Ini hal gila yang aku lakukan. Mengizinkan Tama masuk ke unit. Entah apa yang aku pikirkan ketika membolehkannya datang dan menerima ajakan makan malam masakan ibunya. Aku tahu ini salah. Tapi biarkan aku bahagia sejenak. Nggak masalah kan? Setelah ini aku akan menjauh, menciptakan jarak agar bisa membatasi rasa sukaku padanya.
Aku sempat lintang pukang setelah menerima telepon dari Tama. Mendadak aku ingin terlihat mengesankan, meski berada di rumah. Lalu aku pilih midi dress sepanjang lutut bergambar dora emon super big, disambung dengan celana legging tiga perempat. Aku merasa ini adalah penampilan terbaikku saat ada di rumah. Santai, tapi nggak berantakan. Aku nggak memakai chussion seperti saat ke kantor, bedak dingin dan olesan lip blam menjadi pilihan alternatif tampil cantik ala-ala gadis rumahan.
Jantungku seakan lolos dari rongganya ketika mendengar bunyi bel pintu. Aku menarik dan mengembuskan napas beberapa kali untuk menetralisir degup jantung yang menggila sebelum aku memutuskan keluar. Jujur aku geli pada diri sendiri. Aku sudah seperti ABG puber yang sedang jatuh cinta. Sekali lagi aku menarik napas dan mengembuskannya sebelum akhirnya membuka pintu dengan perlahan. Aku hanya menguak sedikit pintu unit, tapi wajah Tama tiba-tiba muncul membuatku terkejut.
Senyumnya tersungging tinggi-tinggi, dan tangannya mengacungkan paper bag besar yang dia bawa. "Halo, aku mau mengucapkan salam kepada tetangga baru," ucapnya, yang sontak membuatku tersenyum malu. Aku menguak pintu lebih lebar lalu mempersilakan dia masuk. Begitu dia melewatiku, aku menutup pintu dan menyusulnya yang sudah berjalan lebih dulu.
"Kamu tinggal sendiri di sini?" tanya Tama sembari mengedarkan pandang mengelilingi setiap sudut apartemenku.
"Iya. Dari dulu aku sendiri."
Apartemen berukuran enam kali delapan meter ini memiliki satu kamar tidur dan satu kamar mandi yang terletak di dekat pintu masuk. Di balik dinding kamar mandi ada living room dengan satu sofa panjang serta sebuah LED yang menggantung di depannya, sejajar dengan balkon yang memiliki sliding door kaca transparan dan dapur yang tepat berada di sisi kamar. Kamarku terletak di sisi kiri berhadapan dengan sebuah partisi yang berfungsi sebagai pembatas antara pintu keluar dan pintu kamar. Terdapat sedikit ruang di antara partisi dan pintu kamar, di sana aku meletakkan stand hanging serta pot tanaman akar menjalar.
"Tempatmu nyaman. Di mana kita akan makan?" tanya Tama. Namun belum sempat menjawab dia sudah lebih dulu memutuskan. "Di sana saja." Dia menunjuk meja bar yang menyatu dengan dapur.
"Kamu mau minum apa?" tanyaku bergerak masuk ke dapur dan membuka kulkas.
"Karena kita mau makan malam aku rasa air putih cukup," ujarnya seraya mengeluarkan beberapa kotak makan dari paper bag. "Lihat, Wina. Makanan sebanyak ini masa aku disuruh makan sendiri. Perutku nggak akan muat."
Aku melihat ada rendang yang bumbunya tampak tebal berada di dalam kotak berwarna merah. Ada sambal goreng ati kentang lengkap dengan potongan petai kecil-kecil yang ikut beradu di dalam kotak makan berwarna kuning. Ada satu kotak lagi berwarna hijau yang isinya kering tempe. Dan aku melihat ada satu jar yang isinya tampak beda sendiri.
"Rasanya nggak akan bikin kamu kecewa."
Aku tersenyum seraya meletakkan dua botol air mineral berukuran sedang di hadapannya.
"Tapi nasinya belum matang. Mungkin sebentar lagi," ujarku melirik mesin penanak nasi otomatis. Karena merasa nggak enak, aku sempat menawarkan untuk menanak nasinya.
"Enggak masalah. Aku bisa menunggu." Tama beranjak duduk di atas stool. "Giko dan Danar sering ke sini enggak?"
Aku mengangguk. "Kalau Giko lagi bete sama teman kencannya dan Danar enggak ada acara, biasanya mereka akan kumpul di sini main PS dan mengacaukan unit."
Tama sontak tertawa. "Pasti seru. Aku jadi iri sama persahabatan kalian. Kapan-kapan boleh dong gabung kalau mereka lagi main di sini."
"Nggak ada yang perlu diiriin dari para lajang seperti mereka."
"Aku irinya sama persahabatan kalian. Aku nggak punya sahabat seperti mereka,"
Ya tentu saja dia kan sudah punya sahabat abadi. Aku rasa itu cukup. "Bukannya kamu juga punya sahabat dari sekolah? Bahkan sekarang sudah jadi belahan jiwa kamu."
Aku nggak suka dengan pertanyaan itu, tapi entah kenapa aku lontarkan juga.
Senyumnya yang lebar mendadak surut. "Sintia sahabat yang baik."
Hanya itu, setelahnya dia mengalihkan pembicaraan karena bertepatan dengan itu terdengar bunyi 'bip' dari mesin penanak nasi. Apa ini hanya perasaanku, dia sepertinya terlihat nggak suka jika aku menanyakan tentang istrinya.
"Nggak apa-apa kan kalau kita makan berat malam-malam begini?" tanya Tama dengan tatapan waswas.
Aku tersenyum dan menggeleng. "Nggak masalah kok. Aku nggak sedang diet."
Tama terkekeh sebentar. "Iya buat apa sih cewek diet-diet segala. Tampil apa adanya juga cantik kok," ucapnya sembari tersenyum tipis.
"Cowok memang selalu bilang gitu. Nanti giliran digelar apa adanya beneran malah protes."
Tiba-tiba aku merasa takjub dengan diriku sendiri. Tumben sekali aku malam ini bicara panjang. Bahkan sampe mencibir. Lihat, sekarang Tama tertawa karena mendengar cibiranku.
"Kalau yang aku bilang tadi serius lho."
"Kamu bilang begitu karena kebetulan punya istri yang tampil apa adanya tetep kelihatan cakep." Aku memutar bola mata lalu bergerak mengambil piring dari rak bawah kabinet.
"Ya nggak juga." Tama meloncat dari stool lalu bergerak menghampiriku yang sekarang sedang mengaduk nasi. "Sini biar aku bantu."
Aku menyingkir saat dia mengambil alih sendok nasi dan mengaduk nasi itu. Tangannya menengadah minta piring. Aku menurut saja. Dia lantas menuang nasi ke piring itu.
"Segini cukup?" tanya Tama memperlihatkan nasi di piring pertama.
"Itu kebanyakan. Aku nggak biasa makan nasi banyak-banyak seringnya lauknya yang banyak," sahutku nyengir.
"Oke." Aku melihat dia mengurangi nasi di dalam piring dan bertanya lagi. "Segini?"
"Oke, cukup." Aku menerima piring darinya, lalu dia lanjut mengisi piringnya sendiri. Yang dia lakukan membuatku berpikir apa dia melakukan hal begini juga kepada istrinya?
Kalau benar, Sintia sangat beruntung memiliki suami seperti Tama. Ah lupakan, pikiran begitu hanya membuatku iri saja.
"Jadi, kamu mau makan pake apa?" tanya Tama begitu kembali ke meja bar yang dipenuhi masakan buatan ibunya.
Aku menatap tiga kotak makan dan satu jar. "Jar ini isinya apa?"
"Oh itu abon ikan. Kamu harus mencobanya." Tangan Tama dengan cepat bergerak membuka penutup jar itu. "Ada sendok?"
"Sebentar." Aku kembali melangkah ke dapur dan mengambil wadah sendok putar.
"Oke, sip." Tama meraih salah satu sendok lalu mengambil isi jar dengan sendok itu. "Coba ini, pasti nagih," ujarnya menabur isi jar ke atas piring nasiku. Tanganku refleks mencomot abon yang dia taburkan dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Enak. Rasanya beda, ya sama abon daging sapi."
"Kan ini abon ikan, jadi jelas beda,," timpal Tama terkekeh, dia lalu melakukan hal sama pada piringnya. Setelahnya aku hanya mengangguk saat dia menawarkan satu per satu lauk pauk berlemak tinggi itu.