Gista memegang troli, diikuti oleh Bima, ia melirik Bima memasukkan mie instan, sementara ia mengambil saus dan kecap. Gista menarik nafas ia menatap laki-laki itu, ia lalu mengembalikan lagi mie instan itu ke dalam rak.
"Kok di keluarin lagi," ucap Bima.
"Kebanyakan,"
"Ya untuk persediaan aja, lo tau sendiri gue suka laper kalau malam-malam,"
"Tapi enggak sebanyak ini juga Bim," ucap Gista ia lalu menjauhi troli dari Bima. Bima mengikuti langkah Gista.
"Gis,"
"Apa," ucap Gista, ia memasukan jamur dan tofu, sepertinya ia akan memasak soup hari ini.
Bima mengambil Styrofoam berisi daging, "Gue mau makan semur daging kering, seperti yang lo masak kemarin,"
"Oke," ucap Gista, karena itulah masakan yang paling praktis menurutnya.
Bima memasukan beberapa daging dalam troli. Ia lalu merangkul bahu Gista, menyusuri bagian bahan-bahan makanan.
"Bim, Gue mau buat kue deh,"
"Emang lo bisa? Waktu itu aja gagal," ucap Bima. Gista pernah membuat cheesecake, tapi hasilnya tidak memuaskan. Terpaksa ia makan kue itu demi menyenangkan hati sang sahabat tercinta.
"Ya dicoba aja lagi, siapa tau gue bisa buka usaha pastry," ucap Gista, ia menatap Bima dengan penuh harap.
"Yaudah beli aja bahan-bahannya," ucap Bima, ia dan Gista mencari mentega, tepung, gula, keju, coklat, dan s**u.
"Lo mau makan apa lagi, mumpung di supermarket nih. Soalnya gue seharian ini mau masak-masak,"
"Enggak itu udah cukup kok," ucap Bima, mereka berjalan menuju kasir.
"Bim, lo enggak ada niat buat balik keapartemen lo," tanya Gista, ia melirik Bima, sudah beberapa hari laki-laki itu nyaris tidak pulang.
"Enggak, males,"
"Ih kok gitu,"
"Kenapa emangnya? Rencananya gue mau angkut semua baju gue ke tempat lo malah,"
"Ih, lo bener-bener. Kan sayang apartemen lo enggak ditinggalin,"
"Mau gue jual, buat modal usaha gue di bali," ucap Bima lagi, masih menunggu antrian.
"Serius?,"
"Serius lah, udah lama kali gue rencanain ini, kalau udah mantap, gue cerita deh sama lo,"
"Jadi beneran lo mau pindah, emang udah ada yang tertarik sama apartemen lo?"
"Ada sih beberapa orang berminat, tapi harganya belum cocok sama gue,"
"Lo enggak becanda kan," ucap Gista mencoba memastikan.
"Enggak lah, ngapain becanda kalau soal ginian,"
"Emang lo mau buka usaha apa Bim? Kuliner? Emang siapa kokinya, siapa yang masak?."
Bima tersenyum dan lalu tertawa, "Mau nya sih lo yang masak, secara masakan lo enak,"
"Ih kok gue," Gista dan Bima kini sudah berdiri dihadapan kasir.
"Iya dong, siapa lagi yang masak, kalau gue ya enggak bisa masak,"
"Lo kan pinter masak, terus pasti ada karyawan, ya lo suruh suruh aja mereka yang ngerjain, lo duduk manis sambil mantau mereka, gitu aja,"
"Jadi gue kerja sama lo dong," ucap Gista, ia mengeluarkan barang-barang belanjaanya di meja counter kasir.
"Iya, lo orang pertama yang gue rekrut,"
Gista memicingkan matanya manatap Bima, "Sorry ya, gue masih mau kerja pakek jas, cantik, rapi, wangi, dari pada kerja di dapur panas-panasan," timpal Gista.
Bima lalu tertawa menatap Gista, ia mengelus puncak kepala itu. Ia mengeluarkan dompet dan mengeluarkan kartu debitnya, menyerahkan kepada kasir.
"Total keseluruhannya tiga ratus lima puluh ribu pak, mau tambahan pulsanya,"
"Enggak mbak," ucap Bima.
Gista menatap Bima, masih nampak tenang merangkul bahunya. Inilah alasan ia tidak pernah pacaran, karena baginya Bima lebih dari sekedar pacar. Laki-laki itu begitu hangat, dan selalu ada untuk dirinya.
***
"Gista ...!"
Bima dan Gista lalu menoleh ke arah sumber suara. Ia menatap seorang wanita di sana, wanita itu berlari sambil melambaikan tangannya. Ia tidak percaya bahwa ia bertemu dengan sahabat SMA nya di sini.
"Siapa dia?," Tanya Bima, ia membuka bagasi belakang.
"Teman gue SMA, namanya Putri Jasmine, tapi dipanggil Mimin, anak walikota Palembang dulunya," ucap Gista mencoba menjelaskan kepada Bima.
"Teman lo anak pejabat dong," ucap Bima lagi.
"Iya dong, secara gue dulu termasuk salah satu ABG sosialita di Palembang, teman-teman gue anak orang kaya semua," timpal Gista, mencoba menyombongkan diri dihadapan Bima, atas status pergaulannya dijaman dulu.
Bima memperhatikan wanita bernama Putri Jasmine. Jika di banding Gista, cantik Gista kemana-mana, bagai bumi dan langit. Ia mengusap tengkuknya yang tidak gatal, anak walikota jauh dari kata menarik menurutnya, tubuhnya terlalu kurus, dan giginya pakek behel berwarna hijau pula. Pengennya sih tertawa melihat Gista, memiliki teman seperti itu. Bima lalu masuk ke dalam mobil, membiarkan Gista dan temannya ngobrol di sana.
"Gila, lo cantik bener sekarang," ucap Mimin, memperhatikan penampilan Gista, wanita itu padahal hanya mengenakan celana jins dan kemeja berwarna putih, pakaiannya simpel, tapi sangat menarik di matanya.
Wajar saja Gista memiliki tubuh tinggi ideal, rambut bergelombang, gigi putih bersih, kulitnya sehat, dan tentu saja mata indah Gista yang selalu mempesona laki-laki di luar sana. Dulu Gista lah yang paling cantik di antara semua sahabatnya dan yang pasti paling dekat dengan dirinya. Ia bahkan hampir tidak percaya bertemu dengan sahabatnya di sini.
"Biasa ajalah, gue gini-gini aja, lo yang makin cantik tau," ucap Gista lagi.
Mereka berteman sudah hampir enam tahun lamanya dulu di sekolah. Sekarang mereka bertemu lagi di Jakarta. Oleh sebab itu Mimin begitu antusias bertemu dengan Gista.
"Lo udah lama di Jakarta?" Tanya Mimin.
"Lumayan lima tahun sih, semenjak lulus kuliah gue langsung cari kerja di Jakarta,"
"Pantesan gue enggak pernah liat lo di Palembang," ucap Mimin, ia melirik laki-laki yang duduk di dalam mobil. Sumpah demi dewa-dewa di muka bumi ini, laki-laki itu keren, mengingatkan dia ke salah satu aktor Turki favoritnya versi Indonesia.
"Lo tinggal di mana?," Tanya Mimin penasaran.
"Di Rasuna, dan lo tinggal di mana?," Tanya Gista, ia mengeluarkan ponselnya, ia akan meminta kontak sahabatnya ini.
"Gue tinggal di Taman Anggrek, lo kerja?," Tanya Mimin penasaran, ia mengapit tas kecil yang dipegangnya.
"Gue kerja di Grand Hotel,"
"Gila hebat, jadi lo kerja di hotel bintang lima,"
"Biasa ajalah, lo sibuk apa Min?," ucap Gista sambil tertawa, ia menyandarkan punggungnya di sisi mobil.
"Gue masih bantu-bantu di kantor notaris bapak gue,"
"Owh ya, lo sama siapa ke sini?" Tanya Gista.
"Sendiri, minta WA lo dong,"
"Ini rencana gue mau minta WA lo juga, ya setidaknya ada temanlah di Jakarta," ucap Gista lagi.
Mimin dan Gista saling bertukar nomor ponsel. Ia memandang Gista cukup serius, "Itu cowok lo?," Tanya Mimin penasaran, melirik laki-laki tampan yang berada di dalam mobil.
"Owh bukan, sahabat gue namanya Bima," ucap Gista melirik Bima yang masih menunggu di dalam.
"Gila, keren banget, sumpah gue pikir artis dari mana lo bawa tadi. Kenalin dong Gis sama dia, kece banget, meleleh gue liatnya,"
Gista lalu tertawa, ia menatap Bima. Bima membalas pandangannya, dan alisnya terangkat.
"Bim, temen gue mau kenalan sama lo," ucap Gista.
Bima menurunkan kaca jendela, dan mengulurkan tangannya ke arah wanita itu.
"Hey saya Bima,"
Mimin lalu membalas uluran tangan kokoh itu, "Putri Jasmine, panggil aja Mimin," ucap Mimin dengan rasa bahagia.
Bima dengan cepat melepaskan tangannya dan menatap Gista. Dengan kilatan mata, menyuruh wanita itu masuk ke dalam mobil dan pergi dari sini.
"Min, gue balik dulu ya, lo hubungin gue aja kalau mau ngumpul, kita jalan kemana gitu,"
"Iya, siap, beres deh," ucap Mimin.
Gista lalu memeluk tubuh Mimin, "Gue kangen sama lo, nanti kita ngumpul lagi ya,"
"Gue juga kangen sama lo," ucap Mimin melonggarkan pelukkanya.
"Gue balik dulu ya, lo hati-hati jalan sendiri, ini Jakarta," ucap Gista lalu masuk ke dalam mobil.
"Iya lo tenang aja," ucap Mimin lagi, lalu melambaikan tangan ke arah Gista. Mobil itu sudah menjauh darinya.
***