11. Mati Gaya

1057 Kata
Aku memeluk tas laptop, masih berdiri nggak jauh dari posisinya. Yudhistira Pratama tersenyum memandangku. Senyum yang masih sama seperti dulu ketika aku hanya bisa memperhatikannya dari jauh. Dan hanya dengan satu ulasan itu dadaku berdegup tak karuan. Aku makin erat memeluk tas laptop sembari membalas senyum kikuk. Dia nggak menggunakan kata "lo" ketika menyebutku, tapi "kamu". Sekarang dia klien perusahaanku, aku juga tak mungkin berlo-gue dengannya. "Apa kabar ... Pak Tama?" tanyaku setenang mungkin. Kami hanya berdua di ruangan ini dan tentu saja aku nggak akan membiarkan diriku sendiri bertingkah konyol di pertemuan yang ke .... tiga? Tama terkekeh pelan. Sudut matanya berkerut, tapi itu sama sekali nggak mengurangi ketampanannya. Diam-diam aku menarik napas dan mengembuskannya pelan. Detak jantungku yang menggila benar-benar menyebalkan. Padahal aku sudah berniat melupakannya setelah reuni itu, tapi takdir malah mempertemukan kami kembali. Aku bisa apa? "Aku baik." Aku? Alih-alih 'saya' dia menyebut dirinya sendiri dengan 'aku'. "Aku nggak nyangka kalau Danar akan mengutus kamu ke sini," sambungnya. Mataku mengerjap pelan. Jadi Danar tahu yang akan bekerjasama dengan perusahaan kami itu perusahaan tempat Tama bekerja? Refleks aku berdecak pelan, dan untungnya Tama nggak dengar. "Tahu kamu yang bakal datang mungkin kita bisa ngadain meeting di luar." Aku hanya menyunggingkan senyum. "Saya juga nggak tau, Pak." "Astaga, jangan manggil Bapak. Kita kan teman." "Tapi ini kantor dan perusahaan ini klien kami. Jadi...." "Oke, berlaku di kantor saja ya. Kalau di luar enggak." Eh? Yakin sekali kami bakal bertemu di luar? Aku melihatnya mengeluarkan ponsel. Dan ... "Boleh aku tahu nomor kamu? Kemarin di buku tamu, kamu nggak nyantumin nomor ponsel kan?" Sekali lagi aku mengerjap takjub. Dia mencari nomor HP-ku? Aku memang sengaja nggak menulis di sana. Menghindari hal-hal yang nggak aku inginkan. Tapi aku akan memberi nomor ponselku kalau ada yang meminta secara langsung. "Kamu bisa menulisnya di sini." Tama menyodorkan ponselnya. Dengan ragu aku meraih benda pipih itu, lalu mengetikkan angka-angka di sana. "Sudah." Aku langsung mengembalikannya. Dan dia tersenyum menyambutnya. Detik berikutnya ponselku yang ada di dalam saku blazer bergetar. Aku yakin Tama-lah yang melakukan panggilan. "Itu nomerku, simpan ya," ucapnya kemudian. "Oke." Aku mengangguk. Aku sudah bilang kan di depannya kemampuan berkomunikasiku mendadak payah? Nah, sekarang pun begitu. "Maaf, Pak. Saya duluan ya. Teman saya udah nunggu di bawah." "Kita sama-sama saja." Itu bukan ide bagus. Tama nggak tahu betapa dari tadi aku terus berusaha menjaga agar tetap terlihat baik-baik saja. Aku belum sempat menyahut ucapannya ketika dia membuka pintu ruang rapat. "Ayo." Dia mempersilakan aku keluar lebih dulu. Apa aku bisa menolak? Aku mengangguk dan berjalan melewatinya. Aku nggak suka situasi ini. Seakan belum cukup terkurung di ruang rapat berdua beberapa saat lalu, sekarang aku masih harus terjebak satu lift dengannya. Dalam hati aku berdoa agar ada orang selain kami yang masuk ke kotak besi ini. Namun, hingga lift bergerak turun nggak ada satu batang hidung pun yang masuk. "Jadi, kamu, Giko, dan Danar satu kantor?" tanya Tama memecah keheningan yang sengaja aku ciptakan. "Iya, benar." Aku mengumpati diri sendiri. Bukannya ini hal yang aku inginkan? Bertemu secara langsung dengan Tama. Tapi kenapa aku malah mati gaya? "Kalian benar-benar soulmate ya, dari jaman masih sekolah dan