"Selamat pagi abang tampan,"
Bima lalu menoleh ke arah sumber suara. Sepertinya ia pernah mendengar suara cempreng itu lagi. Ia mengalihkan pandangannya ke arah wanita muda, yang berdiri di daun pintu. Tidak sembarangan orang berani masuk ke dalam kantor ini. Ia menatap semua karyawan diam di tempat, ia melirik Joko dan Ikbal, ke dua laki-laki b******k itu menahan tawa.
Masih teringat jelas, wajah wanita muda itu. Wanita itu berkulit putih, hidungnya kecil, bibirnya tipis, dan begitu lucu menurutnya. Wanita itu adalah Ramita, yang ia temui di lift kemarin. Sekarang wanita muda itu mengenakan dress merah, rambut keriting itu diikat kebelakang. Ia yakini wanita muda itu masih berstatus sekolah menengah atas.
"Kenapa kamu bisa masuk ke kantor saya," ucap Bima bertolak pinggang.
"Emang enggak boleh ya,"
Bima berjalan mendekati meja Joko, ia akan memarahi pemuda itu, mempersilahkan orang yang tidak dikenal, masuk seenak udelnya. Ia juga akan menuntut security yang berjaga, karena membirakan wanita ini masuk tanpa seizinnya. Saat ini juga, ia pastikan akan memberi surat teguran kepada semua staff, ia punya wewenang memberi surat peringatan kepada bawahannya. Ia menatap Joko, laki-laki kurus cungkring itu masih menahan tawa.
"Bukankah kalian sudah tahu selain staff, dilarang masuk. Kenapa kalian membiarkan wanita itu di sini," ucap Bima berang, menahan geram.
"Jadi bapak enggak tahu dia siapa?," bisik Joko.
Bima mengerutkan dahi, ia melirik wanita muda di depan daun pintu. Wanita itu masih menantinya di sana.
"Emang dia siapa?," Tanya Bima melirik wanita bernama Mita itu.
"Seluruh karyawan Grand hotel ini tahu siapa dia siapa pak,"
"Emang dia siapa, cepat kasih tau saya?." Menahan geram.
Joko menarik nafas ia mendekatkan wajahnya ke arah Bima dan lalu berbisik.
"Dia itu, putri sulungnya pak Roby. Mana ada yang berani ngusir dia dari sini pak, bisa jadi kita yang dipecat sama dia," ucap Joko.
Alis Bima terangkat, ia melirik wanita muda itu. Astaga, ternyata wanita muda itu anaknya pak Roby. Gila, pantas saja seluruh staff tidak ada yang berani mengusirnya. Ia mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Ia hanya tahu bahwa pak Roby memiliki dua putri, yang masih berstatus sekolah. Ia tidak menyangka bahwa yang di temuinya itu adalah pewaris bisnis ini.
"Serius,"
"Serius pak, sumpah,"
"Sejak kapan dia ada di sini?," Tanya Bima penasaran.
"Kata OB, dari jam tujuh pak," ucap Joko.
"Ngapain pagi-pagi dia ke sini,"
"Nyariin bapak katanya,"
"Wanita itu bener-bener," Bima mendadak gerah.
"Bapak bakalan menjadi pewaris kerajaan ini, kalau bisa nikahi bu Mita. Garis telapak tangan bapak, kayaknya memang ditakdirkan untuk wanita muda itu. Bapak tahukan Grand Hotel tersebar diseluruh Indonesia, apalagi di tambah pabrik ayam yang di miliki beliau. Bapak orang yang paling beruntung," .
"Gila, kamu ya,"
"Rejeki jangan ditolak pak, cantik gitu," ucap Joko lagi melirik Mita.
"Kamu benar-benar gila Jok, yaudah kamu kerja lagi yang betul," dengus Bima.
Bima menarik nafas, ia melangkah mendekati daun pintu. Ia menatap Mita, masih di posisi yang sama. Bima lalu merogoh kunci di saku celananya. Ia membuka pintu ruangan, dan menyalakan lampu di dekat daun pintu. Ia juga tidak berani mengusir wanita muda itu, bagaimanapun juga wanita inilah anak pemilik hotel ini. Bima berjalan menuju meja, dan ia lalu duduk di kursi kebesarannya. Bima menghidupkan power CPU. Sementara tas rasel, ia simpan di dekat lemari kabinet.
"Ini ruangan abang tampan," ucap Mita, ia memperhatikan ruangan berwarna cream yang tidak terlalu luas.
Mita memperhatikan tumpukkan berkas di meja. Ia tersenyum akhirnya ia bertemu lagi dengan laki-laki berwajah tampan itu lagi. Sejak pertemuan di lift, wajah tampan itu selalu terbayang-bayang di dalam mimpinya.
"Iya," ucap Bima, ia membuka dokumen di dalam map.
"Abang tampan, udah sarapan enggak," ucap Mita.
"Sudah,"
"Padahal aku bawain sarapan loh buat abang tampan," ucap Mita, ia lalu menyodorkan, tempat tupperware berwarna biru di hadapan Bima.
Bima menatap layar komputer, ia membuka system accounting. Ia akan bekerja dengan tenang, tapi wanita ini malah menggangunya.
"Sarapan ini aku buat sendiri loh tadi di kitchen, sushi ala Mita dijamin enak," ucap Mita lagi. Ia sengaja membuat makanan itu sejak pagi, di bantu oleh beberapa staff kitchen yang masuk pagi.
Bima melirik wanita muda itu, dan menatapnya cukup serius, "Kamu tidak perlu repot-repot membuatkan sarapan untuk saya,"
"Di coba aja dulu, ini pertama kalinya Mita masak, demi abang tampan,"
Bima menatap Mita, wajah wanita muda itu terlihat penuh harap. Ia memandang tupperware berwarna biru di depannya.
"Oke terima kasih, kamu sudah repot-repot membuatkan sarapan untuk saya," ucap Bima lagi, ia kembali menekuni pekerjaanya.
Mita tersenyum bahagia, ternyata abang tampan itu menerima makanan yang dibuat sendiri olehnya.
"Jam segini kamu seharusnya berada di sekolah, bukan berkeliaran di sini," Ucap Bima.
"Mita baru selesai ujian ," ucap Mita, ia melihat apa yang di kerjakan Bima.
"Kamu sekolah di mana?," Tanya Bima, berusaha tenang, dan kembali bekerja, mengurusi laporan-laporan di meja.
"El Shaddai,"
Alis Bima kembali terangkat, ia sudah menduga bahwa pak Roby tidak akan membiarkan anaknya sekolah disembarangan tempat. Ia tidak tahu berapa banyak uang, yang pak Roby keluarkan untuk pendidikan anaknya.
"Rencana kamu akan kuliah di mana?" Tanya Bima lagi.
Mita mengedikkan bahu, ia lalu tersenyum, "Papi maunya di Yale, tapi akunya enggak mau kuliah," ucap Mita lagi.
Bima melirik wanita muda yang duduk di hadapannya. Banyak anak-anak di luar sana begitu mendambakan kuliah di sana, termasuk dirinya dulu. Tapi wanita muda ini malah tidak ingin kuliah, yang benar saja. Apakah orang kaya semua seperti ini?,
"Kuliah itu asik, banyak temannya. Yale itu kampus keren, salah satu kampus terbaik di dunia," ucap Bima.
"Mau kampus yang terbaik juga, aku enggak bakalan kuliah,"
"Kamu mau jadi apa enggak kuliah, sarjana aja banyak yang nganggur, apalagi SMA," timpal Bima, ia menyandarkan punggungnya di kursi, ia penasaran dengan isi tupperware biru itu.
Bima lalu membuka tutup itu dan ia terpana menatap sushi warna-warni tersaji di sana. Susunan sushi itu begitu menarik, ia melirik Mita. Wanita itu tersenyum simpul. Bima ingin merasakan sushi cantik itu, sedetik kemudian ia masukkan ke dalam mulutnya, ternyata enak.
"Ya, aku mau jadi istri abang tampan lah. Kata papi abang tampan itu pinter banget," ucap Mita pada akhirnya.
Bima mendengar itu lalu tersedak, hampir saja sushi yang ada dimulutnya keluar. Ia dengan cepat menegakkan punggungnya, berjalan menuju dispenser. Bima mengambil air mineral. Ia meneguk air mineral itu secara perlahan, sambil melirik Mita. Oh Tuhan, ia tidak percaya atas ucapan wanita muda itu. Ia hampir gila, ternyata pak Roby mengatakan dirinya pintar, memuji secara terang-terangan kepada putri sulungnya.
"Abang tampan enggak apa-apa kan?," Tanya Mita, penuh khawatir mendekati Bima.
Oh Tidak, ia hampir gila memikirkan wanita muda ini.
"Jadi papi kamu tahu kamu di sini,"
"Tau lah, papi yang ngasih tau ke aku, kantor abang tampan di sini,"
"Oh Tuhan," Bima semakin gila melihat ini semua.
Bima lalu dengan cepat, merapikan berkas di meja kerja. Ia lebih baik ke Bank, dari pada mengurusi wanita muda itu. Terlebih masalah ini akan terlibat dengan pak Roby. Bima meletakkan cangkir itu di meja. Ia tidak ingin terlibat lebih jauh kepada wanita bernama Mita. Ia hanya takut jika terlibat dengan pak Roby, maka ia tidak bisa sulit keluar.
"Abang tampan enggak apa-apa kan?," Ucap Mita, dengan penuh khawatir.
"Enggak apa-apa kok," ucap Bima, ia mengambil dokumen-dokumen itu. Ia lalu berjalan menuju pintu. Ia akan meninggalkan wanita itu begitu saja.
"Abang tampan mau kemana?," Tanya Mita, ia mengejar langkah Bima.
"Saya akan ke Bank, tolong jangan ganggu saya,"
"Mita boleh ikut enggak?," Ucap Mita.
"Enggak boleh,"
"Jadi Mita harus gimana dong, Mita ke sini kan mau ketemu sama kamu," ucap Mita lagi.
"Kamu tunggu di sana, sampai saya pulang," ucap Bima, menunjuk kursi kebangganya.
"Tapi abang tampan enggak lama kan,"
"Tergantung,"
"Yaudah Mita tunggu kalau gitu," ucap Mita pada akhirnya.
Bima kembali melanjutkan langkahnya menuju pintu, dan keluar dari ruangan.
***