5. Larangan Dari Levian

1155 Kata
“Aku benar-benar akan menikah ....” Hati Dini bergetar di setiap wanita berhijab itu melihat pantulan dirinya. Di cermin rias yang sekitarnya dipenuhi lampu terang, ia tak ubahnya bidadari dan kecantikannya sangat paripurna. Dini telah menjelma menjadi bidadari berkebaya pengantin putih, setelah hampir satu jam lamanya menjalani segala rias. Hijab segi empat dan mahkota mungil ia pilih untuk menyempurnakan penampilannya di hari sakralnya. Hari ini menjadi hari pernikahan Dini dan Leon. Susunan acara pernikahan tetap sesuai rencana. Benar-benar tidak ada yang berubah karena Leon tetap tidak mau menyudahi hubungan mereka. Leon selalu berucap tegas, tidak bisa tanpa Dini. Malahan Leon sempat beberapa kali mengancam akan b u n u h diri, andai Dini nekat membatalkan pernikahan maupun meninggalkan Leon. Dari semuanya, yang berubah hanya kesepakatan tempat tinggal setelah mereka menikah. Mereka yang awalnya akan tinggal di rumah orang tua Leon, tak jadi melakukannya. Sebab Dini yang sengaja menghindari Levian, meminta Leon agar jika memang belum bisa memiliki tempat tinggal pribadi, lebih baik mereka tinggal di rumah orang tua Dini saja. Sudah pukul sepuluh kurang seperempat, ketika Dini memastikannya di ponsel yang ia genggam menggunakan tangan kanan. Di sekitarnya, penata rias beserta asistennya tengah beres-beres. Mereka bekerja sama menyusun segala perlengkapan kerja mereka. Nantinya sekitar pukul sepuluh, ijab kabul akan digelar. Selanjutnya sekitar pukul satu siang, acara akan dilanjutkan dengan resepsi hingga malam dan itu masih di hotel yang sama dengan ijab kabul digelar. Tak lama kemudian, satu persatu dari tukang rias yang jumlahnya ada lima orang, pergi meninggalkan kamar hotel Dini berada. Kelimanya pergi tanpa pamit dan cenderung tampak sungkan bahkan ketakutan. Awalnya Dini hendak menanyakan penyebabnya. Dini sudah sampai berdiri meninggalkan kursi riasnya. Namun, belum sempat Dini bertanya, cermin di hadapannya sudah dihiasi pantulan sosok bertubuh tegap yang kali ini membiarkan sekitar dagu maupun lehernya dihiasi berewok tipis. Levian, pria itu sungguh datang dan menjadi alasan kelima perias Dini pergi ketakutan. Akan tetapi, jangankan sebatas pekerja, klien bahkan keluarga Levian saja, tunduk kepada Levian yang dikenal merupakan pundi-pundi kekayaan keluarga. Yang membuat Dini ketakutan, baru saja, Levian sampai mengunci pintu kamar mereka berada. S i a l n y a, kedatangan Levian langsung membuat Dini ingat pada apa yang telah terjadi di antara mereka. Lima hari lalu, di malam naas itu, Levian tega menyentuhnya, menariknya ke dalam kesalahan fatal dan itu z i n a. Jantung Dini berdetak sangat cepat dan seolah akan copot hanya karena teringat kejadian fatal tersebut. Sejak datang bahkan meski di sana sempat ada orang lain. Kedua mata Levian terus menatap lurus kedua mata Dini yang kali ini memakai soft lens hitam. Kedua mata yang biasanya sudah indah itu jadi makin indah karena adanya soft lens, dan membuat mata Dini tampak jauh lebih besar. Berbeda dari biasanya, kedua mata Levian yang biasanya tajam, justru jadi sendu, berkaca-kaca, layaknya orang akan menangis pada umumnya. Walau kedua matanya cenderung fokus menatap kedua mata Levian. Terlebih pria itu terus melangkah cepat menghampirinya. Kedua tangan Dini sibuk mencari apa pun di meja yang bisa ia gunakan untuk s e n j a t a, melindungi diri. S i a lnya, di sana tidak ada benda t a j a m. Yang ada hanya dua buah sisir, hair dryer, dan juga sebuah ponsel milik Dini. Kenyataan tersebut membuat Dini putus asa bahkan frustrasi. Jantung Dini berdetak makin kencang. Keringat dingin juga diproduksi dengan sangat gencar oleh tubuhnya kemudian keluar dari permukaan kulitnya, dan itu akibat ketakutan yang ia rasakan kepada Levian. Bahkan walau Levian yang memakai setelan jas biru gelap tanpa dasi, berakhir berlutut di hadapannya. Ketakutan Dini yang bercampur dengan kebencian kepada Levian, tetap tak bisa Dini akhiri. “Pergi!” ucap Dini dengan suara sekaligus tubuh gemetaran. Dini benci Levian, sangat. Air mata yang berjatuhan dari kedua sudut matanya menjadi saksinya. Sebab d i n o d a i oleh orang yang harusnya menjadi kakaknya dan itu dilakukan dengan sengaja di lima hari sebelum pernikahannya, menjadi mimpi b u r u k yang tak bisa Dini lupakan seumur hidupnya. “Katakan kepadaku, apa yang kamu mau? Apa pun akan aku berikan, asal kamu tidak melanjutkan pernikahan ini,” ucap Levian lirih sekaligus sungguh-sungguh. Ia menegakkan punggungnya dan menatap Dini dengan saksama. “Apakah menurutmu, aku tidak pantas bersanding dengan adikmu hanya karena kasta kami berbeda? Apakah menurutmu, wanita biasa sepertiku terlalu r e n d a h an untuk menjadi bagian dari kalian? Jika iya, kenapa baru sekarang? Kenapa tidak sejak awal? Hubungan kami bukan ada dari kemarin. Kami berpacaran selama tiga tahun, dan tiga bulan sebelumnya, kami sudah melakukan pendekatan!” tegas Dini benar-benar marah. Rasanya dan andai boleh, Dini bahkan ingin m e n i k a m, m e l u k a i Levian menggunakan s e n j a t a t a j a m tanpa jeda, sebagai balasan untuk apa yang telah pria itu lakukan. Balasan karena Levian telah m e r e n g g u t kesuciannya dan itu sama saja m e n g h a n c u r k a n kehidupannya. “Yang salah adikku, bukan kamu. Kamu terlalu berharga untuk pria seperti adikku. Karena itu juga aku melakukan segala cara agar kamu tidak bersamanya!” yakin Levian. Namun dengan tegas Dini berkata, ”Pergi!” Meski sampai detik ini Dini tidak yakin, apakah keputusannya nekat melanjutkan pernikahan dengan Leon, bisa menyembuhkan jiwanya yang telanjur trauma setelah apa yang Levian lakukan kepadanya. Terlebih permohonan yang Levian lakukan agar Dini tak melanjutkan pernikahan dengan Leon bukan untuk kali pertama. Karena sebelumnya, selama tiga terakhir, Levian mondar mandir mendatangi rumah orang tua Dini. Dari Levian yang sampai bertemu Dini. Maupun yang sekadar menunggu di ruang tamu bertemankan kedua orang tua Dini. “Pergi, ... aku mohon pergi!” lirih Dini yang berakhir menunduk sekaligus terduduk. Dari kedua matanya masih kerap menghasilkan butiran bening, meski kali ini tatapannya sudah jadi kosong. Dini merasa sangat bingung. Merasa sangat putus asa, mengenai ia yang harus melakukan apa. Karena sampai detik ini, Dini tidak yakin kejujurannya akan dipercaya. Belum lagi, selain Levian kakak dari Leon, pria itu juga sudah berkeluarga. Levian bahkan memegang kendali keluarganya karena Levian pundi-pundi kekayaan keluarganya. “Baiklah, ... cari aku jika kamu butuh. Kapan pun, aku akan ada untuk kamu. Jangan lupa, ... harusnya kemarin kamu sedang masa subur. Kamu baru beres mens. Dua minggu dari kemarin, ... bisa jadi benihku sudah menjadi janin di rahimmu,” ucap Levian berat seiring dirinya yang berangsur berdiri. “Lakukan lah apa yang kamu mau. Asal itu tidak membuatmu makin melukai dirimu,” lanjutnya yang masih menatap Dini penuh keteduhan. Di sebelah kursi rias, Dini masih terduduk loyo. Dini tak berniat mengangkat tatapan apalagi wajahnya selama Levian ada di sana. “Kenapa ucapannya seolah-olah dia peduli kepadaku? Bukankah dia tidak sudi adiknya bersanding denganku yang hanya dari kalangan biasa? Bukankah maksudnya melarangku dengan Leon, agar Leon mendapatkan wanita selevel dengan mereka, minimal seperti mbak Arina yang juga dari keluarga berada?” pikir Arina.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN