenyum. "Ingat, yang suka setor cerita mini kan?" Vina tampak tersenyum lebar dan mengangguk. "Gue pikir lo lupa. Lo udah punya pacar atau istri belum, Nar?" Wah, bisa ya mereka selancar itu? Seandainya aku bisa begitu pada Tama. Tanpa sadar aku memanyunkan bibir mengingat reaksiku yang enggak banget di depan Tama tadi. Mengabaikan obrolan mereka aku mengedarkan pandang, mencari sosok mantan ketua osis itu. Aku bisa dengan mudah menemukannya. Dia ada di antara gerombolan mantan anggota inti OSIS. Ada istrinya juga di sana. Mereka tampak asyik mengobrol diselingi tawa. Aku memandanginya dan hanya dengan itu bisa membuat senyumku tersungging. Magic banget. Dari dulu seperti ini. Cinta dalam hatiku nggak pernah terungkap sampai aku benar-benar kehilangan dan menyesal. Sialnya, ternyata aku susah sekali buat move on. Aku terkesiap ketika Tama tiba-tiba menoleh ke arahku. Bahkan lelaki itu melempar senyum. Serta-merta gugup menyerangku. Bukannya membalas senyumnya, aku malah sibuk salah tingkah. Duh! "Hari ini gue puas banget!" seru Giko saat kami sudah selesai menghadiri reuni itu. Saat ini kami dalam perjalanan pulang ke apartemen. Acara reuni berakhir meriah. Gara-gara si Giko aku dan Danar terjebak di ballroom hingga akhir acara. "Dapat mangsa berapa?" tanyaku tanpa basa-basi. Aku yakin itu yang membuatnya puas. Giko nyengir lalu terkekeh. "Banyak sih gue dapat nomor mereka. Lo bener Win. Banyak dari mereka yang single, so lo nggak usah cemas lagi mikirin umur yang mau kepala tiga." Aku berdecak. "Masih dua tahun lagi ya." "Ya, dan lo masih banyak kesempatan buat nyari yang terbaik. Gimana tadi? ketemu yang sama-sama single dan mapan enggak?" Mataku secara otomatis melirik Danar yang duduk manis di depan samping Giko. "Ada sih. Tuh yang duduk di samping lo single dan mapan." "Astaga!" Giko tertawa. "Emang lo tertarik sama kulkas? Ahelah, kalau mau udah dari dulu kali kulkas macarin elo." "Gue manusia ya, Gi. Bukan kulkas." Untuk pertama kalinya kudengar Danar protes saat dikatain kulkas. Biasanya juga diam aja. "Eh, tadi ada yang nyamperin Danar dua cewek cantik loh. Bahkan mereka saling minta nomor WA," ujarku mengingat Tasya dan Vina. "Dan lo tau enggak salah satu dari mereka siapa?" tanyaku, sengaja membuat Giko penasaran. Posisiku maju tepat di belakang dan tengah-tengah kedua lelaki itu. "Siapa emang?" "Gebetan lo! Si Vina!" "Vina ketua cheers?" "Siapa lagi? Lo disamperin dia enggak?" "Boro-boro." Dan aku tergelak melihat bibir Giko manyun tujuh senti. Jiwa playboy-nya pasti tersentil. "Bagi-bagi nomornya, Nar," ujarnya, sembari terus fokus ke jalanan. "Lo minta sendiri aja. Gue nggak mungkin ngasih ke lo tanpa seizinnya," sahut Danar. "Pelit banget lo. Ya lo minta izinlah sama dia. Bilang kalau Giko, temen lo yang ganteng ini minta nomornya." Aku berdecih. Narsisnya bikin aku mual. Playboy bersanding dengan kenarsisan benar-benar menjijikkan. Herannya cewek-cewek itu dulu mau-mau aja dideketin Giko. Danar tertawa pelan. "Oke nanti gue tanya. Tapi kalau dia nggak kasih izin lo jangan maksa ya." "Gue pantang maksa ya, kayak di dunia ini cewek cuma dia aja." Relate banget kan jawabannya sama julukannya? Aku mendorong pelan bahu Giko. "Bu Rina gimana?" "Enggak gimana-gimana. Dia tetep partner yang hebat." Aku menggeleng dan memilih bergerak mundur. Giko sudah benar-benar tidak tertolong.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN