"Kalian berhasil menggaet klien?" tanya Danar saat dia meneleponku.
Aku baru saja turun dari bus trans Jakarta dan berjalan menuju apartemen.
"Lo tau kalau klien kita itu perusahaan tempat Tama kerja?" tanyaku balik, tanpa menjawab lebih dulu petanyaannya.
Aku berhenti berjalan dan menunggu lampu merah menyala.
"Tau. Kan gue yang nawarin kerjasama pas kemarin di acara reuni. Jadi, kemarin itu follow up tawaran gue."
Sudah kuduga. Tahu begini aku- "Dan lo tau pasti bakal dapat kontraknya, kan?"
"Oh, kalau itu belum tentu makanya aku kirim kalian. Pas itu Tama bilang mau lihat dulu proposal tawaran kerjasamanya."
Syukurlah, itu artinya usaha Arin nggak sia-sia membuat percaya calon klien.
"Lo masih di Bogor?" Aku mendongak ketika lampu merah menyala. Lalu kembali berjalan dengan pejalan kaki lainnya untuk menyeberang.
"Masih, tapi kayaknya sebentar lagi selesai. Gue pulang malam kayaknya."
"Mumpung ada di sana manfaatkan aja sekalian liburan."
"Liburan apaan? Besok masih kerja dan kejar target."
Dasar workaholic. Danar tipe loyal banget. Jadi, dia nggak mungkin menyiakan harinya untuk mengejar target klien.
"Lo mau dibawain apa?" tanya Danar. Aku sudah berjalan di trotoar biasa kembali.
"Nggak usah deh. Tiap keluar kota lo bawain oleh-oleh mulu."
"Kan sekalian mumpung aku ke luar kota."
"Nggak usahlah."
"Oke, gue tutup dulu ya. Sudah waktunya masuk ballroom lagi."
Aku berjalan santai memasuki gerbang apartemen setelah menutup panggilan dari Danar. Seperti biasa, aku memotong jalan untuk bisa segera sampai di gedung apartemen. Melewati rerumputan dan jalanan yang digunakan hilir mudik kendaraan penghuni apartemen. Sesaat aku teringat ketika mobil Tama hendak menabrakku dan tanpa sadar bibirku menyunggingkan senyum.
Pintu otomatis lobi terbuka, aku masuk dengan kepala masih menunduk karena terlalu asyik mengotak-atik ponsel. Langkahku langsung berbelok ke sayap kiri lobi menuju lift. Aku tak perlu fokus yang berlebihan untuk bisa sampai ke sana. Tiga tahun waktu yang sangat cukup untuk menghapal semua denah lokasi gedung apartemen 40 lantai ini. Namun, aku lupa jika berjalan juga harus tetap mengandalkan mata.
Ya, seenggaknya aku enggak akan sebego ini ketika sebuah suara menyapaku dengan nada terkejut. Aku melongo untuk beberapa saat ketika melihat seseorang yang kini berdiri nggak jauh dari posisiku. Kami sama-sama berdiri di depan pintu lift yang masih tertutup.
Tunggu! Aku nggak sedang berdelusi karena hari ini sempat bicara banyak dengannya kan? Aku makin merasa bodoh ketika sebelah tanganku terangkat untuk mengucek mata. Bagaimana enggak, masa iya sekarang aku melihat Yudhistira Pratama alias Tama ada di depan mataku?
"Aku sempat ragu pas mau nyapa tadi. Ternyata itu beneran kamu, Wina," ucapnya tersenyum lebar.
Namun, aku malah bingung. "Kok Bapak bisa ada di sini?"
"Aku tinggal di sini, tepatnya di lantai 27."
Sontak mataku terbelalak. Bagaimana mungkin aku nggak tahu hal ini? Dia tinggal satu gedung denganku hanya beda satu lantai.
"Jangan kaget gitu, aku baru seminggu ini pindah sih."
"Oh." Aku nggak bisa berkata-kata lagi. Dan ketika pintu lift terbuka aku segera masuk.
"Kamu di lantai berapa?" tanya Tama setelah dia menyusulku masuk lift.
"Dua enam."
"Oh ya? Cuma beda satu lantai dong. Wah, ini kebetulan apa gimana ya? Kamu ingat pas aku hampir nabrak kamu di depan, saat itu aku baru selesai melihat-lihat unitku, tapi pindahnya baru seminggu lalu," jelasnya tanpa kuminta.
Aku mengangguk. Entah ini keberuntungan atau kesialan. Aku memang berharap bisa bertemu dengannya langsung, tapi enggak bertubi-tubi seperti ini. Jujur, melihatnya dari jauh saja itu sudah cukup.
"Kayaknya kita bakal sering ketemu, Win."
Aku rasa juga begitu. Dan itu artinya aku harus pandai-pandai menjaga kesehatan jantung dan kewarasan otak.
Saat lift berhenti di lantai 26, aku pamit kepada Tama dan segera keluar. Aku setengah berlari di lorong-lorong unit. Rasanya ingin menjerit mengetahui fakta Tama tinggal di apartemen yang sama denganku. Mungkin aku enggak akan segalau ini kalau saja kejadian seperti ini terjadi di masa lalu.
Sekarang Tama begitu dekat, tapi tetap ada sekat. Dia sudah berkeluarga, aku harus menjaga kewarasan agar bisa berpikir lurus.
Aku menutup pintu unit dengan d**a yang terasa berat. Menyeret kaki, aku berjalan menuju sofa dan menjatuhkan diri di sana. Hampir tertabrak, reuni, meeting, dan sekarang satu gedung tempat tinggal. Kebetulan macam apa ini?
Notifikasi pesan w******p muncul saat galauku belum pergi. Satu pesan dari Arin.
'Gue ingat pernah bertemu Pak Tama di mana. Di IG lo, Win. Ya Tuhan, ternyata orangnya beneran ganteng ya, gue kira di foto itu pake filter.'
Filter mata lo! Gimana aku nggak kesengsem hingga rela stalking akun dia? Tama itu memorable banget.
Aku mendesah dan nggak bernafsu membalas pesan Arin. Aku nggak mau membahas terlalu lebar soal Tama dengannya. Ceritanya lain lagi kalau Tama masih single. Masalahnya aku gagal move on dengan lelaki beristri itu. Miris banget nggak sih?
Aku memutuskan berendam air hangat. Isi kepalaku terasa penuh hari ini. Mungkin saja dengan berendam bisa menyegarkan setumpuk pikiran.
Aku baru keluar dari kamar mandi saat ponsel yang sempat aku simpan di kabinet dekat tempat tidur berbunyi. Masih dengan mengenakan handuk yang melilit tubuh, aku bergerak menghampiri kabinet dan meraih ponsel itu. Aku tertegun saat melihat layar ponselku menampilkan caller ID Tama.
Percaya atau tidak, jantungku kembali berulah. Please deh, ini hanya telepon tapi tanganku ikut bergetar. Aku beranjak duduk di tepian tempat tidur sebelum menggeser layar panggilan ke atas. Dengan perasaan yang nggak karuan bentuknya, aku dekatkan benda pipih itu ke telinga.
"Wina." Suara berat Tama terdengar.
Ada jeda yang tak berarti, tapi aku gunakan untuk menarik napas panjang dan mengembuskannya seketika. "Iya."
"Aku Tama. Kamu udah save nomorku kan?"
Aku memejamkan mata, suara laki-laki itu terdengar sangat empuk di telingaku. Untuk pertama kalinya sejak menjadi pengagumnya secara diam-diam aku baru bisa mendengar suaranya melalui sambungan telepon.
"Iya sudah, ada apa ya?"
"Aku cuma memastikan saja. Kamu lagi apa? Sibuk nggak?"
Pertanyaannya sangat ramah temeh, tapi sanggup membuatku menggigit bibir.
"Enggak sih. Aku baru selesai mandi."
"Wah, pantas saja wanginya sampai sini," sahutnya lalu tertawa renyah. Seolah kami adalah teman akrab. Padahal baru berinteraksi langsung dengannya saja akhir-akhir ini.
"Garing," ujarku singkat, tapi disambut dengan tawanya lagi. Dan itu cukup membuat sudut bibirku tertarik ke atas. Aku mulai menikmati debaran ini.
"Mau makan malam bareng?"
"Hah?"
Pertanyaan Tama yang tak terduga lagi-lagi membuatku seperti orang bodoh.
"Kebetulan di apartemenku ada banyak lauk pauk. Ibuku membuatnya terlalu banyak, beliau lupa kalau sekarang aku tinggal sendiri kayaknya. Jadi, mau nggak kalau kamu ikut menghabiskannya? Sayang kalau enggak ada yang makan juga. Masakan ibuku enak banget loh."
Bagaimana ini saudara? Apa aku harus menerima tawarannya?
"Kalau kamu mau, aku akan memanaskan semuanya dan datang ke unit kamu, gimana?"