4. Rahasia Di Balik Permohonan

1179 Kata
“Hah ...? K—kamu, ... eng—gak bisa, melanjutkan ... hubungan kita?” Selain jantung Leon jadi berdetak sangat kencang, tubuhnya juga serasa dipanggang, dan lama-lama menjadi gemetaran. Sementara barusan, suaranya tertahan di tenggorokan. Kabar yang baru saja Leon dengar dari Dini, membuatnya seolah disambar petir di siang bolong. Tidak bisa, Leon tidak bisa menerima keputusan Dini! Setelah dua hari sulit dihubungi, tiba-tiba Dini mengabarkan tak bisa melanjutkan hubungan. Dini membatalkan rencana pernikahannya dan Leon. Dini siap mengembalikan semua yang sudah Dini terima dari Leon, guna mempertegas keputusannya. Namun Leon tidak bisa menerimanya. “K—enapa?” sergah Leon tak lama setelah air matanya berlinang membasahi pipi. Beberapa pengunjung kafe tempat Dini dan Leon bertemu, memperhatikan keduanya. Apalagi selain Leon terdengar sangat emosional, Dini sudah lebih dulu menangis. Leon masih belum tahu alasan Dini melakukannya. Apalagi meski Dini yang mengakhiri hubungan mereka, Dini juga yang terus menangis. Dini tampak sangat sedih sekaligus berat melakukannya. “Sebenarnya apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja, kan? Apa yang membuatmu melakukan ini? Apa ada yang macam-macam kepadamu?” sergah Leon serius. “Aku benar-benar minta maaf!” ucap Dini. Kedua matanya menatap pedih kedua mata Leon, pemuda yang selama tiga tahun terakhir menjadi kekasihnya. Pemuda yang juga telah membuat hidupnya berwarna. Sembari menggeleng cepat, kedua tangan Leon segera meraih kedua tangan Dini. Selain meninggalkan meja kayu yang memisahkan kebersamaan mereka, kedua tangan Dini juga meninggalkan cincin putih yang menjadi cincin pertunangan mereka, di tengah meja. Itu menjadi bukti kemunduran Dini dari hubungan mereka. “Pake! Pake lagi cincinnya! Kamu enggak boleh mengakhiri hubungan kita, apa pun alasannya! Aku enggak bisa tanpa kamu!” tegas Leon. “Namun aku bukan aku yang dulu, Ion! Aku beneran bukan aku yang kamu kenal. Aku enggak pantas buat kamu. Aku—” “Cukup. Cukup, Sayang! Apa pun itu, enggak ada alasan yang bisa bikin kamu mengakhiri hubungan kita. Dua hari lagi kita menikah. Dua hari lagi! Beneran dua hari!” lembut Leon masih berusaha meyakinkan. Kedua tangannya masih bertahan menahan sekaligus menggenggam kedua tangan Dini erat-erat. Leon bergegas meninggalkan tempat duduknya. Ia memutari meja bundar kebersamaannya dan Dini, kemudian memeluk wanitanya itu erat. “Kamu pasti kecewa,” lirih Dini tak kuasa menceritakan yang sesungguhnya. Dini takut, andai ia jujur bahwa Levian yang notabene merupakan kakak kandung Leon, justru sudah meni d u r i nya. Apakah Leon akan percaya, atau setidaknya Levian akan mengakuinya? “Enggak ... aku enggak akan kecewa. Kamu enggak pernah bikin aku kecewa,” yakin Leon masih bertutur lembut. Kemudian, ia menempelkan bibirnya di ubun-ubun Dini cukup lama. Setelah dua hari sulit dihubungi, Dini tampil dengan nuansa serba hitam. Selain terlihat sedang sakit karena wajahnya saja sangat pucat, Dini juga mirip orang yang sedang berduka. Kenyataan tersebut pula yang membuat Leon berangsur membingkai wajah Dini menggunakan kedua tangannya. Leon sampai berlutut guna mensejajarkan wajah mereka. Cara Leon menyikapinya dan memang selalu penuh perhatian, membuat Dini kian merasa bersalah. Dini merasa tak pantas, meski menjadi korban pe l a m p i a s a n h a s r a t Levian, bukan bagian dari rencana apalagi keinginannya. “Apa pun alasannya, ... apa pun yang terjadi, ... tolong jangan pernah meninggalkan aku!” lirih Leon memelas kepada Dini yang sampai detik ini masih berlinang air mata. Mata, hidung, bibir, bahkan pipi Dini yang tak dihiasi rias, jadi merah. “Aku benar-benar minta maaf untuk semua kesalahanku. Namun apa pun yang terjadi, ... aku mohon, jangan pernah meninggalkanku!” ucap