BAB 6

1486 Kata
Gista menatap penampilannya sekali lagi, dress hitam menjadi pilihannya untuk memulai hari Senin ini dengan semangat. Walaupun ia mengakui bahwa hari Senin itu begitu menyebalkan, rasanya malas teramat sangat karena baru saja selesai liburan. Bagaimanapun ia harus tetap beraktivitas dengan penuh semangat. Gista mengikat rambutnya seperti ekor kuda. Ia menyiapkan sarapan sambil menonton Tv.  Ia akan memulai hari ini dengan menyenangkan. Gista menatap Bima yang sudah bersiap untuk pergi kerja, menunggunya di dekat daun pintu. Gista memasukkan roti yang di olesi selai kacang dan coklat itu ke dalam tempat tupperware. Ia dan Bima akan sarapan di jalan. Gista tidak lupa mematikan Tv, dan Ac, lalu berjalan mendekati Bima. Laki-laki itu seperti sangat tampan, dengan balutan kemeja putih yang sangat pas di tubuh bidangnya. Bima memandang Gista yang kini tepat di hadapannya. Wanita itu seperti biasa tetap bersemangat menjalani hari Senin yang begitu melelahkan ini. Wanita inilah yang menyemangati harinya setiap pagi. Gista membalas pandangannya, "Apa ada yang ketinggalan," Tanya Gista. "Ada," ucap Bima, ia lalu mendekatkan wajahnya ke arah Gista dan mengecup puncak hidung wanita cantik itu sekilas. Gista merasakan kecupan ringan yang menenangkan pada laki-laki ini, ia lalu tertawa. " Udah deh, nanti keburu telat," ucap Gista lalu melewati Bima begitu saja, dan berjalan keluar. Padahal hatinya berdebar Bima mengecup puncak hidungnya. Entahlah akhir-akhir ini ia berdebar berhadapan dengan Bima. Padahal laki-laki itu sering melakukannya. Mungkin ia sudah tertawa suasana. Bima mengejar langkah Gista, ia tahu wanita itu malu atas tindakkanya. Sungguh menggemaskan sekali menurutnya. "Kapan uang service keluar?" Tanya Gista, ia membuka hendel pintu. "Mungkin besok," ucap Bima, menghidupkan mesin mobil, dan meninggalkan area gedung. "Dapat berapa?," Tanya Gista penasaran. "Mungkin tiga juta lebih, untuk bulan ini," ucap Bima. Gista melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 07.20 menit. "Lumayan deh buat tambah-tambah," Gista membuka tempat Tupperware, dan makan roti itu dalam diam. Ia menyerahkan roti itu kepada Bima, yang fokus dengan setir mubil. Bima menghentikan mobil, karena lampu merah menyala. Bima mengambil roti itu dari tangan Gista. "Nanti lo pulang malam lagi," Tanya Gista melirik Bima. "Iya, biasalah hari Senin, banyak kerjaan," ucap Bima, ia makan roti itu dengan lahap. "Lo langsung ke Bank?" Masalahnya biasa Bima pagi-pagi sudah pergi ke Bank. "Gue ke kantor sebentar, ada kerjaan sedikit," Bima melanjutkan perjalananya lagi, karena lampu hijau menyala. *** Rey menatap Gista dari kejauhan, ia tahu bahwa wanita itu baru saja melaksanakan morning briefing, bersama anak-anak. Itu merupakan kegiatan rutin yang sering wanita itu lakukan. Rey yang berada dilobby berjalan mendekati Gista. Sepertinya wanita itu tidak menyadari kehadirannya, dan sedetik kemudian wanita itu memandangnya. Gista menghentikan langkah, karena Rey sudah berada di dekatnya. Oh Tuhan, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Jujur ia jarang sekali berhubung dengan Rey, karena semua laporannya ia serahkan kepada Mimi. "Selamat pagi Gista," "Selamat pagi juga pak," ucap Gista, ia berusaha tenang. "Bisa temani saya sarapan," ucap Rey, ia hanya ingin mengenal wanita cantik di hadapannya ini. Alis Gista terangkat, mendengar Rey mengajakanya sarapan bersama. Ia sempat tidak