Theya tersenyum lebar. Kedua tangannya terentang, begitu melihat beberapa anak yang menyadari kedatangannya--berlagi ke arahnya.
“Kak Theya datang!!!” pekik suara anak-anak itu. Meraka lalu memeluk kaki sang kakak.
Theya tertawa keras. Tangannya bergerak mengusap tiga anak yang membelit kakinya. Mengangkat kepala—wanita yang bahkan belum melepas jaket setelah memarkirkan motor bebeknya itu, tersenyum.
“Erna tidak mau peluk kak Theya?” tanya wanita itu, yang dibalas dengan bibir cemberut sang anak kecil berusia 5 tahun yang berdiri tak jauh di depannya.
“Nggak ada tempat.” Bibir Erna masih mengerucut.
Theya lalu meminta ketiga anak lain untuk melepas pelukan mereka, agar Erna bisa ganti memeluknya. Setelahnya, Erna tersenyum lebar sembari berlari menubruk tubuh sang kakak. Lagi, Theya tertawa begitu lepas. Hanya di tempat inilah Theya bisa kembali menjadi dirinya sendiri. Dia tidak perlu lagi mengenakan topeng ketegaran yang selama dua tahun terakhir selalu ia kenakan di dunia luar sana.
“Biarin Kak Theya masuk dulu.”
Sang anak kecil yang masih memeluk sang kakak, melepas pelukan. Kepala anak itu menoleh, lalu tersenyum--memperlihatkan beberapa gigi ompongnya. Keempat anak kecil yang menyambut kedatangan Theya kemudian berbaik, dan berlari masuk ke dalam rumah.
Theya melangkah dengan senyum yang masih mengembang. Wanita itu meraih tangan kanan sang bunda, lalu menciumnya.
Theya sudah akan mengikuti hela langkah sang bunda, sebelum dia mengingat sesuatu. Theya menepuk keninggnya sendiri, membuat sang bunda menatap dengan kernyitan di kening.
“Lupa. Tadi sempat beli jajan buat anak-anak.”
Theya lalu memutar tubuh, berlari menuju tempatnya memarkir si bebek. Mengambil kantung plastik besar yang ia gantung di motor.
Theya mengangkat kantung plastik di tangan kanannya, saat kembali menghampiri sang bunda yang tersenyum teduh. Theya selalu menyukai senyum teduh wanita 60 tahun ini. Wanita yang sudah seperti ibu kandungnya sendiri. Wanita yang mencintainya, dan menyayanginya dengan tulus. Theya tidak tahu apa jadi dirinya, jika ia tidak ditemukan oleh perempuan yang sebagian besar rambutnya saat ini sudah memutih.
“Theya nggak bisa lama-lama, Bun. Cuma mau nengok anak-anak sebentar. Udah kangen sama mereka,” beritahu Theya, setelah bisa menyamai langkah kaki sang bunda—masuk ke dalam rumah.
Sang bunda mengangguk paham. Melihat seragam putih-putih yang dikenakan oleh putrinya, ia sudah tahu jika sang putri akan berangkat bekerja.
“Apa kabar Cylo?” tanya sang bunda.
Theya menganggukkan kepala. “Baik. Dia nitip salam buat Bunda dan anak-anak.”
“Sepertinya dia semakin sibuk.”
Theya kembali menganggukkan kepala. “Iya.” Wanita itu tersenyum. Setelah menjabat sebagai direktur rumah sakit setengah tahun lalu, Cylo memang semakin sibuk.
Pria itu sering pulang ke rumah nyaris tengah malam.
Theya paham, posisi Cylo sebagai direktur, ditambah dia juga belum melepas jabatan sebagai kepala departemen bedah—membuat waktu pria itu habis di rumah sakit. Theya tidak merasa keberatan, karena memang pernikahan mereka hanya sekedar satu rumah bersama. Tidak ada yang memainkan hatinya di sana.
“Kamu harus memperhatikan kesehatan suami kamu.”
Theya menghentikan hela kakinya. Wanita itu memutar tubuh. Sang bunda menatap cemas ke arahnya.
“Sudah dua tahun. Apa sesulit itu untuk mencintainya?”
Sang bunda mendesah. Sebelah tangannya terangkat—mengusap lengan sang putri. Sementara Theya hanya terdiam membalas tatap sedih sang bunda.
“Dia pria baik. Bunda bisa melihatnya.”
Tarikan nafas Theya terlihat begitu kentara. Wanita itu sedang mencoba mengelola emosinya. Setiap kali melihat bagaimana sang bunda mengkhawatirkan dirinya—Theya selalu merasa bersalah. Wanita tua ini tidak seharusnya memikirkan dirinya sebesar ini. Theya bukanlah darah dagingnya, namun bunda memberinya cinta dan kasih sayang yang tak akan pernah sanggup Theya balas.
“Dua tahun lalu, kamu meyakinkan bunda bahwa Cylo lebih tepat menjadi imam mu, dibanding Leon.”
Theya memang tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya, Leon, dan juga Cylo. Bunda sudah sangat menyayangi Leon dan mendukung pernikahan mereka berdua waktu itu. Theya tidak sanggup menyakiti hati bundanya, jika wanita itu tahu apa yang sudah Leon perbuat di belakangnya. Theya menelan bulat-bulat cerita dua tahun silam untuk dirinya sendiri. Oh … dan Cylo tentu saja. Karena pria itu yang menyelamatkannya dari kebusukan serigala berbulu domba seperti Leon. Cylo juga menyelamatkan dirinya, dan bundanya dari rasa malu--jika pesta yang sudah disiapkan itu, gagal.
Atheya selalu bersyukur dan berterima kasih karena Cylo menyelamatkannya. Namun, untuk mencintai pria itu—bagaimana bisa Theya lakukan, saat ia juga tahu jika Cylo masih menunggu seseorang.
Pria itu sudah memiliki kekasih ketika itu.
“Berusahalah lebih keras supaya bunda bisa segera mendapat cucu.”
Sang bunda kemudian tersenyum, sembari menepuk-nepuk punggung Theya. Wajah tua itu berubah sumringah.
Theya mau tidak mau menarik kedua sudut bibirnya. Ia lebih suka melihat senyum di wajah tua sang bunda. “Theya akan berusaha.”
Dan Theya bisa melihat senyum yang semakin lebar di wajah bunda. Sungguh … Theya ingin melihat wanita ini selalu tersenyum. Ia tidak ingin membuat sang bunda yang sudah tidak lagi muda—selalu mencemaskan dirinya. Masih ada adik-adiknya yang pasti juga menjadi beban pikiran sang bunda.
“Ah … iya. Theya mau kasih ini dulu ke anak-anak,” ujar Theya, ketika kembali mengingat kantung plastik yang masih ditentengnya.
Sang bunda mengangguk dengan senyum, lalu membiarkan Theya bergegas masuk ke dalam rumah. Sementara dirinya berjalan menuju dapur.
Anak-anak itu langsung berteriak senang, begitu melihat Theya datang dengan kantung plastik besar di tangan. Mereka bergegas berlari menghampiri. Anak yang paling besar mengambil alih kantung plastik dari tangan Theya. Mengucapkan terima kasih banyak-banyak, lalu mulai membagi isi di dalamnya dengan yang lain.
Theya tersenyum, melihat sebahagia apa mereka hanya dengan jajanan yang tidak seberapa, yang ia beli di mini market--sebelum datang ke rumah masa kecilnya.
Menghembuskan nafas panjang, Theya lalu memutar tubuh. Dia harus segera berangkat bekerja.
Theya menolehkan kepala ke kanan kiri, mencari keberadaan sang bunda. Sepasang kaki itu kemudian terhela, ketika rungunya menangkap suara yang berasal dari dapur.
“Mas Cylo kan ganteng kayak orang-orang bule, mbak Theya juga cantiknya ngalahin artis-artis … anak mereka nanti pasti lucu-lucu, cantik sama ganteng pula.”
“Didoakan saja supaya mereka bisa cepat punya keturunan.”
“Oh … iya, sudah dua tahun kan, Bun? Apa mungkin … mbak Theya kurang subur?”
“Anak itu rezeki. Mereka belum punya anak, ya itu karena memang belum rezeki mereka.”
“Maksud Surti, mungkin Bunda bisa kasih tahu mbak Theya untuk makan kuning telur ayam kampung. Siapa tahu nanti bisa cepet tek dung.”
“Huss …. Bahasa kamu itu lho, Sur.”
Theya menahan tawanya. Dia tidak tersinggung dengan perbincangan sang bunda bersama mbak Surti. Sama sekali dia tidak merasa tersinggung, karena memang mereka tidak berhubungan suami istri. Bagaimana caranya dia bisa hamil? Mereka hanya tidak tahu kenyataan tersebut. Jadi wajar, jika orang akan menebak-nebak apa yang membuatnya masih belum hamil, padahal sudah dua tahun menikah.
Theya berdehem, untuk memberitahu keberadaannya pada dua orang yang masih sibuk di depan kompor. Dua orang itu menoleh bersamaan.
Theya mengulas senyum, lalu melanjutkan hela langkahnya.
“Theya mau pamit berangkat kerja, Bun. Besok minggu Theya main lagi ke sini.”
Sang bunda mengusap kedua telapak tangan ke celemek yang dikenakannya, sebelum mengulurkan tangan kanan yang langsung disambut oleh sang putri.
“Hati-hati dijalan. Ingat pesan Bunda tadi,” peringat wanita tua itu, sebelum menarik tubuh sang putri, lalu memberikan ciuman di kedua pipinya.
Theya tersenyum, lalu mengangguk. Berpamitan sekali lagi dengan dua orang pengasuh panti, Theya kemudian memutar tubuh. Menghela kaki keluar rumah panti.
***
Cylo mengedarkan matanya, ketika melewati nurse station—tempat biasa sang istri berada, ketika berjaga pagi. Wanita itu belum terlihat.
“Selamat pagi, Dok.”
Cylo menganggukkan kepala, tanpa berniat menghentikan langkah untuk membalas sapaan mereka. Para perawat itu juga hanya tersenyum, melihat sang direktur berjalan melewatinya begitu saja. Sudah biasa. Apalagi, tidak ada Theya di tempat itu. Jika Theya ada, paling tidak, pria itu akan menolehkan kepala. Ya … maklum saja. Namanya juga ada istrinya.
“Tumben, Theya nggak berangkat bareng pak dirut.”
“Iya. apa … mereka sedang bertengkar?”
“Hati-hati kalau bicara. Kerja!”
Dua orang yang sedang membicarakan Theya dan Cylo berjengkit, lalu segera bergerak menjauh. Kembali sibuk dengan pekerjaan mereka, ketika kepala perawat menegurnya.
Di rumah sakit tersebut, semua pegawai--bahkan sampai cleaning servis, mengetahui kisah Theya sang perawat, dan Cylo sang dokter bedah sekaligus anak dari pemilik rumah sakit—dua tahun silam. Mereka yang tahunya Theya akan menikah dengan kekasihnya—yang tidak lain adalah adik sang dokter bedah, dikejutkan dengan undangan dengan nama Abraham Cylo Reksatama sebagai nama calon pengantin pria. Padahal, kekasih Theya adalah Leonar Reksatama. Yang juga berprofesi sama seperti sang kakak.
Ketika itu, banyak spekulasi bermunculan tentang cinta segitiga dua orang anak pemilik perusahaan farmasi, dan rumah sakit—dengan seorang perawat bernama Atheya Nur Salsabila. Seorang perawat yang menjadi banyak incaran para dokter muda karena kecantikannya.
Namun, gosip yang akhirnya berkembang adalah Atheya berselingkuh dengan Cylo, karena pria itu yang nantinya akan mewarisi rumah sakit. Karena selain anak sulung, Cylo adalah anak wanita yang membesarkan rumah sakit ini. Ibu Cylo adalah wanita keturunan Meksiko yang menikah dengan pria pribumi keturunan Cina. Wanita itu adalah seorang dokter kandungan. Sedangkan papa Cylo yang juga papa Leon adalah seorang anak pengusaha perusahaan obat-obatan.
Leon sendiri adalah anak dari istri kedua Arya Reksatama, yang berkewarganegaraan korea--sebelum akhirnya berganti warga negara, setelah menikah dengan Arya Reksatama.
Gonjang-janjing rumor perebutan kekuasaan itu sudah terdengar sebelum pernikahan Theya dan Cylo. Dan pemenangnya baru terlihat setengah tahun lalu, ketika akhirnya Cylo yang terpilih menjadi direktur rumah sakit menggantikan sang papa. Kenyataan yang seolah membenarkan persepsi orang-orang tentang seorang Atheya Nur Salsabila. Seorang wanita yang mengorbankan cinta, demi kekuasaan.