Leon masih memohon. “Sudah jangan minta maaf terus. Aku yang salah. Aku yang harusnya minta maaf, bukan kamu!” isak Dini yang jadi makin tersedu-sedu. Sebab Dini sadar diri, memang dirinya yang salah. Apa yang terjadi antara dirinya dan Levian merupakan kesalahan fatal. Bagaimana jika hubungan terl a r a n g yang terjadi malam itu antara dirinya dan Levian, sampai menghasilkan janin? “Iya, ... bagaimana jika aku hamil? Bukankah saat itu aku sedang di masa subur?” pikir Dini yang merasa, maju kena, mundur apalagi. “Kenapa kalian masih bersama?” Suara barusan langsung mengejutkan Leon apalagi Dini. Iya, suara berat dan terdengar sangat marah itu merupakan suara Levian. Levian mereka dapati sudah berdiri di belakang punggung Leon. Dari cara Levian menatap Leon, pria itu tampak sangat jengkel. Apalagi ketika Levian menatap genggaman tangan Leon kepada kedua tangan Dini. Bagi Dini dan semua yang menyaksikan di sana, termasuk Leon sendiri, Levian terlihat sangat muak. “M—Mas!” sergah Leon buru-buru berdiri kemudian menghampiri Levian. Leon bermaksud memboyong Levian pergi dari sana. Ia sampai memaksanya lantaran Levian tak kunjung mau pergi dari sana. Tanpa Leon ketahui, bahwa Levian yang pada akhirnya mau ia boyong, justru menatap Dini dengan tatapan berat. Dini sudah langsung menepis tatapan Levian karena memang tidak sudi. Apa yang pria itu lakukan malam itu, telanjur membuat Dini muak. Dini bahkan bersumpah tidak akan pernah memaafkan Levian seumur hidupnya. Leon memboyong sang kakak ke depan kafe yang juga menjadi tempat parkir. Posisi mereka tidak begitu jauh dari teras kafe. Ia tak hentinya menoleh ke belakang, menjadikan Dini sebagai fokus perhatian. Leon begitu takut Dini menyusul. Meski dari keadaan Dini yang hanya diam dan menjadi menunduk loyo, harusnya Dini akan menunggunya di dalam. Terlepas dari semuanya, pintu dan sebagian dinding depan kafe yang berupa kaca tebal juga membuat Leon bisa memantau Dini dengan leluasa. Namun, semua kenyataan tersebut tetap membuat Leon takut, Dini tahu apa yang akan ia bahas dengan Levian. Makin Leon gelisah, makin muak juga Levian menghadapinya. Levian sengaja menerobos Leon dan bermaksud akan kembali masuk menemui Dini. “Mas, ... Mas tolong jangan katakan apa pun ke Dini!” sergah Leon buru-buru merangkul dan memang sengaja menahan sang kakak yang langsung menatapnya kesal. “Tolong jangan katakan apa pun. Biarkan aku dan Dini menikah. Aku enggak bisa tanpa Dini, Mas. Sumpah demi apa pun, Dini yang utama meski sekarang aku—” Ucapan cepat Leon yang terdengar sangat ketakutan bahkan di telinga Leon sendiri ditahan oleh Levian dengan berkata, “Biarkan aku yang menikahinya!” Detik itu juga Leon langsung bungkam. Leon menatap tak percaya sang kakak. “Bersamaku, Dini benar-benar akan menjadi yang utama. Namun bersamamu—” Levian yang berucap lirih, menatap muak wajah khususnya kedua mata sang adik. “Apa bedanya? Kamu dan aku sama saja, Mas! Kita sama-sama–” “Aku sudah menceraikan Arina. Hanya tinggal menunggu sertifikat perceraian saja!” tegas Levian masih berbicara lirih dan lagi-lagi memotong ucapan sang adik. “Dan aku mencintai Dini!” “Namun apa pun yang terjadi, Mas enggak bisa mengambil Dini dariku!” tegas Leon yakin. “Kita lihat saja apa yang akan terjadi!” sengit Levian yang walau kedua matanya masih menatap tajam kedua mata sang adik, ia menyingkirkan kedua tangan Leon dari kedua lengannya. “Dini sangat mencintaiku, Mas!” sergah Leon sengaja berseru kepada Levian yang sudah meninggalkannya. Namun seperti biasa, pria yang menjadi pundi-pundi kekayaan keluarga mereka itu kembali dengan kearoganannya. Levian memasuki mobil range rover warna biru gelap dan menyetirnya sendiri. Levian pergi dari sana, tanpa terlebih dulu pamit kepada Dini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN