Sepanjang ijab kabul, Anna tak hentinya menangis. Anna menjadi orang yang paling sedih atas ijab kabul Dini dan Leon jalani. Hingga Levian yang awalnya menjadi bagian dari acara sengaja membawanya pergi.
“Atu mau mama Ini, Pa–pa. Mama Ini–”
Sambil bertahan dalam dekapan sang papa yang mengembannya di depan d**a, bibir mungil Anna tak hentinya mengurai cerita. Mengenai mama Ini—dan merupakan nama panggilan kesayangannya kepada Dini.
Ketika pernikahan Dini dan Leon membuat Anna menjadi orang paling terluka, hal yang tidak begitu berbeda juga Levian rasa. Sebab pernikahan Dini dan Leon juga memaksa seorang Levian menjadi orang paling tegar.
Padahal Levian sempat yakin, keputusannya m e n i d u r i Dini, menanamkan benih di rahim wanita itu, akan membuat Dini mundur dari hubungannya dan Leon. Levian sudah sempat sangat yakin, Dini akan memilihnya. Namun nyatanya, semuanya seolah sia-sia.
“Kita jalan-jalan,” lirih Levian berat karena sesak di dadanya dan teramat membuatnya tersiksa, membuatnya sulit untuk sekadar berbicara.
Levian tetap membawa sang putri pergi dari sana, meski bibir mungil putrinya terus menolak. Karena yang Anna mau sekaligus dambakan, hanya Dini. Anna tak mau berbagi Dini, bahkan itu dengan Leon yang tak lain papanya sendiri.
“Duduk, ... kita jalan-jalan. Kita beli banyak mainan, ya? Beli boneka tikus, kucing, apa putri duyung?” Berkaca-kaca Levian membujuk putrinya. Ia masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan sekaligus ditahan oleh sang sopir.
“Atu mauna mama Ni, Papa ....”
Di lain sisi, kepergian Anna apalagi Levian, menjadi kelegaan tersendiri untuk Dini. Ia tak lagi harus sibuk menghindari Levian yang selalu mengawasinya melalui tatapan. Dini merasa nyaris g i l a hanya karena seorang Levian. Namun dalam hatinya Dini sangat berharap, pernikahannya dan Leon akan membuat Levian berhenti mengusiknya.
Sampai akhirnya acara resepsi usai, Levian dan Anna tak kunjung datang. Keduanya terus dicari-cari oleh Leon sekeluarga khususnya orang tua Leon. Bukan hanya untuk kepentingan sesi foto keluarga. Sebab keluarga maupun kerabat yang datang juga menanyakan keberadaan keduanya. Tak jarang, mereka yang datang juga untuk urusan pekerjaan dengan Levian.
“Mas Levian ke mana ya? Dari ijab kabul sampai resepsi beres, mendadak menghilang. Apa Anna drop lagi?” ucap Leon terheran-heran. Tatapannya mengawasi sekitar.
Dini yang Leon gandeng, memilih diam. Dini memang tak berniat berkomentar, terlebih absennya Levian dari kebersamaan mereka, justru memuatnya merasa sedikit lebih nyaman.
“Sayang, malam ini kita tidur di rumah orang tuaku dulu ya. Di rumah kamu penuh saudara orang tua kamu yang akan menginap sampai besok, kan?” lembut Leon masih menggandeng mesra Dini.
Bersama kedua orang tua mereka, Dini dan Leon tengah meninggalkan hotel mereka menggelar acara pernikahan. Mereka sudah sampai di lobi hotel. Beberapa orang WO mereka, masih mondar mandir memboyong sisa bingkisan pernikahan, sederet hadiah pernikahan, dan juga amplop kondangan yang ada dalam beberapa kotak besar.
Sampai detik ini, Dini mejadi orang yang nyaris tidak pernah benar-benar tersenyum dengan tulus. Selain sangat terpaksa, senyum Dini juga khas orang bingung. Yang mana sepanjang acara, Dini juga cenderung melamun. Kenyataan tersebut juga yang membuat Dini kerap ditegur oleh Leon maupun orang tua mereka.
“Kamu capek banget?” lembut Leon yang tak melihat kebahagiaan di wajah Dini, bahkan walau hanya sedikit.
Pertanyaan dari Leon membuat Dini merasa ter t a m p a r. Buru-buru Dini tersenyum kemudian menggeleng.
“Dini kelihatan enggak bahagia. Seperti ada yang mengganggu pikirannya. Apa sebenarnya, Dini sudah tahu semuanya karena kak Levian ...? Jangan-jangan, kak Levian memang sudah membocorkan semua rahasiaku. Makanya Dini sampai mau mundur dari hubungan kami?” pikir Leon yang segera memboyong Dini masuk ke dalam mobil.
Leon dan Dini menggunakan mobil yang berbeda dari orang tua mereka. Seorang sopir mengantar mereka, dan suasana benar-benar sepi. Karena sepanjang perjalanan, baik Leon apalagi Dini, kompak diam.
Alasan Dini diam karena wanita cantik itu terlalu bingung dan memang terlanjur trauma. Apa yang Dini alami dengan Levian, dan Levian kata bisa menghadirkan janin.
“Kalau aku sampai hamil ... iya, benar. Kemarin saat kejadian, aku sedang masa subur. Kemungkinan aku akan hamil sangat tinggi. Apalagi saat pemeriksaan, dokter bilang, baik aku maupun Leon sama-sama subur. Kami tidak akan memiliki kendala dalam urusan memiliki momongan,” pikir Dini. Bersamaan dengan ketakutannya itu, kedua tangannya sibuk saling r e m a s di pangkuan.
“Apa yang sebenarnya Dini pikirkan? Kenapa dia makin berjarak saja, padahal kami sudah menikah?” pikir Leon mulai jengkel dan memutuskan untuk mendekati kemudian mendekap Dini dari samping belakang kanan istrinya itu.
Yang membuat Leon terkejut, Dini langsung terkejut dan bahkan langsung berusaha meloloskan diri dari dekapan Leon.
“S–sayang ...?” sergah Leon terheran-heran menatap Dini, sesaat setelah ia terpaksa mengakhiri dekapannya.
“M–maaf ...,” lirih Dini.
Dini sungguh tidak menyangka, apa yang ia alami karena Levian, dan ia takutkan benar-benar akan membuat seonggok janin hadir di rahimnya, dampaknya sangat dahsyat.
“Tenang, Din. Tenang. Suamimu tulus menerimamu. Suamimu sendiri yang terus meyakinkan kamu. Leon tidak bisa tanpa kamu, bahkan dia nekat akan b u n u h di ri andai kamu meninggalkannya. Tenangkan diri kamu. Fokus, dan bicarakan dengan baik-baik agar sama-sama nyaman. Agar Leon enggak salah paham. Lihat, Leon kelihatan khawatir banget.” Hati kecil Dini menasihati sekaligus menyemangati. Detik berikutnya, Dini menghela napas dalam kemudian mendekati Leon.
Menggunakan kedua tangan berjemari lentik miliknya yang dihias hena putih, Dini merengkuh tengkuk maupun punggung Leon.
“Aku di sini, tapi pikiran kamu ke mana-mana. Aku pengin dimanja-manja. Ingat, kita ini pengantin baru!” rengek Leon lirih dan benar-benar manja kepada Dini.
“I—iya, ... maaf. Namun memang, ... sepertinya aku kecapaian.” Sampai detik ini Dini yakin, Leon tulus kepadanya. Hingga Dini berniat untuk mengakhiri ketakutannya kepada Levian.
“Hanya malam ini. Karena besok, kami akan langsung ke rumah orang orang tuaku. Ayo semangat, Din. Ini lembaran baru kamu, dan kamu berhak bahagia!” batin Dini lagi-lagi menyemangati diri sendiri. Terlebih Leon yang tak mengizinkannya mengakhiri pelukan mereka, terus membisikkan kata-kata cinta yang tak hanya membuatnya terbuai. Sebab kata-kata cinta dari Leon, juga menghadirkan ketenangan tersendiri untuk Dini.