percaya bisa sarapan dengan seorang Rey. "Saya pak," ucap Gista mencoba memastikan. "Iya, kamu," "Bukannya bapak biasa dengan ..." "Saya ingin sarapan dengan kamu, Gista," Rasanya begitu tidak sopan, menolak permintaan Rey. Rey merupakan salah satu orang terpenting di sini. Ia hanya sebagian kecil karyawan. "Iya pak," ucap Gista pada akhrinya. Rey melangkahkan kaki menuju restoran. Ia melirik Gista berjalan di sampingnya. Rey mengedarkan pandangannya ke area penjuru restoran, yang sebagian terisi oleh tamu hotel yang sedang sarapan. Rey lalu duduk di salah satu kursi kosong. "Bapak mau sarapan apa?," Tanya Gista. "Kopi saja," ucap Rey. Gista menarik nafas, ia melangkahkan kakinya menuju meja prasmanan, mengambil cangkir dan ia isi dengan kopi. Andai Rey bukan direktur, ia tidak akan melakukan ini, merepotkan sekali menurutnya. Untuk apa laki-laki itu memiliki sekretaris cantik serta seksi, jika tidak melayaninya dengan baik. Gista membawa cangkir itu dan ia letakkan di hadapan Rey, ia lalu duduk. "Kamu tidak sarapan?," Tanya Rey, menatap Gista yang duduk di hadapannya. "Saya sudah sarapan pak," ucap Gista tenang. Rey meraih cangkir itu dan lalu menyesapnya secara perlahan. "Bagaimana kerjaan kamu?" Tanya Rey lagi. "Baik pak, sejauh ini tidak ada masalah," ucap Gista lagi. "Kamu dari Palembang?" Ucap Rey, karena ia membaca sekilas profil Gista di system. "Iya, saya dari Palembang pak," Rey tersenyum ia menatap Gista, "Boleh dak aku betanyo,"[1] Alis Gista terangkat dan ia lalu tertawa mendengar penuturan Rey. "Boleh bae,"[2] "Bapak, biso bebaso Palembang?"[3] Ucap Gista. "Ya tentu saja, kebetulan Ibu saya orang Palembang, hanya ayah saya orang Bali," ucap Rey. "Wah saya baru tahu, jadi bapak orang Bali," "Ya, tentu saja," ucap Rey. Gista menatap Rey, laki-laki kembali menyesap kopi. Kemeja biru muda, terpasang ditubuh bidang itu. Laki-laki itu terlihat begitu rapi menurutnya. "Bapak ingin bertanya apa?," Tanya Gista, kembali ke pertanyaan awal. "Kamu tidak memiliki kekasih," Tanya Rey, karena malam minggu kemarin, wanita itu tidak kemana-mana. Gista mengerutkan dahi, "Kenapa bapak bertanya seperti itu," "Kemarin saya mengirim pesan kepada kamu, malam minggu kemarin kamu tidak kemana-mana," "Tidak keluar malam Minggu, bukan berarti tidak memiliki kekasih," ucap Gista lagi, ia menatap mata elang itu dengan berani. "Jadi kamu sudah memiliki kekasih?," "Saya tidak mengatakan saya memiliki kekasih," "Jadi kamu tidak memiliki kekasih?," "Ya, Kenapa bapak bertanya hal itu kepada saya?," Tanya Gista penasaran. Rey memandang iris mata bening, mata bening itu begitu menarik menurutnya, "Kamu cantik, karir kamu bagus, dan menarik. Apa salahnya saya bertanya seperti itu kepada kamu. Itu merupakan pertanyaan yang lumrah, seorang laki-laki terhadap wanita yang menarik perhatiaanya," "Ya tidak apa-apa," ucap Gista pada akhirnya, sebenarnya ia tidak terima laki-laki itu bertanya hal pribadi kepada dirinya. Terlebih ini merupakan pertama kalinya ia menemani Rey sarapan. "Saya hanya ingin tahu cara pandang kamu terhadap wanita karir, dan tidak memilih menikah,"  ucap Rey, ia ingin mengetahui cara pandang wanita cerdas ini. Gista kembali memandang Rey, sepertinya itu merupakan pertanyaan terberat yang pernah ia dengar. Ia menarik nafas panjang, ia lalu berpikir cukup serius, "Sebenarnya begini, betapapun mandirinya seorang wanita, pasti ia mengharapkan menikah. Memiliki calon suami yang mempu memberikan perlindungan kepada saya dan anak-anak saya kelak," "Status sosial beranggapan menjadi masalah bagi wanita karir di kota-kota besar seperti Jakarta. Tidak sedikit wanita karir  di Jakarta menduduki posisi tinggi sebagai eksekutif perusahaan. Pendapatan mereka di atas rata-rata, belum lagi pendidikan mereka yang tinggi. Ironisnya mereka memang sulit mendapati pendamping hidup. Sementara laki-laki di luar sana yang status sosialnya sama, bisa dihitung dengan jari, dan kebanyakan mereka sudah menikah," "Sedangkan laki-laki seperti bapak, atau laki-laki lajang yang sudah mapan. Lebih memilih wanita muda, dari pada wanita karir," "Kesimpulannya posisi karir dan masih melajang, itu manjadi masih masalah tersendiri pada wanita itu sendiri. Uang yang mereka kumpulkan, real setate, dan kendaraan pribadi, yang direncanakan sejak awal, untuk rumah tangganya kelak malah menjadi tidak artinya lagi," Rey menyunggingkan senyum, itulah cara pandang Gista terhadap wanita karir yang tetap melajang. "Kamu akan tetap menjadi wanita karir?," Tanya Rey lagi. "Di dalam pikiran saya, wanita karir itu memiliki pesona tersendiri. Mereka memiliki wawasan yang luas, mandiri, memiliki ambisi yang kuat, dan percaya diri yang tinggi," "Jadi kamu tetap mempertahankan karir kamu?" Gista kembali menatap Rey, "Setelah menikah tentu saja saya akan melepaskan karir saya. Mungkin wanita karir di luar sana, menikah merupakan akhir dari perjalanan hidup mereka. Kerena saya tahu setelah menikah bukan tentang saya dan kamu, melainkan ini adalah hidup kita," "Saya berkorban seperti itu akan membuat semuanya lebih baik. Ini demi kehangatan dan kebahagiaan pernikahan saya kelak. Saya bukan jenis wanita yang egois, saya tidak akan melampaui suami saya dalam bekerja. Mungkin saya akan memilih pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah, tanpa mengorbankan keluarga saya," "Saya tidak peduli, dengan puncak karir saya, seberapa besar gaji yang saya dapatkan setiap bulannya. Saya lebih memilih memegang sodet, wajan, dan mengantar jemput anak saya ke sekolah. Saya akan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Jika membayangkan itu terasa menyenangkan menurut saya, dari pada saya menatap setumpuk pekerjaan di kantor yang tidak ada habisnya," Wow, ia sulit percaya bahwa Gista memiliki pandangan hidup seperti itu. Ia sungguh tidak menyangka bahwa seorang Gista yang memiliki pandangan hidup yang begitu nyata. Penjelasan itu terasa masuk akal dan sangat cerdas. Baru kali ini ia mendapat penjelasan yang cukup baik terhadap seorang wanita. Gista menjelaskan itu cukup menarik dan cerdas. Setelah Gista menjelaskan itu, ia semakin tahu bahwa wanita di hadapannya ini begitu menarik di matanya. "Kamu sangat menarik," gumam Rey, ia menyesap kopi itu lagi. Gista hanya diam ketika Rey mengatakan ia menarik. Ia menatap jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 10.02 menit. Sudah satu jam lamanya ia menemani Rey sarapan. "Besok ada teman saya menikah, saya ingin kamu mendampingi saya," ucap Rey. "Saya pak," ucap Gista sulit percaya. "Iya kamu," Rey lalu menegakkan punggungnya menatap Gista. Rey tersenyum penuh arti, "Sebentar lagi saya ada meeting, ayo kembali ke kantor," ucap Rey. Ia melangkah meninggalkan area restoran, dan melirik Gista yang berjalan mengikutinya. ********* [1] Boleh saya bertanya? [2] Boleh kok, [3] Bapak bisa berbahasa Palembang?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN