Leon masih jelas mengingat kejadian dua tahun lalu yang membuatnya memutuskan pergi jauh. Hari itu, saat semua sudah siap dan satu minggu lagi ia dan Theya akan menikah, dia mendapatkan kejutan luar biasa.
Leon membanting gelas di tangan, saat ingatan itu kembali mengganggunya. Membuat Lea yang mengikuti pria itu ke apartemen setelah pesta selesai—memekik kaget.
“Mereka berdua benar-benar iblis! Aku bersumpah akan menghancurkan mereka berdua.”
Lea berjingkat menghampiri Leon. Ia tidak ingin kaki mulusnya terkena serpihan kaca. Wanita itu lalu duduk di samping Leon. Lea menoleh, menatap lekat pria di sampingnya.
“Apa rencanamu sekarang?”
Leon mengepalkan kedua tangannya. d**a pria itu naik turun dengan cepat ketika sang pemilik sedang menahan amarah yang meluap-luap. Sepasang manik mata pria itu menyorot tajam penuh kebencian.
“Aku akan mengambil alih rumah sakit.” Satu sudut pria itu terangkat. Ia tahu, Cylo pasti akan hancur, jika pria itu kehilangan rumah sakit. Rumah sakit yang dibangun oleh ibunya—dulu.
Sepasang mata Lea semakin menyipit melihat seringai mengerikan Leon. Wajah putih Leon bahkan kini sudah memerah.
“Setelah itu, aku akan mengambil kembali Theya.” Pria itu tersenyum lebar. Memutar kepala ke samping, hingga akhirnya bisa bertemu tatap dengan Lea, pria itu kemudian bertanya, “Bagaimana? Bukankah rencanaku … sempurna?”
Lea mendelik. “Kamu gila?” Tangan kanan wanita itu terangkat, lalu bersiap untuk memukul kekasihnya yang dia anggap sudah gila, sebelum tangan Leon dengan sigap mencekal pergelangan Lea. Pria itu tersenyum semakin lebar.
“Kamu pikir aku apa?! Kamu akan membuangku setelah semuanya?!” marah Lea. Dia tidak terima diperlakukan seenak hati oleh Leon. Dia sudah mempertaruhkan semuanya. Dia mengikuti Leon hingga ke Itali. Lalu sekarang pria itu berencana untuk membuangnya??
“Ayolah, Lea. Jangan bodoh.” Sepasang alis Leon terangkat.
Lea menghempas tangan Leon dengan kasar. Wajah wanita itu memerah karena marah.
“Kamu pikir … untuk apa aku ingin mengambil Theya lagi?”
“Karena kamu masih mencintainya. Kamu tidak pernah benar-benar melupakan wanita itu. Dia sudah mengkhianatimu. Dia sudah menghancurkanmu. Tapi kamu masih tetap saja mengharapkan perempuan k*****t itu!!” Lea murka.
Leon menahan kedua tangan Lea yang berusaha menumpahkan kemarahan dengan memukulinya. “Aku akan membunuhnya, Leon. Aku akan membunuh perempuan itu!” Hati Lea sakit. Bagaimana bisa Leon tidak melihat pengorbanannya selama ini? bagaimana bisa wanita itu masih bertahan di hati Leon? Dia membenci Atheya. Sangat membencinya.
Lea masih terus berusaha memukul Leon. Wanita itu bahkan berteriak karena terlalu marah.
“Tenang … tenang!! Dengarkan dulu.”
“Aku membencimu Leon! Kamu sama brengseknya dengan perempuan itu. Aku membencimu!”
“Aku hanya akan menyiksanya! Pakai isi kepalamu untuk berpikir dengan benar. Memangnya untuk apa aku memisahkan mereka, hah! Tentu saja aku ingin membalaskan dendamku. Kamu pikir aku masih memiliki perasaan untuk w************n seperti itu?! Kamu pikir aku sebodoh itu?!” Leon mendelik.
Lea, dengan nafas yang masih memburu, menghentikan gerak tangannya. Sepasang mata wanita itu menatap dalam pria di depannya. Dia tidak ingin tertipu.
“Aku benar-benar tidak akan memaafkan kamu, Leon. Benar-benar tidak akan memaafkanmu kalau kamu mengkhianatiku.”
Leon menghempas kedua tangan Lea sembari mendengkus keras. Kesal karena Lea meragukannya. Pria itu kemudian beranjak. Meninggalkan Lea yang menatap punggungnya dengan tatapan khawatir.
Lea meraup oksigen sebanyak yang ia bisa. Kepala wanita itu menggeleng. Jujur, ia masih belum yakin jika Leon sudah benar-benar melupakan cintanya pada Theya. Mereka berdua sudah berhubungan cukup lama, bahkan sudah sempat merencanakan pernikahan, seandainya saja pria itu tidak mendatanginya. Ya … jika Cylo tidak muncul, saat ini … bukan, dua tahun lalu—ia pasti sudah kehilangan Leon.
Tanpa sadar, Lea meremas kedua telapak tangannya kuat-kuat. Dia sudah bersusah payah untuk bisa mendapatkan Leon, dan dia tidak ingin kehilangan pria itu. Apapun akan ia lakukan untuk mempertahankan Leon. Ia bersumpah tidak akan pernah membiarkan wanita jalang itu mendapatkan pria yang ia cintai.
***
Theya mengenakan jaketnya. Rambut wanita itu sudah tergelung rapi. Theya meraih tas kerjanya, lalu keluar dari kamar.
Cylo mengernyit saat melihat Theya memasuki ruang makan dengan tubuh atas terbungkus jaket.
“Kamu mau berangkat sendiri?” tanya Cylo yang sudah menghentikan gerak tangannya di atas piring.
Theya melanjutkan langkah, lalu menarik kursi di samping Cylo yang menempati kepala meja. Theya mengangguk, membenarkan tebakan sang suami.
“Ayolah Theya. Apa kamu masih marah karena aku menciummu?” Cylo menghembuskan nafasnya. Mereka bekerja di tempat yang sama, dan semua orang tahu jika mereka sepasang suami istri. Akan terlihat janggal jika mereka berangkat sendiri-sendiri.
Theya meraih piring kosong. Masih belum menjawab tanya dari sang suami, wanita itu memilih mengisi piringnya.
“Semalam bahkan kamu tidur pulas waktu kupeluk.”
Theya langsung menoleh dengan sepasang mata membesar, begitu mendengar apa yang suaminya katakan.
Sementara itu, Cylo menahan kuat-kuat sepasang bibirnya. Dia tidak sedang mengatakan omong kosong. Sudah jelas semalam Theya tidur pulas dalam pelukannya. Wanita itu bahkan membelitkan satu kaki dan satu tangan ke tubuhnya.
“Itu karena aku tidak sadar!” kesal Theya. Ah … dia sebenarnya malu ketika mengingat terbangun dalam pelukan Cylo. Guling yang selama dua tahun selalu menjadi pembatas ranjang mereka--sudah tergeletak mengenaskan di lantai. Ah … dia benar-benar malu.
Theya bahkan harus berpura-pura kembali tidur, ketika merasakan pergerakan Cylo. Beruntung pria itu tidak menyadari jika ia hanya berpura-pura tidur. Theya baru bisa menghembuskan nafas lega, ketika Cylo melepas pelukannya, kemudian beranjak meninggalkan ranjang.
Apa mereka harus tidur di kamar terpisah saja mulai sekarang? Tapi … mereka tidak hanya berdua di rumah ini. Oh … Theya tidak mungkin membuat semua orang tahu seperti apa pernikahannya dengan Cylo. Pernikahan yang hanya resmi di atas kertas, sementara kedua orang yang terlibat di dalamnya—memilih untuk tidak saling peduli, dan tidak saling ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing. Seperti itulah kehidupan mereka selama dua tahun pernikahan.
Cylo masih belum bisa move on dari wanita yang sudah meninggalkannya. Dan Theya sendiri … entahlah. Dia sendiri tidak mengerti. Yang jelas, dia sudah tidak lagi mencintai Leon. Pria peselingkuh yang tidak bisa menjaga komitmennya. Leon bilang mencintai dirinya, tapi apa? Yang terjadi justru pria itu tidur dengan wanita lain menjelang hari pernikahan mereka.
Theya menyendok nasi gorengnya, lalu menyuap. Wanita itu tidak menghiraukan Cylo yang masih menatapnya dengan bibir terkulum.
“Bahkan aku sempat menciummu lagi semalam, dan—”
Uhuk!!
Theya terbatuk. Nasi yang belum terkunyah halus itu, tertelan paksa, hingga beberapa butir kasarnya justru berakhir masuk ke saluran pernafasannya.
Wanita itu meraih gelas yang terulur di hadapannya, kemudian meneguknya besar-besar.
“Pelan-pelan, kamu bisa kembali tersedak kalau tidak hati-hati.” Cylo mengusap pelan punggung Theya yang masih berusaha meredakan batuknya.
Tenggorokan, dan hidung Theya terasa panas dan perih. Theya memukul pelan dadanya. Salah Cylo. Ia tersedak karena kesalahan pria itu yang ….
Apa tadi yang Cylo katakan? Oh … astaga! Sekarang bukan hanya d**a dan hidungnya yang terasa panas, tapi juga kedua pipinya. Sialan memang Cylo—umpat Theya dalam hati.
“Kamu melanggar kesepakatan kita, Cylo,” ucap Theya setelah berhasil meredakan tawa, dan juga detak jantung yang sempat setengah menggila. Ingat! Hanya setengah. Dia tidak mau membawa hati dalam pernikahannya, atau ia akan berakhir sakit hati.
“Apa yang harus aku lakukan? Kamu tahu kita juga harus memiliki keturunan, Theya.”
Theya melanjutkan suapannya. Wanita itu mengunyah pelan. Bukan dia tidak mendengar. Telinganya masih berfungsi dengan baik. Akan tetapi, apa yang Cylo katakan itu sesuatu yang ia yakini hanya candaan pria itu.
Jelas-jelas Theya masih mengingat jika Cylo tidak ingin mereka memiliki keturunan. Karena pria itu masih menunggu kekasihnya kembali.
Meraih gelas, Theya kembali meneguk isi yang tinggal setengah tersebut, hingga tandas.
“Aku sudah selesai. Aku berangkat dulu.”
Cylo mendesah. “Apa tidak bisa berangkat bersama seperti biasanya? Aku janji tidak akan menciummu lagi.”
Theya melirik Cylo yang sudah membalik sendok dan garpunya. Kepala wanita itu menggeleng.
“Aku ada perlu sebentar, sebelum ke rumah sakit,” jujur Theya.
“Ke tempat Bunda Dahlia?” tanya Cylo ingin tahu. Pria itu menghembuskan nafas berat, begitu melihat kepala Theya mengangguk.
“Aku bisa mengantarmu.”
“Bukannya kamu ada meeting pagi ini?”
Ah … iya, benar. Cylo nyaris saja melupakannya. Pria itu meraih tissue, lalu mengusap pelan bibirnya. Sepertinya, hari ini mereka berdua memang harus berangkat terpisah.
“Baiklah. Kalau begitu, sampaikan salamku untuk bunda Dahlia, dan anak-anak.”
Theya menganggukkan kepala. Setelahnya, wanita itu mendorong kursi ke belakang, kemudian beranjak. Meraih tas yang sebelumnya ia letakkan di kursi sampingnya, sebelum melangkah meninggakkan ruang makan. Meninggalkan suami yang menatap punggungnya dengan desah nafas kasar.
Dua tahun pernikahan, dan sikap Theya masih tidak berubah. Dingin. Cylo menarik nafas panjang. Dia tidak bisa menyalahkan Theya. Dia lah yang mengajukan kesepakatan tersebut. Pernikahan mereka terjadi memang bukan karena cinta.
Baik dirinya, dan juga Theya memiliki orang tercinta saat mereka memutuskan untuk menikah. Pernikahan itu terjadi atas dasar kepentingan masing-masing. Theya yang sakit hati dengan Leon, setelah mengetahui pria itu tidur dengan perempuan lain, dan dia yang harus memenangkan tantangan sang papa--agar tidak kehilangan rumah sakit yang dibangun susah payah oleh mendiang ibunya.