sampe sekarang berapa tahun itu?" "Kurang lebih 13 tahun." "Gila, pake pengawet ya?" Aku hanya tersenyum kecil. Meski dulu jarang dan hampir nggak pernah berinteraksi langsung dengannya, aku tahu Tama orang yang ekspresif. Tama sering mendatangi Giko ke kelas dan berdiskusi soal rencana kegiatan OSIS. Aku yang duduk tepat di belakang Giko sering mendengar obrolan mereka. "Gimana kabar Sintia?" Aku mencoba memulai. Nggak tahu juga mau bertanya apa, jadi aku lempar saja pertanyaan yang masih ada relevansinya tentang dia dan sekolah, termasuk istrinya yang satu sekolah dengan kami. "Dia baik." Hanya itu, dan saat menjawab ekspresinya agak berubah. Senyumnya nggak selebar tadi. Apa cuma perasaanku? Sepertinya dia kurang nyaman dengan pertanyaanku. Oke, mungkin aku perlu mengajukan pertanyaan lain. "Anak-anak kamu gimana? Aku mendengar kamu sudah punya dua anak." Aku merasa bangga pada diri sendiri akhirnya bisa sedikit mengeluarkan kata lebih panjang. Dan, aku juga bisa menyebutnya 'kamu'. "Mereka baik. Tumbuh dengan sangat baik di bawah asuhan ibunya. Mereka ada di Cirebon sekarang." Aku refleks menatap Tama. Mulutku bahkan sedikit terbuka. "Kalian LDR?" tanyaku setengah tak percaya. "Ya, sejak aku pindah ke sini satu bulan lalu." "Tapi Cirebon dekat, pasti kamu sering pulang kan?" "Kalau nggak sibuk biasanya satu minggu sekali." Aku mengangguk dan nggak berniat bertanya apa pun lagi. Laki-laki yang sudah menikah hidup jauh dari keluarga pasti berat. Bersamaan dengan itu lift terbuka, aku keluar dan berjalan ke lobi. Ternyata Arin sudah menunggu di salah satu sofa, dia berdiri begitu melihatku. "Teman saya sudah menunggu. Saya pamit dulu, ya. Terima kasih karena sudah mau bekerjasama dengan perusahaan jasa kami," pamitku sebelum menghampiri Arin. "Oke, hati-hati ya, Win sampai ketemu lagi." Lagi? Oh, iya. Mungkin saja kami akan bertemu lagi karena perusahaan kami bekerjasama. Aku menunduk sebentar lantas segera beranjak. Kakiku terayun cepat. "Sori, lama," ucapku begitu sampai di depan Arin. "Ayo, balik." Aku bukannya nggak tahu kalau Arin terus menatap ke belakang. Namun, aku nggak membiarkan dia berlama-lama di sini. "Lo tadi bareng Pak Yudhistira Pratama kan?" tanya Arin ketika kami menuju tempat parkir tamu Inti Persada. "Cuma kebetulan bareng di lift," sahutku yang tak mau dia membahas apa pun soal Tama. "Gue yang nyetir atau lo?" "Gue nggak mau nyerahin nyawa gue sama orang yang belum pernah mengemudikan mobil." Aku tersenyum lega karena Arin langsung merespons pengalihan topikku. "Heh, gue bisa ya nyetir." "Modal latihan beberapa hari di lapangan bola, tanpa praktek di jalan raya, gue bunuh diri kalau nekat nyerahin kontak mobil kantor sama lo." Aku tergelak. Frontal sekali wanita berponi itu mengejekku. Kami lantas segera meninggalkan gedung Inti Persada. "Gue nggak sabar ngasih tahu kabar baik ini sama Pak Danar, dia pasti sangat senang denger kita bisa gaet klien." Aku yakin sih Danar sudah tahu hasil pertemuan tadi. Sebelum ini pun lelaki itu pasti sudah yakin Inti Persada akan menyetujui proposal kerjasama yang kantor kami ajukan. Tapi, tentu saja aku nggak akan dengan tega memupus rasa bahagia Arin. "Eh, tapi Win. Muka Pak Yudhistira Pratama itu kayanya familier. Gue kayak pernah bertemu dia gitu. Tapi di mana ya?" Kembali ke Tama lagi. Aku pikir dia sudah lupa. Terang saja Arin familier, dia pernah tanpa sengaja melihat wajah Tama di beranda akun instagramku tepat saat aku sedang stalking akun Tama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN